Mohon tunggu...
Calon Pujangga
Calon Pujangga Mohon Tunggu... Lainnya - Masih amatiran. Terima kasih sudah membaca dan berkunjung. :)

Calon Pujangga hobi menulis, membaca karya sastra dan berteater. Suka sama seni dan berwisata. Isinya kisah-kisah dan ragam konten lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Pernah Depresi?

16 Desember 2020   10:15 Diperbarui: 20 Desember 2020   22:53 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Tahun 2015 merupakan tahun yang baru untukku. Aku mulai memasuki jenjang pendidikan baru, yaitu SMA. Aku adalah seorang yang pendiam dan pemalu. Bagiku hal yang sulit untuk beradaptasi di lingkungan baru.

Suatu hari, kebetulan hari itu ada jam kosong. Aku pergi ke toilet. Di luar toilet, aku bertemu kawan sekelasku bernama Nisa. Ia nampak sedih dan sepertinya ia sedang memendam sesuatu. Aku lanjut buang air karena sudah tak tahan lagi. Ternyata ia masih disana. Aku menghampirinya, membuka percakapan dan akhirnya ia buka mulut. Ia terpancing untuk bercerita kepadaku. Tentang masa-masa sulit yang dihadapinya. Kebetulan juga kami memiliki hobi yang sama, yaitu membaca buku. Sejak saat itu, kami menjadi teman akrab. Teman sebangku Nisa yang bernama Lina juga ikut bergabung untuk menjadi temanku. Hampir kemana-mana kami selalu bertiga. Bagai secarik surat, amplopnya dan perangko. 

Tahun 2016 pertengahan, aku menempati kelas XI. Aku duduk di bangku tengah, paling depan, tepat di depan papan tulis. Ah! Sesungguhnya itu sangat menyebalkan. Aku sering menjadi incaran para guru untuk sekedar menjawab pertanyaan dan sebagian bualan mereka.

Ada satu kesalahan yang telah kuperbuat kepada Nisa pada tahun ajaran ini. Menyebabkan kami bertengkar. Aku sudah berusaha, bersikeras meminta maaf kepadanya. Namun, ia malah menjauhiku. Nisa yang telah berjasa membantu Lina, jadinya ia menjauhiku juga. Aku rasa, ini permasalahan yang sangat besar dan kompleks, sehingga ia berbuat demikian kepadaku.

Aku merasakan sepi dan hampa. Aku cuman tertutup di kelas, karena lingkungannya tidak cocok denganku. Diforum lain, aku bisa bersosialisasi dengan baik. Bahkan, teman-temanku dari kelas lain juga banyak. Aku hanya tak punya teman ketika aku berada di kelasku sendiri.

Selang beberapa waktu berlalu, suatu malam, aku membuka kotak masuk dari akun Facebook milikku. Ada tiga foto carik kertas yang menjelaskan mengapa Nisa melakukan semua ini kepadakku. Salah satu alasannya adalah karena ia ingin aku bersosialisasi dengan teman-teman sekelas lain. Katanya, ia berjanji akan kembali kepadaku. Nyatanya, aku tak berhasil melakukannya.

Aku tidak dekat dengan siapapun di kelas. Disitu, kami masih kontakan meski sangat jarang. Nisa menanyakan kepadaku kenapa tadi aku tak berangkat ke sekolah? Berangkat ke sekolah hanya membuatku sakit hati. Acara ini juga tak penting untukku dan tidak masuk dalam nilai pelajaran. Aku pikir, mereka semua jahat. Ada yang pernah mengajakku berbicara, tapi seolah ia mengejekku.

Setiap istirahat, aku kemana-mana selalu sendirian. Dalam keadaan yang mendesak (lapar), aku membeli jajanan ke kantin sendirian. Di kelas, mereka begitu asyik mengobrol, seputar gosip terkini dan hal-hal yang tidak berbobot lainnya. Sementara aku, asyik membaca novel di bangkuku. Sesekali, jika sudah merasa lelah membaca novel, aku menulis cerpen di memo ponselku. Kata-kata estetik penuh makna, mengalir begitu saja setiap aku usai membaca novel.

Dikala rasa jenuh menghampiri, aku menuju perpustakaan sekolah yang jaraknya tak jauh dari kelasku. Sangking seringnya aku ke perpustakaan, bapak pustakawan dan ibu penjaga perpustakaan sampai hafal denganku. Ibu penjaga perpustakaan itu namanya Bu Tutik dan bapak pustakawan namanya Pak Wawan. Ibu Tutik memang sedikit galak, tapi aslinya ia baik hati. Ia gemar bercerita dengan siswa, siapa saja itu tentang kesehariannya. Beliau pun pernah bercerita padaku. Sangking banyaknya cerita, aku lupa beliau cerita apa saja kepadaku. Kalau Pak Wawan, ia tak segan membantu para siswa untuk mencari buku yang mereka maksud.

Setiap pembagian rapor, aku sudah tak asing lagi dengan kalimat-kalimat seperti ini…

“Diyas di kelas pendiam sekali ya bu?”

“Apakah di rumah ia juga seperti itu?”

Kalimat itu selalu dilontarkan oleh setiap wali kelas. Ibu selalu bercerita tentang itu padaku. Aku meringis saja mendengarnya, padahal di hatiku yang terdalam, aku tertawa geli. Mereka hanya belum mengenalku lebih dalam.

Kelas XII, aku semakin malas untuk berangkat sekolah. Harus berjumpa dengan mereka yang kejam kepadaku. Selama satu semester, aku sampai pernah tidak masuk sebanyak enam kali. Membuat surat izin ke wali kelas ada acara keluarga. Padahal, aku lagi ada di rumah leyeh-leyeh (bermalas-malasan). Aku juga pernah buat surat dengan keterangan sakit. Padahal,sakitnya udah kemarin dan hari dimana aku bikin surat, aku sudah sembuh. Aku malah jalan-jalan ke Surakarta sama bapak. Begitupun dengan acara-acara yang lain (melibatkan kelas aku) di sekolah, aku jarang ikut berpartisipasi. *Jangan ditiru ya teman-teman. X'D

 Untuk apa jika berakhir sama juga. Daripada aku berpartisipasi tak ada kawan dan luntang-lantung sendirian seperti anak hilang, lebih baik aku menetap di rumah. Banyak kejadian ajaib di kelas XII. Aku malah menjadi pintar (atau beruntung?), nilaiku meningkat dan aku mendapat peringkat sepuluh besar. Padahal, aku hanya belajar menjelang ulangan dan ketika ada tugas.

Wisuda SMA, aku mengenakan pakaian yang sesuai dengan riasan wajah yang seadanya. Teman-teman yang lain? Mereka mengenakan riasan wajah yang cantik dari salon. Pikiranku hanyalah, aku hanya ingin ini semua segera berakhir!. Beruntung, tempat berlangsungnya acara, jaraknya tidak jauh dari rumah. Aku diantar oleh ibuku. Ibuku akan kembali lagi pukul satu untuk perwakilan orang tua di acara wisuda anaknya. Acara dimulai, mereka mengobrol dan aku diam saja. Sejujurnya, dalam kondisi ramai, penuh orang dengan ruangan yang hanya ada beberapa kipas menempel di dinding. Fentilasi jendela sedikit, kebetulan tidak ada angin yang lewat berembus memasuki gedung. Suasana panas dan aku mulai merasa pusing. Kalau bisa, aku ingin kabur dari sini. Acara berlangsung selama kurang lebih tiga jam. Gedung yang bisa dibilang pas-pasan, tak mampu menampung perwakilan orang tua siswa dan para siswa kelas XII, di luar ada tambahan tenda acara. Diakhir acara, kami sekelas foto bersama di panggung. Sesi foto dilakukan secara bergantian dengan kelas lain. Aku menghela napas.

“Akhirnya semuanya usai.”

Aku langsung kembali ke rumah diantar paman. Untuk apa aku berlama-lama disana? Memangnya, aku mau foto sama siapa? Tidak ada kenangan yang bisa aku abadikan di ponselku. Makanya, slogan semacam…

“Masa SMA adalah masa-masa yang paling indah.”

 Aku menolak mentah-mentah slogan itu. Apa-apaan? Masa SMA adalah masa yang paling suram untukku. Saat mereka bercerita tentang masa SMA-nya yang indah, aku menelan ludah mendengarnya.

Aku sering menangis malam hari dibalik bantal. Nafsu makanku meningkat dan tidurku jauh lebih lama dari biasanya. Terutama ketika hari libur. Memandangi senja di atap rumahku, menangis, bercerita kepadanya perihal apa yang kualami selagi di sekolah. Aku pernah berencana untuk bunuh diri karena aku sudah tak tahan dengan situasi seperti ini. Aku selalu berpikir, tanggung, sedikit lagi selesai. Aku tak menyerah semudah itu. Bukankah aku masih memiliki mimpi untuk kuraih? Kan aku ingin kuliah di PTN impianku. Aku juga sempat daftar melalui jalur seleksi nasional. Aku memilih program studi yang pernah kupelajari, paling kutekuni dan selalu memperoleh nilai baik di SMA. Hingga aku berhasil melampauinya.

Aku sama sekali tidak pergi ke tenaga profesional (piskiater atau psikolog). Aku tidak tahu, sepertinya aku mengalami depresi pada masa itu. Berdasarkan apa yang aku baca di internet. Namun, ya aku tahu. Kita tak boleh mendiagnosis diri sendiri berdasarkan apa yang kita baca di internet. Jadi, aku tak terlalu larut di dalamnya. Disisi lain, aku ingin sekali ke profesional. Memastikan bagaimana kesehatan mentalku. Bercerita kepada mereka mengenai masalah yang menimpa diriku dan keluhan yang kualami. Masih tabu jika aku bercerita kepada orang tuaku. Aku takut mereka menganggapku gila dan aku selalu memasang wajah datar di kelas, dengan batin dan benak yang teriris-iris. Ketika aku berjumpa dengan teman dari kelas lain, aku tersenyum pada mereka saat mereka menyapaku. Aku banyak berdoa dan beribadah dalam sepertiga malamku. Tuhan memberikanku kekuatan untuk melaluinya. Aku melampiaskan semua unek-unek dengan menulis catatan harian dan beberapa karya sastra. Bahkan sampai sekarang masih kulakukan.

Aku mendapati namaku dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) impianku, berwarna hijau. Ya! Dibalik semuanya, aku diterima di PTN impianku. Aku ingin membuktikan kepada mereka yang telah meremehkan dan mengucilkanku. Mereka banyak yang mengucapkan selamat kepadaku. Termasuk Nisa juga. Nisa menyimpan nomorku. Ia bertanya kepadaku “apakah aku merindukannya? Dan aku tak menjawabnya. Aku masih dirundung rasa traumaku. Begitu ya manusia? Ketika kamu berada di atas, maka banyak yang memberimu tepuk tangan dan ucapan selamat. Menganggap dirimu adalah teman mereka dan dirimu dibangga-banggakan oleh mereka. Namun, ketika kamu di bawah, mereka menjauhimu bahkan ada beberapa dari mereka yang mengejek, meremehkanmu. Banyak pelajaran hidup yang kupetik dari peristiwa traumatis ini. 

Aku belajar tentang kehilangan dan melepaskan. Tak begitu terasa pedih ketika aku merasakannya lagi. Aku semakin terbiasa kehilangan orang lain. Yang mana itu dapat membuat kita tak bergantung dan menanam lebih kebahagiaan pada orang lain. Sedih? Sudah pasti. Sakit hati dan sesak? Juga. Secukupnya saja. Aku pikir, jika terlalu berlalu dapat menyebabkan overthinking dan selamanya kita akan dirundung rasa takut. Melepaskan jika mereka benar-benar ingin pergi, menerima dan menjada ketika mereka masih tetap bersama.   

-TAMAT-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun