Sanggit merupakan kemampuan seorang dalang untuk meramu atau mengemas petunjukkan wayang kulit menjadi lebih bermakna, berbobot, dan juga menarik. Lakon "Antasena Kridha" ini memiliki inti cerita tentang seorang anak yang berbakti pada orang tua dan adanya rasa cinta pada tanah air yang begitu tinggi. Antasena merupakan sosok teladan yang tangguh bagi generasi muda saat ini yang tidak hanya menuntut pada orang tua agar memberi kepada anak, tetapi kontribusi apa yang sudah anak beri kepada orang tua, bangsa, dan negaranya. Ki Cahyo Kuntadi berhasil menyajikan sanggit dalam lakon "Antasena Kridha" dengan cara yang sangat menarik dan memikat audiens melalui pendekatan yang kreatif dan penuh daya tarik. Dengan kemampuan beliau dalam meramu dialog dan narasi yang relevan bagi generasi muda serta dengan menyisipkan humor segar membuat pagelaran menjadi lebih meriah dan "hidup" tanpa mengurangi makna filosofis cerita.Â
Makna dalam lakon ini pun juga sangat relevan di era sekarang, bagaimana hendaknya seorang anak harus memiliki mindset untuk selalu berbakti dan menghormati pada orang tua, memiliki rasa cinta kepada tanah air, kesadaran untuk merawat, menjaga keseimbangan ekosistem, dan melestarikan alam sekitar. Lakon "Antasena Kridha" yang menonjolkan sifat Antasena sebagai sosok yang berbakti kepada orang tua memiliki relevansi yang kuat dengan fenomena masa kini, di mana nilai-nilai penghormatan terhadap orang tua sering kali tergerus oleh gaya hidup modern. Dalam cerita ini, Antasena menunjukkan kepatuhan dan penghormatan yang mendalam kepada ayahnya, Bima, sekaligus berjuang untuk melindungi keluarganya. Pesan ini penting untuk mengingatkan generasi masa kini tentang pentingnya menjunjung tinggi kasih sayang, hormat, dan perhatian kepada orang tua, terutama di tengah derasnya pengaruh teknologi dan individualisme. Lakon ini menginspirasi nilai kebersamaan dalam keluarga, yang menjadi fondasi penting bagi keharmonisan masyarakat di era modern.Â
Selain itu, lakon ini juga selaras dengan tantangan global seperti perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam, dan pencemaran lingkungan. Rasa cinta tanah air yang diperlihatkan Antasena dalam lakon ini hendaknya dapat menginspirasi banyak khalayak untuk lebih peduli terhadap pelestarian lingkungan dan menjaga kekayaan alam demi masa depan generasi mendatang, sekaligus menanamkan nilai tanggung jawab kolektif terhadap negeri ini.Â
- Harapan untuk Penyelenggaraan Pagelaran Wayang Kulit di Masa KedepanÂ
Penyelenggaraan pagelaran wayang kulit di ITS yang begitu edukatif ini tentu sangat menjawab tantangan zaman. Inovasi yang begitu luar biasa membuat wayang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Saat dihubungi pada Rabu (11/12) malam, Ibu Sukesi Rahayu mengungkapkan harapan beliau untuk penyelenggaraan pagelaran wayang kulit di lingkungan akademisi di masa yang akan datang, "Saya harap kedepan wayang akan selalu bisa beradaptasi dengan zaman, ketika dipentaskan dalam lingkungan kampus yg notabene penontonnya nasional, konsep terjemahan Bahasa Indonesia dan bahasa internasional bisa kita terapkan sebagai jembatan supaya bahasa wayang bisa dimengerti secara detail oleh pemirsa sehingga ada daya tarik yg luar biasa dari para penonton penikmat maupun pengamat untuk semakin mencintai budaya tradisi yg indah dan megah ini."Â
Selain itu, beliau juga mengungkap harapan saat wayang hadir di lingkungan masyarakat, "Ketika wayang hadir di lingkungan masyarakat umum, harapan saya wayang bisa menjadi pertunjukan multi fungsi yaitu sebagi hiburan, tontonan yg mempunyai tatanan juga tuntunan kehidupan. Menjadi spirit bagi kehidupan, membawa cahaya keberkahan, membawa kemegahan pada setiap zaman, membangun peradaban, mempunyai kehormatan sebagai budaya adiluhung dan disegani di seluruh penjuru dunia. Aamiin YRA," tutup beliau.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H