Mohon tunggu...
Adila Isrosyida
Adila Isrosyida Mohon Tunggu... Mahasiswa - tomorrow is a new day

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Prodi Ilmu Komunikasi NIM 21107030059

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ego Is The Enemy: Inilah Cara Menghadapi Ego dalam Diri

15 Juni 2022   22:12 Diperbarui: 15 Juni 2022   22:48 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ego Is The Enemy", buku oleh Ryan Holiday ini membahas tentang kecenderungan manusia untuk berpikir jika hidup segalanya hanya tentang dirinya seorang. Di manapun kita berada, apapun yang kita lakukan musuh terburuk kita sudah ada didalam diri kita sendiri, yaitu ego. Sederhananya ego adalah kepercayaan yang tidak sehat soal diri sendiri. Sifat yang arogan, ambis yang egois dan sebagainya. 

Walaupun buku-buku sejarah banyak dipenuhi dengan kisah seorang tokoh jenius visioner yang mampu mengubah dunia. Namun disisi lain sejarah juga dibuat oleh individu yang melawan ego diri mereka sendiri disetiap kesempatan, menghindari sorotan politik, sorotan publik dan menempatkan tujuan mereka yang lebih tinggi di atas keinginan mereka atas pengakuan. 

Dalam buku ini, ada 3 tiga hal penting yang diperoleh:

1. Hidup dengan tujuan, bukan fashion

Banyak orang seringkali bilang kalau kita harus menemukan apa fashion kita. Namun terkadang ini bukanlah saran yang baik daripada fokus pada fashion sebaiknya seorang fokus pada tujuan yang ingin dicapai. Ingat sesuatu hal yang besar terwujud bukan hanya berasal dari kecintaan seseorang pada hal tersebut, 

namun juga dibutuhkan kerja keras terus-menerus hingga akhirnya apa yang awalnya hanya ada di imajinasi bisa tumbuh menjadi kenyataan. Orang Yunani menggunakan kata uethymia yang berarti kita tahu jalan apa yang kita inginkan dan tetap berada disana tanpa terganggu. 

Kepercayaan diri berasal dari sesuatu yang membutuhkan waktu dan tenaga, hingga akhirnya menjadi seorang ahli. Seringkali orang menggunakan fashion seperti emosi yang membabi-buta hingga akhirnya fashion itu menjadi sebuah delusia dari ego mereka sendiri. 

Sebagai contohnya, orang yang punya fashion akan memberitahu kita apa yang akan mereka lakukan tapi mereka tidak pernah menunjukkan kemajuan apapun. Sebaliknya, orang yang didorong dengan tujuan tidak banyak bicara, kerja saja dengan disiplin nanti hasil yang membuktikan. 

Perlu dipahami bukan berarti tidak boleh punya fashion. Akan tetapi jadilahorang yang punya fashion dengan disiplin. 

2. Selalu menjadi seorang murid

Pemimpin yang hebat dan pemikir yang bijaksana merupakan pembelajar seumur hidup. Mereka memiliki kepribadian untuk selalu penasaran dalam hidup dan punya disiplin untuk selalu belajar. Ketika seseorang mulai menjadi ahli, biasanya orang tersebut mulai menjadi terlalu percaya diri dan lupa bahwa apa yang diketahui sangat terbatas.

Ego di dalam diri membuat kita percaya kalau kita tahu segalanya, kenyataannya akan selalu ada hal yang baru untuk dipelajari akan selalu ada orang yang lebih baik dari kita. Kenyataan ini akan membuat kita menjadi pribadi yang rendah hati. 

Contoh: Seorang gitaris yang bertalenta barat tahun 80-an, bakatnya membuat crack. Direkrut oleh Metallica pada tahun 1980. Ini merupakan kesempatan yang menjanjikan dimana dia bisa menjadi bagian dari salah satu grup band terkenal pada masa itu. 

Namun crack sadar kalau dia masih harus banyak belajar. Dia lalu menolak tawaran tersebut dan berguru pada seorang gitaris jenius bernama Jo Satriani. Tiga tahun kemudian crack baru mengambil tawaran dari Metallica dan mendapatkan penghargaan yang pantas atas hasil kerja kerasnya.

Seorang murid sejati ibaratnya seperti sebuah spons, menyerap apapun yang ada disekitarnya, belajar sebanyak mungkin.

Ini adalah mindset yang harus dimiliki apabila seseorang ingin menjadi ahli. kamu harus selalu belajar, setiap hal dalam hidup pasti punya sesuatu untuk kita pelajari. Jangan biarkan ego menghalangi kita untuk mendapatkan kesempatan tersebut.

3. Belajar percaya melalui delegasi

Seringkali dalam kondisi bahwa orang sulit percaya pada anggota tim atau orang lain atau merasa dirinya tidak bisa memberikan orang lain sebuah tugas, karena hasilnya tidak sebagus yang dia kerjakan sendiri. Salah satu tanda ini adalah tanda serius. 

Jikalau ego kita harus diatur ketika kita memiliki jabatan yang semakin tinggi atau bisnis yang di jalani semakin besar, konflik batin dengan ego akan semakin nyata. Kita mungkin awalnya mendapatkan penghargaan atas kerja keras yang sudah di lakukan. 

Misal kali ini tugas kita berubah dari biasanya, dan kita harus mendelegasikan pekerjaan itu kepada orang lain. Ini terkadang sulit. Ego membuat kita merasa bahwa hanya diri kita lah yang bisa melakukannya dengan benar. Padahal Jika kita menggunakan waktu orang lain dengan baik maka kita akan mendapatkan manfaat yang besar. 

Kita bisa menggunakan waktu tersebut untuk focus mengerjakan hal lain. Kegagalan dalam delegasi sangatlah merugikan. 

Salah satu contoh yang menarik dari pemilik produsen mobil bernama John Delorean. Dia meninggalkan pekerjaannya di General Motors untuk memulai perusahaannya sendiri, karena dia yakin kalau dirinya memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bisnis manufaktur mobil, daripada bosnya dul. 

di perusahaan baru tersebut, John menghindari struktur perusahaan. Sebaliknya, dia ingin terlibat dalam setiap keputusan. Delegasi yang buruk membuat perusahaan miliknya gagal dan berakhir dengan kebangkrutan.

Ada fakta yang menarik, seringkali kita melihat kesuksesan seperti sebuah kisah dramatis perjuangan seorang diri walaupun untuk saja diri kita juga berperan penting dalam kesuksesan tersebut. Namun kita tidak bisa menghilangkan faktor dukungan orang lain dalam mendorong kesuksesan yang kita miliki.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun