Mohon tunggu...
Ruslan Effendi
Ruslan Effendi Mohon Tunggu... Akuntan - Pemerhati Anggaran, Politik Ekonomi, Bahasa

Penulis pada International Journal of Public Administration

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Otonomi Daerah: Dialektika Pasca Big Bang

10 November 2020   15:30 Diperbarui: 10 November 2020   15:38 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Twitter Samuel Stokes @SamCStokes

Penelitian-penelitian  menyebut sejarah lahirnya otonomi daerah di Indonesia sebagai otonomi daerah big-bang. Penelitian yang ada menyebutkan bahwa otonomi terjadi karena tekanan politik kepentingan daerah pasca jatuhnya Soeharto, karena tekanan negara donor internasional, atau karena dorongan untuk memasarkan popularitas melalui penjualan ide-ide reformis yang paling laku pada masa itu. Dengan demikian, jelaslah bahwa bahwa otonomi di Indonesia adalah otonomi daerah dan dengan desentralisasi fiskalnya yang lebih berfokus pada political-driven daripada economy-driven. Nah apa cerita selanjutnya? Pada kesempatan ini saya mau menawarkan nalar dialektika atas kelanjutan implementasi otonomi daerah ini dari Pandangan Norman Fairclough

Dialektika

Istilah pemerintah Pusat (Pusat) ada, karena ada pemerintah daerah (pemda) dan sebaliknya. Pusat dan pemda  merupakan hubungan dua objek yang berbeda satu sama lain, berbeda dalam proses sosial. Perbedaan ini tidak bisa bersifat 'diskrit', tidak sepenuhnya terpisah dalam arti yg satu mengecualikan yang lain. Memang agak membingungkan berbeda tetapi tidak terpisah, namun juga tidak mungkin jika Pusat direduksi menjadi pemda atau sebaliknya. 

Hubungan dialektis Pusat dan pemda terbentuk dari praktik sosial, tetapi juga membentuk praktik sosial kembali, atau istilah adalah socially constitutive. Dalam pandangan Fairclough, dialektika Pusat dan pemda dapat dilihat dari wacana yang dibangun kedua institusi  tersebut pada praktik sosial. Dengan kata lain, keduanya memaknai tindakan, identifikasi, dan representasi. Keuntungan menggunakan dialektika dalam menganalisis adalah untuk menghindarkan kita pada penekanan yang berlebihan di satu sisi pada determinasi wacana sosial

Pusat dan Pemda masing-masing membentuk wacana (dalam hal ini praktik sosial) dan struktur sosial yang berbeda, momen atau elemen yang berbeda. Fairclough menggunakan konsep  “momen”merujuk pada David Harvey, Profesor Geografi di Universitas Johns Hopkins. 

Nah elemen-elemen ini akan diubah ketika berada dalam hubungan dialektis - setiap momen 'menginternalisasi' yg lain tanpa dapat  direduksi menjadi salah satu dari mereka. Dengan demikian dialektika menjelaskan hubungan  struktur sosial intra dan antar institusi tersebut dan wacana, atau hubungan antara struktur sosial dan praktik.

Struktur dan praktik seringkali menimbulkan permasalahan dualisme. Dalam istilah lain adalah  dualisme hubungan struktur –agensi, atau struktur - peristiwa diskursif, struktur-strategi, atau struktur tindakan. 

Dalam dialektika, keduanya dipandang saling berhubungan.  Untuk memudahkan penjelasan dualisme ini, perlu dilihat bagaimana Fairclough merujuk pandangan Bob Jessop, akademisi Inggris, ahli dalam teori negara dan ekonomi politik. Menurut Jessop, ada dialektika antara struktur dan strategi (atau, lebih abstrak, struktur dan agensi) dalam teorinya: struktur membatasi tetapi tidak menentukan strategi; struktur diproduksi dan direproduksi melalui strategi; struktur bisa diubah melalui strategi. 

Kelompok agensi dan agen mengembangkan strategi alternatif dan sering bersaing, terutama pada saat ketidakstabilan atau krisis, untuk perubahan struktural. Tetapi strategi 'selalu di-elaborasi dalam dan melalui wacana', 'narasi yang berusaha memberi makna pada masalah saat ini dengan menafsirkannya dalam istilah kegagalan masa lalu dan kemungkinan masa depan’ yang berbeda.

Pusat dan pemda disebut memiliki momen atau elemen yang berbeda. Untuk mengatakan bahwa hubungan antar momen adalah dialektis berarti bahwa meskipun mereka berbeda satu sama lain dan tidak mungkin satu sama lain direduksi menjadi yang lain, mereka tidak terpisah, yaitu batas-batas di antara mereka cair — mereka 'mengalir' dari momen satu ke momen yang lain.

Praktik Sosial

Dialektika tidak dipandang sebagai hal yang abstrak, melainkan perlu ditunjukkan dalam praktik nyata, melalui artikulasi berbagai elemen dalam tatanan wacana (Order of discourse). Praktik sosial yang terjadi akan tergantung orang-orang yang berada di Pusat maupun pemda sebagai agen sosial yang memiliki kekuatan untuk perubahan sosial. Namun demikian, perubahan sosial tidak semata-mata disebabkan oleh agensi itu, bisa juga karena struktur.

Apakah dengan otonomi itu terjadi perubahan atas dominasi?

Fairclough menggunakan penalaran dialektika ini dengan menggunakan teks. Dia menulis tentang tiga aspek pemberian maakna (yaitu  genre, wacana, dan gaya) yang seolah-olah  terpisah satu sama lain. Bukan demikian, justru ketiganya berkaitan dengan hubungan yang lebih halus meskipun kompleks. Michel Foucault membuat perbedaan yang sangat mirip dengan  tiga aspek makna Fairclough. Agak paradoks juga ya, perbedaan yang sangat mirip, yang disebut tiga sumbu Foucault: sumbu pengetahuan, sumbu kekuasaan, sumbu etika. Bagaimana kita dijadikan sebagai subjek pengetahuan kita sendiri? bagaimana kita dibentuk sebagai subjek yang menjalankan atau tunduk pada relasi kuasa? Bagaimana kita dianggap sebagai subjek moral dari tindakan kita sendiri? Agar tidak salah memahami pandangan Fairclough, tiga sumbu Foucault itu juga mewarnai pandangan Fairclough, namun Fairclough lebih mengkonsentrasikannya pada analisis teks.

Dengan mempelajari artikulasi teks-teks itu, akan menghasilkan interpretasi atas praktik sosial yang terjadi berkaitan dengan otonomi daerah, misalnya:

1.      Praktik pendidikan politik

2.      Praktik hegemoni karena hubungan kekuasaan (apakah otonomi sebatas etalase?) telah memarginalkan masyarakat setempat.

3.      Praktik pada implementasi negara kesejahteraan (pendidikan, kesehatan, jaminan hari tunai, jaring pengaman sosial). Apakah otonomi menghasilkan grafik peningkatan dalam negara kesejahteraan atau justru penurunan.

4.      Praktik Akuntabilitas vertikal-horisontal

5.      Praktik menguntungan dan merugikan.

Atau sederhananya, karena Fairclough memiliki perhatian yang tinggi pada hubungan kekuasaan, maka interpretasi umumnya adalah bagaimana hubungan kekuasaan terwujud dalam praktik sosial.  

Ruslan Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun