Jika berbicara tentang kejujuran, ada kalimat yang sangat populer di kalangan masyarakat jawa , kalimat itu bunyinya," Jujur kojur", yang artinya kurang lebih, kalau berbuat jujur pasti hancur. Dan kalimat tadi seakan mewakili prilaku masyarakat saat ini, untuk berbuat jujur benar-benar dibutuhkan energi ekstra. Kasus jujurnya Agus Tjondro, yang jujur mengakui kesalahannya menerima suap, menjadi blunder yang tidak selesai-selesai, bahkan saya yakin biaya yang harus dikeluarkan bahkan resiko yang harus ditanggung oleh seorang Agus tentu sangat besar.
Itulah Kejujuran, banyak orang akhirnya memilih menyelamatkan diri dengan berkata tidak Jujur. Seorang korban salah tangkap di Jombang, akhirnya harus berbohong dan mengaku sebagai pembunuh seseorang yang belum pernah ia kenal dan belum sama sekali terlintas untuk menyakitinya apalagi membunuhnya, tetapi terpaksa ia berbohong, karena ketika ia berkata jujur, bahwa bukan dia yang membunuh, maka 'bogem mentah' melayang di wajahnya. Sangat besar resiko menjadi orang jujur. Jika Allah tidak menguak peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh seorang homo yang bedarah dingin Ryan, barangkali dia akan menjadi penghuni penjara atas apa yang tidak ia perbuat, ia hanya tidak bisa jujur dan merasakan penderitaan yang amat ketika ia harus jujur.
Rosul pernah bersabda: " katakanlah walau itu pahit", tetapi rasa pahit yang identik sebagai sebagai sinyal racun pada makanan, pasti tak seorangpun yang menginginkannya, tetapi pahit jika itu jamu maka akan menyehatkan orang yang meminum atau memakannya.
Bangsa ini selalu terpuruk dan terus akan terpuruk karena para pemimpinnya tidak mau dengan hal yang pahit, mereka senang yang manis-manis wajar saja jika mereka 'diabetes moral', sehingga bisa kita lihat setiap saat mereka diamputasi kekuasaannya oleh penegak hukum, karena mereka selalu merasa sehat padahal sebenarnya mereka sakit dan butuh jamu yang pahit untuk mengobati, dan jamu tersebut adalah kejujuran.
Kitapun sebenarnya miris melihat tontonan persaksian seorang yang diduga tidak jujur, dipengadilan yang diliput televisi yang ditonton jutaan orang, kebohongan yang dibuat sangatlah mencolok mata, tetapi dengan tenang orang tersebut merajut kebohongan demi kebohongan di depan jutaan orang yang hati nuraninya tidak dapat dibohongi.
Waktu penulis di pesantren dulu ada seorang Ustadz yang bercerita tentang kisah kebohongan, menurut beliau seseorang yang berbohong pada satu kesempatan pasti ia tidak cukup berbohong sekali, pasti lebih dari satu kali, beliau mengisahkan, pada suatu hari Nabi Isa Alaihissalam kedatangan seorang tamu pagi-pagi sekali, kemudian beliau menyuguhkan makanan yang enak sekali, roti gandum dengan selai buah. Melihat sajian tersebut orang yang bertamu tadi menjadi ingin mencicipi. Akan tetapi perasaan segannya mengalahkan keinginnannya, ketika Nabi Isa mempersilahkan untuk mencicipi hidangan yang disajikan, ornag tersebut ternyata malu, dan untuk menutupi rasa malunya ia kemudian berbohong,
"Maaf Nabi, saya tadi pagi sudah makan perut saya kenyang..."
"O.. begitu, tunggu sebentar ya.. saya akan masuk ke dalam, ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." seraya Nabi Isa meninggalkan tamunya sendirian.
Ketika Nabi Isa ke dalam, tamu tersebut perutnya berbunyi karena sebenarnya ia memang belum makan waktu berangkat dari rumahnya. Melihat roti didepan matanya, air liurnya menetes deras, tak tertahankan.
Kemudian ia saut roti di depannya, dengan cepat tanpa dikunyah, roti itu ditelannya dalam-dalam, pasti cacing-cacing diperutnya amat girang melihat aksinya. Kemudian dia berlagak biasa kembali seolah tidak terjadi aksi apa-apa, pikirnya Roti sebanyak itu kalau hilang satu tentu Nabi Isa tidak akan tahu.
Tiba-tiba Nabi Isa kembali menemuinya, sambil sekali lagi mempersilakan," Mari silahkan sajian ini jangan dianggurkan"