Mohon tunggu...
Ahmad Mukhlason
Ahmad Mukhlason Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang Santri ndeso, sedang ngaji di Sekolah Ilmu Komputer Universitas Nottingham, Inggris, Britania Raya.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Napak Tilas Sejarah Indonesia di Kota Den Haag

22 Februari 2015   11:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:43 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“…. setiap kota menawarkan suasana khas dirinya. Klasik dan terasa seperti memasuki lorong sejarah masa lampau, begitu kesan yang aku rasakan ketika berada di kota ini. Tram kuno warna putih dan mrah yang sudah kusam dan suara loncengnya yang khas itu, sepeda pancal model jadoel, serta bangunan-bangunan berasistektur kuno mendeskripsikan suasana itu. Seperti, terperangkap dalam lorong waktu ketika kota Surabaya masih berada dalam jaman kolonial. ” – A Random Thought.

Suasana Pagi di Kota Den Haag

Kota Den Haag, atau kota The Hague nama internasionalnya. Siapa sih yang tidak kenal kota ini? (hayo, ngacung!) rasanya, ratusan juta anak Indonesia yang setidaknya pernah duduk di bangku sekolah dasar atau sekolah rakyat pernah mendengar nama kota ini dari guru pelajaran Sejarah. Iya,sampean benar tempat perjanjian konferensi meja bundar (KMB) itu.

denhague_01
denhague_01

Masjid Alhikmah Den Haag

Mungkin, saya termasuk sedikit orang dari ratusan juta anak Indonesia yang pada akhirnya ditakdirkan bisa menginjakkan kaki langsung di kota ini. Merasakan suasana klasik kota yang menyejarah ini. Meskipun dulu, waktu pertama kali mendengar nama kota ini, tidak pernah sedikit pun membayangkan bahwa suatu saat, langkah kaki saya akan sampai di kota ini. Argh, jangankan kota Den Haag. Untuk sampai di ibu kota kabupaten saja sudah mimpi yang sangat mewah buat saya saat itu. Saya jadi teringat kata-kata emak saya berfilosofis pada suatu saat:

yo mbok menowo-menowo,  kan jangkahe arek lanang luweh ombo ketimbang jangkahe arek wedok.

Sudah lupakan sejenak romantika sejarah dan kenangan masa lalu! Saat ini, Kota Den Haag masih menjadi pusat pemerintahan kerajaan Belanda. Di kota inilah, tempat kedutaan besar negara-negara sahabat Belanda berada, termasuk kedutaan besar Republik Indonesia. Sementara, Amsterdam menjadi ibu kota dan Rotterdam dijadikan kota pusat bisnis. Konsep pemisahan kota ini ditiru negara tetangga kita Malaysia, yang membangun kota Putrajaya sebagai pusat pemerintahan, dan Kota Cyberjaya sebagai pusat bisnis dan IT untuk mengimbangi Kuala Lumpur sebagai ibu kota negara yang sudah mulai padat merayap.

denhague_03
denhague_03

Tram dekat Masjid Al-Hikmah, Den Haag

Bagaimana dengan negara tercinta kita Indonesia? Sepertinya, semuanya masih menumpuk di Jakarta. Saya sampai tidak berani membayangkan bagaimana keadaan kota, yang sudah mendapat anugerah sebagai kota termacet di dunia ini, sepuluh tahun yang akan datang? Jadi bertanya-tanya, Bappenas itu kerjaannya ngapain saja sih? *** Kami tiba di Bandara Schipol sudah jam 3 sore setelah penerbangan selama 50 menit dari Bandara Gatwick London. Dari bandara, kami langsung ke Amsterdam Centraal, sekedar ingin menikmati suasana kota ini di malam hari sekaligus mencari makanan ‘berat’ yang seharian baru terisi secangkir kopi dan 2 buah jeruk. Dari Amsterdam sebenarnya saya ingin ke Rotterdam dulu, tetapi, karena ternyata rumah teman yang akan saya inapi cukup jauh dari Stasiun Rotterdam Centraal, saya rubah itenary nya ke Den Haag dulu. Saya dan Mas Yusuf sampai di Den Haag sekitar jam 9 malam. Udara malam itu di Den Haag sangat dingin sekali. Meskipun sudah pakek baju 3 lapis, jaket musim dingin, long john, syal, penutup kepala, dan sarung tangan tetapi udara dingin itu masih terasa menusuk di kulit. Karena tidak tahan dingin, akhirnya kami masuk ke kedai Starbuck di dalam stasiun, hanya sekedar numpang duduk, sambil menunggu si Reza, seorang teman panitia sarasehan yang akan menjemput kami. Sekitar tiga puluh menit kemudian, si Reza datang lengkap dengan kesupelan dan keramahtamahan khas santri jawa timuran. Dari stasiun, kami langsung naik tram menuju Masjid Alhikmah. Sarasehan dan Pengajian Maulid Nabi di Masjid Indonesia Al-hikmah, Den Haag Saya pikir saya akan tidur di dalam masjid, literally. Ternyata, ada rumah cukup besar yang integrated dengan masjid. Ada tiga kamar besar di rumah itu dan kami sudah disiapkan single bed, bantal, dan selimutnya. Di rumah inilah kami bertemu, mengobrol santai dengan beberapa anak muda NU dari beberapa kota di Belanda, Belgia, Jerman, Inggris, dan Maroko. Senang rasanya bertemu anak-anak cerdas NU dari berbagai disiplin ilmu yang membuat saya semakin teguh dan mantap dengan ke-NU-an saya, di antara benturan berbagai ideologi keislaman yang menggoda akhir-akhir ini.

denhague_16
denhague_16

Obrolan Di Rumah Masjid Al-Hikmah Dengan Anak-Anak Muda NU di Eropa

Salah satunya yang cukup berkesan adalah cerita Mas Aiman, anak muda berdarah biru dari Malaysia yang pernah mondok 13 tahun di salah satu pesantren di Jawa Timur, yang saat ini sedang mengambil kuliah master diUniversitas Al-Qarawiyin, Maroko; Universitas tertua di Dunia. Beliau cerita bahwa ternyata Islam di Maroko mirip banget dengan Islam di Indonesia. Bahkan, tradisi tahlilan 7 hari, 40 hari, dst. yang selama ini kita pahami sebagai pengaruh agama Hindu, di sana juga ada. Padahal, Hindu tidak pernah ada di bumi Maroko. Beliau juga, yang menjadi pointer bagi saya kenal dengan salah satu paman beliau, salah satu pakar Islam ‘nusantara’ yang katanya NU banget, di Universitas Oford Inggris, Dr Afifi Al-kiti. Mas Aiman juga berpesan, kalau teman-teman NU Inggris mau mengadakan acara pengajian, beliau pasti bakalan senang sekali. Saya juga ketemu Mas Danu, kolega saya sesama dosen di jurusan yang sama di kampus Sukolilo Surabaya, untuk kedua kalinya di Negara Kincir Angin ini. Sebelumnya, kami sempat bertemu di Kota Eindhoven (baca ceritanya di sini:Wisata Ilmu dan Persahabatan Di Eropa: 6 Kota 3 Negara 1 Benua). Bedanya, kali ini Mas Danu baru saja lulus studi doktoralnya dalam bidang serious game, dari T.U. Endhoven. Saya ikut merasakan betapa leganya jalan panjang perjuangan PhD life itu. Selamat, Mas Dr Danu! Semoga Barokah ilmunya! Ohya, Masjid Alhikmah ini dahulu katanya adalah sebuah gereja besar. Kemudian, dibeli orang-orang muslim Indonesia untuk dijadikan masjid. Makanya, namanya ada embel-embel masjid Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, di Belanda dan negara-negara Eropa lainya, banyak bangunan gereja yang beralih fungsi. Masih mending jika beralih fungsi menjadi masjid, banyak di antaranya berubah menjadi diskotik. Ada dua lantai di masjid ini, lantai pertama dijadikan semacam ruang seminar, kamar mandi, dan tempat wudlu. Sementara lantai dua dijadikan tempat sholat untuk jamaah pria dan wanita.

denhague_19
denhague_19

Gus Mus dalam Sarasehan Islam Nusantara di Masjid Alhikmah Den Haag

Selain desain interiornya yang indah, penuh dengan kaligarafi cantik berwarna emas, ada yang istimewa sekali di masjid ini. Setiap usai sholat jamaah ada salam-salaman sesama jamaah, dan wiridannya dibaca keras. Ini benar-benar membuat saya merasa nostalgic suasana di kampung dan pesantren. Membuat saya merasa sedang di dalam masjid pondok induk, pesantren Darul Ulum, rejoso Jombang. Apalagi, ada tangan Gus Mus yang bisa saya cium, ngalap barokah doa, sehabis sholat. Argh, saya jadi teramat kangen aroma wangi khas telapak tangan kyai Mad, kyai Hisyam, dan kyai Hasyim di Blokagung. Dan telapak tangan kyai Hanan, kyai As’ad, kyai Cholil, dan kyai Dim yang dulu selalu saya ciumi bersama ribuan santri lainya setiap selesai sholat jamaah di masjid. Sayang, hal yang nostalgic ini lebih sering dibid’ahkan di tempat saya berada saat ini.

denhague_17
denhague_17

Selepas Pengajian Peringatan Maulid Nabi Muhammad, Masjid Alhikmah, Den Haag

Di masjid inilah, kegiatan sarasehan tentang islam nusantara dan pengajian umum peringatan maulid nabi diselenggarakan. Sarasehan diselenggarakan dari pagi hingga sore di ruang seminar masjid lantai satu, dihadiri Gus Mus, Akademisi Belanda, Ulama Indonesia dan Ulama Suriname yang tinggal di Belanda, serta anak-anak muda NU dari berbagai kota di Belanda, dan negara-negara eropa lainya, serta dari Maroko. Uniknya, sarasehan kali ini pakek setting lesehan, yang membuat saya terbawa suasana bahtsul masaail di pesantren. Kemudian malamnya dilanjut pengajian umum peringatan Maulid Nabi tepat sehabis jamaah sholat isya’ di masjid lantai dua dengan Gus Mus sebagai pembicara utamanya. Banyak ilmu yang bisa saya serap dari beliau, lihat postingan saya sebelumnya: Ngaji Bareng Gus Mus Nang Londo. Satu lagi yang mencuri perhatian saya selama sarasehan dan pengajian itu adalah ternyata di antara para peserta sarasehan dan pengajian ada beberapa mualaf cina dan bule-bule Belanda. Rasanya, adem menatap wajah bule-bule londo dan mata sipi cina itu. Entah mengapa, seolah ada yang berbeda dari mereka setelah menjadi muslim di bandingkan bule londo lainya yang belum muslim. Dari wajahnya terpancar cahaya, yang memancarkan inner happiness. Kebetulan, di tempat yang sama juga ada bule londo, menjadi salah satu pembicara, pakar Islam Indonesia, yang fasih berbahasa Indonesia, tapi belum mendapat hadiah untuk masuk Islam. Terlihat benar memang bedanya, wajah-wajah muslim yang dibasuh air wudlu lima kali sehari itu. Napak Tilas Sejarah Indonesia di Kota Den Haag

denhague_04
denhague_04

Penunjuk Jalan Di Centrum Kota Den Haag

Selain kegiatan sarasehan, pengajian, dan silaturahmi dengan teman-teman NU, kami juga sempat keliling kota Den Haag. Hanya sekedar ingin merasakan suasana khas kota Den Haag dan napak tilas sejarah Indonesia di kota ini. Saya percaya bahwa setiap kota selalu menawarkan suasana khas yang dimilikinya.

denhague_14
denhague_14

Tram Merah Putih di Kota Den Haag

Meskipun Den Haag adalah salah satu kota terbesar di Belanda, tapi suasana macet jauh dari kota ini. Kotanya lengang dan nyaman. Suara cicit cuit burung yang terbang bebas berseliweran tanpa rasa takut masih bisa didengar setiap saat di kota ini. Dengan kereta api sebagai alat transport utama antar kota; tram dan sepeda pancal yang jumlahnya massive sebagai alat transportasi utama dalam kota, sangat masuk akal rasanya jika menjadikan kota ini tetap tenang dan nyaman untuk hidup.

denhague_05
denhague_05

Green Tram Kota Den Haag

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun