“Lihat itu!” katanya, menunjuk ke tembok belakang gedung sekolah.
Kami semua menatap ke arah yang dimaksud. Di sana, di dinding kusam itu, terlihat bayangan menyerupai telapak tangan. Warnanya merah pekat, seperti sesuatu yang pernah basah dan kini mengering.
“Itu... darah?” bisik Fajar dengan suara bergetar.
Kami semua terdiam, menatap bentuk yang begitu jelas. Dina mundur selangkah, wajahnya memucat.
“Kenapa bisa ada di sini?” gumamnya pelan.
Raka, yang biasanya berani, mencoba mendekat untuk memastikan. Tapi semakin lama kami memandang, semakin mencekam rasanya. Bayangan itu tidak hanya menyerupai bekas tangan, tetapi seolah menyimpan cerita gelap yang tak ingin kami ketahui.
“Kita harus pergi dari sini,” kataku akhirnya, memecah keheningan.
Kami segera meninggalkan kebun itu dan kembali ke kelas. Tidak ada yang berani berbicara selama perjalanan.
Penutup
Hari-hari berlalu, dan kami tidak pernah tahu kebenaran tentang telapak tangan merah itu. Apakah itu benar darah, atau hanya noda biasa, kami tidak tahu. Kebun belakang tetap menjadi tempat yang jarang didatangi, dan rasa penasaran tentangnya perlahan memudar seiring waktu.
Namun, pengalaman itu meninggalkan kesan mendalam di hatiku. Aku belajar bahwa tidak semua misteri harus dipecahkan. Kadang-kadang, hal-hal yang tidak terjelaskan justru lebih baik tetap menjadi teka-teki. Tapi satu hal yang pasti, kenangan tentang kebun belakang, telapak merah itu, dan rasa takut yang kami rasakan bersama akan selalu menjadi bagian dari masa kecilku, cerita yang takkan pernah kulupakan.