Mohon tunggu...
Calvin Stefanus
Calvin Stefanus Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Film

Konglomerasi Disney Berbuah Dominasi, Mampukah Kita Berkontribusi?

8 November 2020   05:15 Diperbarui: 8 November 2020   05:23 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image source: barrons.com

Siapa yang merasa asing dengan kata "Disney"? Hampir pasti jawabannya tidak ada. Yap! Disney adalah sebuah kerajaan komunikasi terbesar di dunia yang mampu menghasilkan sekitar $38 miliar per tahunnya. Disney memulai perjalananya di awal abad ke-20 di bawah kepemimpinan Walter Disney yang memiliki visi untuk menggunakan kartun animasi dan film layar lebar sebagai bisnis utamanya.

Dengan berbagai film produksinya, perlahan nama Disney mulai dikenal dan bahkan menjadi  alternatif hiburan bagi banyak orang. Film-film kartun animasi yang begitu ikonik seperti Mickey Mouse dan Donald Duck mungkin hingga saat ini masih begitu jelas teringat di kepala dan sungguh merupakan kenangan yang begitu menggembirakan ketika masa kanak-kanak dulu.

Berbicara mengenai Disney, ternyata Disney tidak hanya memproduksi kartun animasi semata loh! Yuk simak perjalanan Disney dan apa saja yang sudah dimilikinya hingga saat ini, serta apa yang dimaksud dengan konglomerasi media dan dampaknya bagi Indonesia.

Kesuksesan film-film Disney dimulai pada tahun 1960 dengan film-film 101 Dalmatians, Mary Poppins, The Jungle Book, and The Love Bug sebagai andalannya. Dilanjutkan dengan pembukaan taman hiburan besar di Orlando, Florida pada tahun 1971 dan Tokyo Disneyland pada tahun 1983 membuat nama Disney semakin menggurita dan menguasai jagat hiburan Internasional. 

Dilanjut pada tahun 2006 Disney membeli Pixar (studio animasi komputer di Amerika Serikat) yang terkenal dengan Toy Storynya dan pada tahun 2009 membeli Marvel Comics atau Marvel Entertainment yang terkenal dengan serial Avengersnya. Kemudian pada tahun 2012 Disney membeli Lucasfilm, perusahaan produksi film Amerika Serikat yang terkenal dengan serial film Starwarsnya.

Selain film, Disney juga terus melebarkan sayapnya untuk taman hiburan besar kelas internasional. Pada tahun 2005 Hong Kong Disneyland dibuka dan mendapatkan antusias yang begitu luar biasa. Kemudian pada tahun 2016, Disneyland di Shanghai, China telah resmi dibuka.

Seiring berjalannya proses akuisisi dan pembelian-pembelian perusahaan atau studio produksi oleh Disney, pada akhir tahun 1990-an Disney juga memulai situs yang memungkinkan siapapun dari berbagai belahan dunia untuk membeli produk Disney secara orisinil.

Secara sederhana, dari perjalanan Disney di atas, kita dapat melihat bahwa perkembangan Disney begitu luar biasa khususnya di bidang hiburan. Tidak hanya bidang hiburan perfilman, tetapi juga taman bermain yang kemudian diikuti oleh penjualan merchandise dan merek serta lisensi. 

Perlu diketahui juga bahwa Disney tidak hanya bergerak di ranah hiburan saja. Disney juga bergerak di ranah media berita melalui ABC dan ABC News.

Bisnis Disney yang semakin menggurita begitu melekat dalam lini kehidupan masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia. Mari kita lihat sumbangsih Indonesia terhadap bisnis Disney. 

image source: imdb.com
image source: imdb.com
Tercatat bahwa Film Avengers : Endgame telah menggeser Avatar yang berada di nomor pertama film terlaris sepanjang masa. Avengers: Endgame berhasil mencatatkan laba 38 Triliun rupiah dan menembus 1,2 miliar dollar AS hanya dalam 5 hari.

