Mohon tunggu...
callistasalsabila
callistasalsabila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tokoh favorit saya adalah Princess Belle. Hobi saya adalah menonton film dan saya sangat suka film Marvel :)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengajarkan Toleransi di Sekolah Dasar Melalui Sastra Anak

2 Desember 2024   10:46 Diperbarui: 2 Desember 2024   11:57 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

1. Pendidikan Multikultural melalui Sastra Anak sebagai Media Pembelajaran Toleransi

Pendidikan multikultural merupakan proses penanaman nilai dan cara hidup yang menghormati, tulus, dan toleran terhadap keberagaman budaya yang ada di tengah masyarakat majemuk. 

Di Indonesia, konsep multikultural bersifat normatif, yang berarti memberikan arahan bagi kepentingan berbagai kelompok masyarakat untuk memperkuat pengakuan terhadap identitas kebangsaan dan kelompok yang berbeda. Prinsip ini secara tegas tercantum dalam UUD 1945, yang mengakui bahwa rakyat Indonesia terdiri atas beragam suku dan etnis dengan hak yang setara sebagai bagian dari bangsa.

Keberagaman budaya di Indonesia merupakan kekayaan yang harus dilestarikan dan dihormati. Namun, tantangan muncul ketika sikap intoleransi, diskriminasi, dan prasangka mulai berkembang, terutama di kalangan generasi muda. Oleh karena itu, pendidikan multikultural sangat diperlukan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi sejak usia dini. Salah satu cara efektif untuk mencapai hal ini adalah melalui sastra anak.

2. Sastra Anak sebagai Media Pendidikan Karakter

Anak-anak umumnya memiliki pola pikir yang imajinatif dan menyukai cerita bergambar, dongeng, atau buku cerita. Hal ini menjadikan sastra anak sebagai sarana yang ideal untuk menanamkan nilai-nilai positif, termasuk toleransi. Sastra anak mampu menyampaikan pesan-pesan moral secara halus namun mendalam, sehingga anak dapat memahami dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut tanpa merasa digurui. 

Berbagai bentuk sastra anak, seperti cerita bergambar, puisi, dongeng, hingga biografi sederhana, dapat dimanfaatkan untuk membangun karakter anak yang menghargai perbedaan.

Menurut Pengantar Ilmu Sastra, sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki keunggulan dalam hal keaslian, keartistikan, dan keindahan isi maupun penyajiannya. Dalam konteks pendidikan dasar, pembelajaran sastra anak dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah menumbuhkan kesenangan membaca tanpa paksaan. Melalui bacaan yang menarik, anak-anak akan belajar menikmati proses membaca, yang pada akhirnya membangun dasar kuat untuk mengapresiasi sastra.

Setelah kesenangan membaca tercipta, pembelajaran sastra dapat diarahkan pada tahap interpretasi dan apresiasi. Guru dapat mengajak siswa untuk mendiskusikan makna cerita atau puisi, menggambarkan tokoh favorit, atau bahkan memainkan adegan dalam cerita melalui drama pendek. Dengan demikian, pembelajaran sastra tidak hanya menanamkan nilai moral, tetapi juga melatih anak untuk berpikir kritis dan kreatif.

3. Menanamkan Nilai Toleransi melalui Sastra

Penanaman sikap toleransi sejak dini merupakan langkah penting untuk menciptakan generasi yang mampu hidup harmonis di tengah keberagaman. Guru dan orang tua memiliki peran besar dalam mengenalkan nilai-nilai ini. Salah satu caranya adalah melalui sastra anak yang mengangkat tema-tema keberagaman budaya, agama, dan latar belakang sosial.

Cerita-cerita seperti dongeng tentang persahabatan antara anak dari suku atau agama yang berbeda, atau kisah hewan-hewan yang bekerja sama meskipun memiliki karakteristik berbeda, dapat menjadi media yang efektif untuk mengajarkan toleransi. Melalui cerita, anak-anak belajar bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk bekerja sama atau berteman.

Strategi implementasi pengajaran toleransi di sekolah dapat dilakukan melalui diskusi kelompok, di mana siswa diajak membahas nilai-nilai dalam cerita yang mereka baca dan mengidentifikasi setiap tokoh yang ada dalam cerita. Selain itu, drama pendek yang melibatkan siswa untuk memerankan tokoh dalam cerita dapat membantu anak memahami sudut pandang orang lain. Dengan cara ini, anak-anak belajar untuk menghargai perbedaan dan mengembangkan empati terhadap sesama.

4. Tantangan dalam Pemanfaatan Sastra Anak

Meskipun sastra anak memiliki potensi besar sebagai media pendidikan karakter, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman guru tentang potensi sastra anak sebagai media pembelajaran. Banyak guru belum terbiasa menggunakan cerita anak untuk menyampaikan nilai-nilai karakter, termasuk toleransi. Hal ini sering disebabkan oleh kurangnya pelatihan atau panduan tentang cara memanfaatkan sastra dalam pembelajaran.

Selain itu, keterbatasan bahan bacaan di sekolah juga menjadi kendala utama. Banyak perpustakaan sekolah, terutama di daerah terpencil, tidak memiliki koleksi buku sastra anak yang memadai. Padahal, keberadaan buku yang relevan dengan tema keberagaman sangat penting untuk mendukung pembelajaran.

Data UNESCO pada 2012 menunjukkan bahwa minat baca di Indonesia sangat rendah, yaitu hanya 1 dari 1.000 orang yang memiliki minat baca serius. Ini merupakan kondisi yang memprihatinkan, mengingat membaca memiliki banyak manfaat, seperti melatih kecerdasan intelektual dan emosional serta memperkaya wawasan. Rendahnya minat baca ini juga menjadi tantangan dalam mengintegrasikan sastra anak ke dalam pendidikan.

5. Solusi untuk Mengatasi Tantangan

Untuk mengatasi tantangan tersebut, beberapa langkah dapat diambil. Pertama, pelatihan guru perlu diadakan secara rutin untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan mereka dalam memanfaatkan sastra anak. Workshop dan seminar tentang strategi pembelajaran berbasis sastra, seperti teknik bercerita, diskusi, dan bermain peran, dapat membantu guru menciptakan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa.

Kunjungan ke perpustakaan daerah juga dapat dilakukan untuk mengatasi tantangan yang dihadapi tentang terbatasnya ketersediaan buku bacaan di sekolah. Dengan mengunjungi perpustakaan daerah, memungkinkan siswa dapat lebih mengembangkan pikiran imajinatifnya karena banyaknya berbagai buku bacaan yang ada.

Peran orang tua juga tidak kalah pentingnya bagi anak-anak. Di rumah, orang tua dapat membacakan cerita yang mengandung nilai-nilai toleransi kepada anak-anak mereka. Dengan begitu, proses pembelajaran tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga berlanjut di rumah.

6. Sastra Anak sebagai Alat Pembentuk Karakter

Sastra anak memiliki kekuatan untuk membentuk karakter anak secara holistik. Cerita-cerita yang menggambarkan perilaku positif, seperti kebaikan hati, keberanian, dan kerja sama, dapat menjadi inspirasi bagi anak untuk meniru nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, cerita yang menggambarkan konsekuensi dari perilaku buruk, seperti kemalasan atau ketidakjujuran, juga berperan dalam memberikan pemahaman kepada anak tentang pentingnya bersikap baik. 

Pengajaran melalui sastra anak sangatlah penting, karena sastra anak sangat dekat kaitannya dengan anak-anak untuk merubah sudut pandang dan pengajaran dengan melalui imajinasi sehingga tidak monoton.

Selain itu, sastra anak juga dapat membantu anak memahami konsep-konsep abstrak, seperti keadilan, empati, dan persahabatan, dengan cara yang sederhana dan menyenangkan. Melalui karakter dan alur cerita, anak-anak belajar bagaimana menghadapi konflik, menghargai perbedaan, dan menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain.

Pendidikan multikultural melalui sastra anak adalah salah satu cara efektif untuk menanamkan nilai-nilai toleransi kepada generasi muda. Dengan pendekatan yang kreatif dan strategis, sastra anak dapat menjadi alat yang kuat untuk membangun karakter siswa yang menghargai keberagaman.

Namun, untuk memanfaatkan potensi ini secara optimal, diperlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk guru, orang tua, komunitas literasi, dan pemerintah. Dengan kolaborasi yang baik, tantangan dalam pengajaran toleransi melalui sastra anak dapat diatasi, sehingga sastra anak benar-benar menjadi jembatan untuk menciptakan generasi yang toleran, empati, dan siap hidup dalam masyarakat yang beragam.

REFERENSI:

Aminah, S., & STAI YPBWI Surabaya, Mp. (2022). PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN SASTRA PADA ANAK USIA DINI. In JOECES Journal of Early Childhood Education Studies (Vol. 1, Issue 1).

Artikel, I. (2022). Toleransi Otentik dalam Sastra Anak Sebagai Implementasi Wawasan Multikultural 1 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Madina Sragen. 7(1). https://doi.org/10.31764/telaah.vXiY.6739

Maspuroh, U., Sugiarti, D. H., Hartati, D., Program, ), Bahasa, S. P., Indonesia, S., Keguruan, F., & Pendidikan, I. (2023). LITERASI SASTRA ANAK SEBAGAI SARANA PENINGKATAN MINAT BACA PADA MASYARAKAT DESA LEMAHMAKMUR KECAMATAN TEMPURAN, KABUPATEN KARAWANG. Communnity Development Journal V Ol, 4(2), 2068–2077.

Suhaniah, A., Anggraini Kartika Devi, A., Fadilla, S., Mufada Khairunnisyah, S., Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, P., & Sultan Ageng Tirtayasa, U. (n.d.). Nilai Sastra Anak dalam Dongeng “Si Kancil Kena Batunya.”

Vanesia, A., Kusrini, E., Putri, E., Nurahman, I., & Pandapotan Simaremare, T. (2023). Pentingnya Nilai-Nilai Pendidikan Ultikultural Dalam Masyarakat. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 25(1), 242–251. https://journals.usm.ac.id/index.php/jdsb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun