Bayangkan jika semua guru besar di bumi ini bersatu lalu memberikan ultimatum : kami adalah orang-orang yang paling pintar, maka kami meminta hak-hak eksklusif dalam semua hal atas sisa populasi manusia yang lainnya.
Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga apa yang mereka sampaikan. Mereka adalah orang-orang yang paling mampu membuat bumi ini menjadi lebih baik, jadi kenapa tidak? Kita buat saja peraturan bahwa hanya profesor yang boleh menjadi presiden atau kepala daerah. Atau peraturan yang mengatakan bahwa seorang profesor tidak boleh dikenai sanksi hukum apapun.
Hal di atas syukurnya hanyalah merupakan imajinasi saya saja. Tapi siapapun pasti setuju kalau pola pikir seperti itu sangat sempit. Hanya karena memiliki titel "guru besar", lantas membuat mereka merasa menjadi lebih "tinggi" dan "pantas" dari orang-orang lainnya.
Jadi, bagaimana nasib mereka yang punya otak "biasa", seperti saya dan kebanyakan orang lainnya? Pantaskah kita disebut lebih "rendah" dan "tidak mampu" dengan hanya membuat pengukuran dari satu aspek saja?
Sebagai orang awam, saya pikir inilah salah satu penyebab radikalisme yang terjadi dimana-mana. Ada pola pikir eksklusif berdasarkan golongan yang kemudian diterjemahkan secara tanpa batas ke dalam tindakan dan perbuatannya, yang pada akhirnya akan berbenturan dengan golongan-golongan lainnya dan berpotensi merugikan hak dan kewajiban mereka.
Radikalisme ini bukan hanya dalam masalah agama, tapi juga warna kulit, ras, dan hampir semua hal yang seorang manusia bisa jadikan perbedaan. Hal ini sudah berlangsung sangat lama dan terjadi hampir di semua tempat di dunia.
Politik apartheid di Afrika Selatan dengan membuat pemisahan-pemisahan berdasarkan ras, pemberontakan DI/TII dengan keinginan membuat negara Islam di Indonesia, Ku Klux Klan dengan slogan "white supremacy"-nya serta Christian Identity Movement yang menggunakan dalil-dalil alkitabiah untuk menyerang kelompok lain di US, dan lain sebagainya. (Untuk tambahan informasi bisa dibaca di buku Extremists Group : Information for Students, 2006)
Perbedaan itu akan selalu ada. Bahkan bila diri kita tidak melihat adanya perbedaan, ada saja orang lain yang akan menemukannya. Tapi keinginan untuk menghormati perbedaan-perbedaan itulah yang kemudian akan membuat seseorang memiliki nilai lebih.
Dalam buku The New Confessions of an Economic Hit Man (yang akan saya review lain kali), ada satu bab yang menceritakan disaat pengarangnya sedang mendapat tugas di Indonesia dia menemukan fakta bahwa bahasa Indonesia diciptakan oleh Presiden Sukarno sebagai salah satu pengikat suku-suku yang sangat banyak di Indonesia.
Pada masa itu, setelah berhasil mencapai kemerdekaan, dibutuhkan suatu alat pemersatu di antara ribuan bahasa daerah. Maka presiden Sukarno pun menugaskan banyak ahli bahasa untuk menyusun suatu bahasa yang cepat dipelajari dan mudah digunakan. Dan jadilah bahasa Indonesia.
Kenapa kita tidak menggunakan bahasa Jawa saja sebagai bahasa nasional? Padahal presiden Sukarno itu sendiri berasal dari suku Jawa (dari ayahnya, sementara ibunya Bali). Di sinilah kebesaran hati seorang Sukarno terlihat. Beliau memikirkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia, karena semuanya sudah sama-sama berjuang melawan kolonialisme dan karena beliau juga sadar bahwa mengagung-agungkan kelompok tertentu sama saja dengan menyimpan bom waktu di tengah masyarakat yang amat sangat majemuk.
Akhir kata, kalau saya pikir tidak cukup bagi para founding fathers untuk telah membuat dan menetapkan dasar-dasar pengikat bangsa, namun juga dibutuhkan jiwa besar dari seluruh komponen bangsa untuk menghormati, meneruskan dan senantiasa mengamalkannya. Sebuah sapu lidi sudah kehilangan fungsinya kalau sudah lepas tali pengikatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H