Mohon tunggu...
Kundari, S. E. calon anggota DPD Jateng
Kundari, S. E. calon anggota DPD Jateng Mohon Tunggu... -

Kundari, S.E. calon anggota DPD Jateng Mohon didoakan Mohon direstui Mohon didukung Mohon dipilih Mohon dicoblos Pada Pemilu 9 April 2014 Terima Kasih

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemiskinan dan Akses Terhadap Keadilan

8 Desember 2013   02:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:11 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perluasan access to justice menjadi sangat penting sebab jika dilaksanakan secara konsisten, dipastikan dapat berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat dan penguatan tata kelola pemerintahan yang demokratis (democratic governance). Sebagi contoh, perluasan access to justice di sektor perburuhan, akan meningkatkan job security bagi kaum buruh yang saat ini berada dalam bargaining position yang sangat lemah di hadapan pengusaha. Hal ini disebabkan oleh labour surplus yang sangat ekstrim akibat supply buruh yang tinggi, seiring dengan tingginya angka pengangguran. Sementara, permintaan (demand) atas buruh sangat rendah karena kurangnya investasi. Penguatan akses kaum buruh terhadap keadilan tentu akan meminimalisir resiko pemecatan semena-mena oleh pengusaha yang dimanjakan dengan labour surplus.

Selain itu, perluasan pemenuhan rasa keadilan rakyat secara konsisten akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap negara dan aturan hukum yang ada. Sehingga, tindakan anarki dan main hakim sendiri dapat dikurangi, yang tentu saja akan berdampak pada stabilitas sosial politik yang lebih baik.
Fakta menunjukkan bahwa lemahnya akses masyarakat terhadap keadilan, menjadi salah satu penyebab utama tumbuhnya benih konflik di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di Sulawesi Tengah. Sebab, masyarakat yang telah hidup termarjinalkan selama bertahun-tahun, cenderung dengan gampang memilih jalan kekerasan --sebagai ‘solusi’ atas problem mereka--, jika mereka dibuat frustasi oleh tersumbatnya saluran keadilan yang disediakan negara melalui lembaga-lembaga formal. Apalagi,  beban hidup yang semakin berat di tengah proses rekoveri ekonomi dan transisi politik yang berjalan stagnan, menjadi ladang bagi tumbuh suburnya prilaku ‘destruktif’.

Persoalan tersebut, juga merupakan imbas dari proses liberalisasi politik yang bergerak liar, di tengah kewibawaan negara yang semakin terpuruk. Munculnya organisasi-organisasi paramiliter (vigilante) dengan label etnik dan agama di berbagai wilayah di Indonesia, adalah fenomena buruk yang mencerminkan trust publik terhadap negara yang semakin rendah. Kondisi ini, dapat ditafsirkan sebagai upaya masyarakat --yang hidup di tengah ketidakpastian—untuk mencari perlindungan alternatif di bawah label suku dan agama, akibat kealfaan negara dalam memenuhi hak-hak mereka.

Di saat yang sama, krisis tersebut diperparah oleh ulah para politisi pragmatis --yang memanfaatkan kegamangan rakyat-- dengan mengembangkan tradisi berpolitik irrasional. Mereka berupaya meraup dukungan rakyat secara instant, tanpa mau dibebani kewajiban untuk memberikan pendidikan politik yang rasional, dengan terus menggunakan label-label ‘tradisional’ sebagai ‘dagangan politik’. Padahal tindakan seperti itu, hanya akan membuahkan konflik horizontal yang sangat mengkuatirkan. Karenanya, akses yang lebih luas terhadap keadilan juga menjadi salah satu jawaban terhadap carut marutnya persoalan sosial politik yang tengah terjadi di negri ini.

Di sisi lain, perluasan akses terhadap keadilan, didukung dengan penegakan hukum yang konsisten, juga secara perlahan akan menciptakan kepastian hukum. Hal ini menjadi sangat penting, karena seperti yang umum dipahami, ketiadaan kepastian hukum adalah salah satu soal krusial yang mengurangi minat investor untuk datang ke Indonesia.  Padahal kehadiran investasi akan sangat membantu mendorong perkembangan sektor riil, sehingga akan memperluas lapangan kerja yang dapat berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Karena itu, penghapusan kemiskinan yang menjadi salah satu sasaran utama MDGs, tidak bisa dilepaskan dari reformasi sektor hukum dan keadilan (Legal and Justice Sector reform), khususnya perluasan akses masyarakat terhadap keadilan. Pemenuhannya dipastikan akan berkontribusi positif pada perkembangan perdamian dan pembangunan. Dalam konteks ini, pemerintah juga harus bertindak tegas dan tanpa kompromi terhadap para koruptor. Karena, korupsi adalah salah satu penyebab utama dari persoalan kemiskinan yang telah berurat akar di negeri ini.

Tanpa keseriusan dan sikap yang tegas dari pemerintah maka dapat dipastikan program pengentasan kemiskinan hanya akan menjadi jargon belaka. Terkait dengan itu saya teringat Jules Feiffer penulis dan kartunis Amerika yang pernah berkomentar tentang persoalan kemiskinan dengan nada sinis dan jenaka, yang lebih kurang berbunyi begini ; Saya dulu berfikir kalau saya miskin (poor). Kemudian mereka mengatakan bahwa saya tidak miskin saya hanya fakir (needy). Tapi mereka kemudian mengatakan bahwa anda merusak diri (self-defeating) jika berfikir bahwa anda fakir, anda hanya serba kekurangan (underprivileged). Tapi mereka mengatakan lagi bahwa kata tersebut terlalu banyak digunakan, saya lebih tepat dikatakan hanya kurang beruntung (disadvantaged). Tapi kumpulan kata-kata tersebut tidak membuat hidup saya menjadi lebih baik. Saya masih juga tetap miskin. Namun tak apalah, saya toh punya kumpulan kata-kata yang ‘sangat indah’.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun