“Centeng, Centeng, Centeng “, “Kring Kring Kring Kring”, “Kwak-Kwak-Kwak” adalah tiga suara dominan di kota ini. Suara pertama adalah suara tram. Tram tua yang kebanyakan berwarna putih berpadu dengan warna merah kusam itu belnya mengingatkan bel sekolah SD saya di kampung. Bel yang selalu ditunggu setiap murid, yang mengharap segera pulang. Suara yang kedua adalah bunyi bel sepeda pancal. Seperti di kota-kota lain di negara ini, sepeda pancal tetap menjadi alat transprtasi primadona setiap orang. Bahkan,Ibu Retno, Menteri luar negeri RI, yang pernah tinggal di kota ini sebagai Duta Besar RI untuk kerajaan Belanda, sering naik sepeda kalau ke kantor dari rumah dinasnya.
Sedangkan suara yang ketiga adalah suara burung camar. Gerombolan burung dengan bulu didominasi warna putih itu sangat banyak di kota ini. Terbang bebas di antara kerumunan orang, dan sesekali menjeburkan diri dan berenang ke dalam air sungai yang membelah kota ini.
Salah satu saksi bisu sejarah Indonesia di kota ini adalah gedung Ridderzaal, gedung parlemen kerajaan Belanda. Di gedung yang dibangun abad 13 inilah dulu Konferensi Meja Bundar berlangsung. Konferensi yang hasilnya ditandatangani oleh J.H. Maarseveen, Sultan Hamid II dan Mohammad Hatta menandatangani pada tanggal 2 November 1949.
Dari segi arsitektur, menurut saya tidak ada yang istimewa dari bangunan ini. Kalau dibanding dengan gedung-gedung berasitektur romawi yang dibangun pada abad yang sama di Inggris, bangunan ini tidak ada apa-apanya. Kalah cantik dan artistik. Arsitekturnya sangat sederhana, berbeda dengan bangunan-bangunan di kota London yang arsitektur nya begitu rumit, njlimet, tapi sangat artistik.
Selain gedung Ridderzaal, tempat yang bisa dikunjungi di sekitar gedung itu adalah Museum. Salah satunya adalah museum seni Mauritshuis. Ini sepertinya syurga buat yang ngerti dan penikmat seni. Terutama pegiat maupun penikmat seni rupa. Tapi sayang, saya bukan termasuk dua-duanya. Saya tidak tahu bagaimana merasai indahnya sebuah lukisan itu? Sepertinya, saya harus belajar olah rasa agar mampu merasai keindahan dibalik goresan kanvas itu.
Salah satu koleksi yang menjadi icon museum ini adalah lukisan Gadis Berjilbab dengan Anting-anting Mutiara karya pelukis legendaris Belanda, Johannes Vermeer. Entahlah apa yang menjadikan lukisan ini menjadi paling istimewa. Apakah karena Jilbabnya? Apakah perempuan itu seorang Muslimah? Atau apakah karena anting-anting nya yang bersinar dari mutiara itu? Sayang, saya belum mendapatkan jawabanya.
Mengenai perempuan berjilbab itu tidak hanya wujud dalam bentuk lukisan. Di tengah kota Den Haag juga ada patung dua perempuan muda berjilbab. Semakin menambah rasa penasaran saya saja untuk tahu pasti siapa perempuan muda cantik berjilbab itu. Mungkin jawabanya bisa ditemukan dari cerita novel sejarah dengan judul yang sama: Girl with a Pearl Earring.
Walaupun kota ini terlihat klasik, dengan bangunan-bangunan abad 12-13 yang masih dipertahankan dengan apik. Bukan berarti kota ini anti kemajuan. Di sisi lain kota ini, nampak gedung-gedung tinggi dengan arsitektur modern, lazimnya di kota-kota besar lain di dunia. Bagusnya, kehadiran gedung-gedung baru itu tidak dengan merobohkan gedung-gedung tua bersejarah. Alangkah bijaknya, sebuah bangsa yang bisa menghargai karya peninggalan peradaban para pendahulunya.
Makanan di Kota Denhaag Jalan-jalan rasanya kurang sempurna kalau tidak disertai wisata kuliner. Di Belanda katanya syurganya masakan Indonesia di Belanda. Memang banyak restoran Indonesia. Dan banyak juga restoran suriname, yang menunya sama kayak makanan orang khas orang Jawa. Selain masakanya yang memper orang Jawa, ada sambel trasi, lemper, rempelo ati, sampean juga bercakap-cakap pakek bahasa Jawa ngoko. Tapi sayang, saya kurang beruntung, selama satu jam clingak clinguk di kota ini tidak nemu restoran Indonesia. Akhirnya, saya dan mas yusuf karena keburu tidak tahan lapar, terpaksa makan ayam goreng restoran cepat saji yang juga banyak ditemui di Indonesia. Nah, ternyata ada salah satu pelayannya yang bagian ngelap meja ternyata orang Indonesia. Ibu-ibu paruh baya itu menyarankan kalau mau mencari masakan khas Indonesia yang paling lengkap, enak, dan dengan harga yang murah ada di restoran Cina, namanya Ming Kee. Ada Es dawet dan tahu campur juga lo katanya. Tapi kok ya yang jualan kenapa orang Cina?
Dan sayangnya lagi, waktu kami kesana pas warungnya belum buka karena terlalu kepagian. Tapi, meskipun demikian, kami sudah puas dengan makanan khas Indonesia yang disajikan gratis oleh Ibu-ibu Muslimat NU di masjid Al-Hikmah waktu acara sarasehan dan pengajian. Terutama menemukan kerupuk dan rempeyek kacang hijau yang rasanya nendang dan Indonesia banget. *** Dari kota Den Haag, kami melanjutkan perjalanan kembali ke kota Amsterdam untuk cerita dan pengalaman yang lain. Tunggu cerita saya selanjutnya. Semoga, buat sampean yang berangan bisa sampai di kota ini, saya doakan segera keturutan, Ammmiiin! Selamat mendefinisikan arti perjalanan anda sendiri! Ikuti Cerita Lainya di: http://www.cakshon.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H