Dalam hal ini, Indonesia telah menyumbang sekitar 480 miliar rupiah dengan total sekitar 11 juta penonton. Ini hanya satu dari rangkaian serial Avengers yang telah tayang dan digemari oleh masyarakat Indonesia. Untuk film Captain Marvel, Indonesia menyumbang sekitar 260 miliar rupiah. Sedangkan untuk Spider-Man: Far From Home, Indonesia menyumbangkan sekitar 240 miliar rupiah.

Kemudian, Indonesia menyumbangkan sekitar 250 miliar rupiah untuk film Aladdin. Kemudian, sekitar 200 miliar rupiah untuk film Frozen 2. Lalu, sekitar 145 miliar rupiah untuk Maleficent: Mistress of Evil. Dan juga sekitar 125 miliar rupiah untuk Lion King.

Semua ini belum termasuk penjualan merchandise orisinil, kerja sama merek atau lisensi (brand). Jika semua diakumulasikan, mungkin akan mencapai angka yang sangat fantastis dan secara tidak langsung, kita dengan sukarela memberikan kepada Disney. Hal ini yang dinamakan dengan konglomerasi. Sekalipun hanya aspek hiburan yang terlihat dominan, tetapi ternyata sebenarnya ini akan berdampak kepada berbagai aspek di kehidupan.

Ketika kita melihat mengenai kebutuhan konsumsi kita yang seringkali dikaitkan dengan branding atau ikon dari Disney guna menarik minat anak-anak khususnya atau bahkan orang dewasa, hal ini tentunya membutuhkan perizinan dari pihak Disney dan terus menerus terlihat bahwa Disney menjadi semakin besar. 

Hal ini juga berhubungan dengan Teori Kolonialisme Elektronik. McPhail dalam bukunya yang berjudul Global Communication Theories, Stakeholders and Trends , menuliskan mengenai Teori Kolonialisme Elektronik yang  menyatakan bahwa produk budaya yang diproduksi oleh negara lain memiliki kemampuan untuk memengaruhi atau menggantikan produksi budaya asli yang merugikan negara penerima. 

Artinya, semakin lama dan semakin lebar Disney menguasai aspek-aspek kebutuhan masyarakat, maka pengaruhnya akan semakin kuat. Semakin kuat pengaruhnya, maka akan semakin besar potensi untuk menggantikan budaya asli dari negara penerima, yaitu Indonesia. 

Contoh nyata dari kolonialisme elektronik ini terlihat pada Hong Kong Disneyland. Salah satu konsep atau atraksi utama dalam taman bermain itu merupakan "Main Street USA". Dengan ini, terlihat bahwa terdapat unsur budaya asli (negara asal) yang dibawa kepada negara penerima.

Konglomerasi memang bukanlah sebuah tindakan kriminal, tetapi ketika konglomerasi terjadi pada media, maka akan memungkinkan terjadinya monopoli oleh pihak yang dominan dan berkuasa, sehingga akan semakin hilangnya persaingan yang sehat dalam suatu industri. Monopoli akan memungkinkan untuk menghilangkan hak dan kesempatan berbagai pihak untuk berkontribusi.

Terlebih lagi, dampak yang sangat kita rasakan adalah terkait dengan tayangan yang kita konsumsi. Sedari kecil kita mengkonsumsi tayangan yang membawa latar budaya asing dan terus-menerus kita konsumsi bahkan hingga kita tumbuh dan tidak dalam usia kanak-kanak lagi, budaya yang sama tetap kita konsumsi. 

Hal ini sedikit banyak akan menghasilkan pergeserak cara berpikir dan juga pola perilaku sesuai dengan apa yang kita konsumsi. Tak ada yang salah untuk mengonsumsi sesuatu yang baik, tetapi kita harus selalu ingat akan jati diri dan kontribusi yang bisa kita berikan untuk membangun negeri.

Karena sejatinya, konglomerasi tak selamanya dapat mendominasi. Kita dapat bersatu untuk berkontribusi dan menciptakan rasa bangga bagi negeri.

Salam hangat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun