Mohon tunggu...
Callistasia Anggun Wijaya
Callistasia Anggun Wijaya Mohon Tunggu... -

Simple Girl- Love Writing - Love Sharing

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saya, Hukum, dan Mungkin

28 September 2011   16:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:31 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah tulisan pertama saya setelah menjadi mahasiswa. Tidak tahu mengapa membutuhkan jeda begitu lama untuk berkoar-koar di Kompasiana, mungkin karena lingkungan hidup saya berubah. Hampir semua aspek, dari segi ideologis (dengan ribuat pergulatan dalamnya), lingkungan sosial, dan segi sensitif berupa perasaan saya sendiri. Life changes, people change, I change. Hal-hal tersebut jujur membuat saya canggung untuk menuliskan semua aspirasi saya dan mempublish-nya ke jejaring sosial termasuk Kompasiana ini J Namun, kali ini saya akan mencoba untuk menulis kembali. Bersikap sejujur-jujurnya kepada diri saya sendiri melalui kontemplasi dan kata-kata.

Tengok kembali judul di atas, saya dan hukum. Mengapa? Ya jelas, karena sekarang saya adalah mahasiswi fakultas hukum di sebuah universitas di Jakarta. Banyak pihak yang bertanya mengapa saya mengambil jalur ini. Banyak yang bilang, saya yang mulutnya bawel kebanyakan ngomong dan bawel lewat tulisan ini lebih cocok jadi anak komunikasi. Pak guru SMA saya bilang, saya lebih cocok masuk Hubungan Internasional entah mengapa. Mama saya bilang saya lebih baik sekolah kedokteran.

Tapi mengapa saya memilih hukum? Alasannya, mungkin karena John Grisham dan karya-karyanya yang menarik seluruh jiwa dan raga saya. Mungkin pula karena Atticus Finch yang terlalu menginspirasi saya. Atau mungkin karena saya mau secerdas Najwa Shihab? Mungkin gabungan ketiganya, atau mungkin karena alasan-alasan lain yang bersatu padu tanpa wujud sehingga saya tak mampu mengenali dan menamainya.

Melalui tulisan saya yang berjudul “Tiba-Tiba Saya Takut Dewasa” ( http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/20/tiba-tiba-saya-takut-dewasa/ ) , saya menuliskan keinginan kuat menggebu-gebu untuk menjadi pengacara. Saya mau berjuang untuk orang-orang yang termajinalkan seperti apa yang dilakukan Tuan Finch. Klise kalau saya tuliskan, tapi yang pasti seperti itu.

Hanya ada satu idealisme: menjadi dampak positif bagi lingkungan saya, menolong yang layak ditolong, memperjuangkan hak-hak yang terinjak-injak.

Kalau ditanya sekarang, apa idealisme itu masih ada, jawabannya ya. Namun, apakah saya masih tetap ngotot dan keukeuh mau menjadi pengacara, jawaban saya mengendor. Caci maki saya sebagai labil atau apapun, tapi inilah yang terjadi: Saya patah hati melihat pengacara-pengacara panutan saya berjuang mati-matian melindungi para koruptor. Mengapa harus seperti itu? Mengapa murah sekali harga hukum di mata orang-orang tertentu? Saya juga makin miris melihat sistem peradilan dan aparaturnya yang ada di bawah kekuasaan uang. Jangan-jangan saat ini hukum hanya dipandang sebagai sebuah kata yang kosong. Tanpa taring.

Semakin lama kondisi itu semakin parah. Hampir sebulan menjadi mahasiswi hukum, saya terus menerus diberitahu dosen mengenai keadaan hukum bangsa saya yang carut marut. Mau jadi bersih? Susah, nggak bisa “gemuk”. Bahkan yang bersih itu malah kadang dimusuhi oleh sekitarnya. Itu adalah gambaran-gambaran hukum yang terpapar secara gamblang di depan muka saya. Seperti sebuah toilet kotor dengan bandit-bandit kecoa dan dinasti mafia laba-laba. Kotor dan tak tertolong.

Saya bukan superhero yang bisa mengubah keadaan hukum di Indonesia seorang diri. Sekuat apapun idealisme saya dan sebesar apapun pengabdian saya pada hukum, tidak akan ada yang bisa menjamin keadaan hukum di Indonesia bisa berbalik seratus delapan puluh derajat dari posisi ini. Saya putus asa dengan fakta ini walau saya belum mau berhenti dan menyerah.

Salahkah pilihan saya ini? Saya pikir tidak. Saya tidak menyesal karena mempelajari ilmu ini walau tampaknya tak perlu cakap di bidang hukum pun, seseorang bisa menjadi juara di pengadilan. Asal ada kekuasaan, kamu pemenang. Kadang terbersit, untuk apa saya mempelajari suatu aspek yang pengaplikasiannya sudah rusak? Apa gunanya?

Mungkin gunanya adalah membuat mata dan pikiran saya terbuka. Banyak orang yang awalnya beridealisme ingin menolong pihak terperdaya namun hanyut arus deras kepentingan-kepentingan individualistik. Mungkin budaya sudah begitu kuat dan moral kita semakin lemah. Mungkin kita sudah terlalu takut untuk menjadi berbeda. Mungkin kita sudah mengalah pada keadaan. Mungkin.

Dan mungkin, semua hal-hal yang akan saya pelajari dan kenali akan membuat saya semakin kreatif dalam merealisasikan idealisme saya. Jika pun nantinya saya merubah cita-cita dari pengacara menjadi jurnalis, saya ingin menjadi jurnalis yang berpengaruh melalui fakta-fakta tersembunyi yang saya ungkapkan ke permukaan. Ataupun profesi lain yang belum terpikir (dan akan saya selami secara mendalam), saya ingin tetap berjuang mewujudkan idealisme tersebut.

Melalui ilmu yang saya serap kemudian, saya ingin tetap memperjuangkan apa yang perlu diperjuangkan, semua hak-hak dan keadilan hakiki. Saya ingin menjadi orang yang tetap bisa melihat di antara orang-orang yang matanya telah buta, entah karena dibutakan materi atau karena membutakan dirinya sendiri terhadap cahaya-cahaya berpendar dalam hatinya. Saya ingin terus berjuang demi idealisme itu. Saya yakin saya tidak sendiri. Ada jutaan orang muda lainnya yang merasakan apa yang saya rasakan.

Kita tidak bisa merubah dunia, tapi saya yakin kita bisa memberikan kontribusi baik bagi kehidupan. Jika saya dan Anda tetap mempertahankan niat ini, saya yakin, negara tempat kita berpijak akan menjadi tempat yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun