Mohon tunggu...
Cak Patto Made Ozawa
Cak Patto Made Ozawa Mohon Tunggu... -

Wong Magetan Dolanan Internet Ben Podo Koncone

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

SEJARAH LUDRUK JAWA TIMUR

5 Juni 2014   05:55 Diperbarui: 4 April 2017   17:21 30310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada zaman Republik Indonesia, seni ludruk masih hidup dan berkembang sebagai kesenian rakyat tradisional yang berbentuk teater. Hanya saja, kalau pada masa sebeluninya kesenian ini berfungsi sebagai penyalur kritik sosial, pada masa yang kemudian fungsinya bergeser menjadi penyampai kebijaksanaan pemerintah. Selain itu, ludruk juga digunakan sebagai media promosi barang dagangan tertentu oleh Sponsor tertentu. Menurut Sensus Kesenian yang dilakukan oleh Kanwil P dan K Jawa Timur, sampai tahun 1985 terdapat 58 perkumpulan ludruk dengan 1530 orang pemain. Jumlah ini dapat dikatakan cukup banyak dan menunjukkan bahwa minat masyarakat Jawa Timur (Surabaya) terhadap bentuk kesenian ini masih cukup besar.

Pada tahun 1994 , grup ludruk keliling tinggal 14 grup saja. Mereka main di desa-desa yang belum mempunyai listrik dengan tarif Rp 350. Grup ini didukung oleh 50- 60 orang pemain. Penghasilan mereka sangat minim yaitu : Rp 1500 s/d 2500 per malam. Bila pertunjukan sepi, terpaksa mengambil uang kas untuk bisa makan.

Sewaktu James L Peacok (1963-1964) mengadakan penelitian ludruk di Surabaya tercatat sebanyak 594 grup. Menurut Depdikbud propinsi jatim, sesudah tahun 1980 meningkat menjadi 789 grup (84/85), 771 group (85/86), 621 grup (86/87) dan 525 (8788). Suwito HS, seniman ludruk asal Malang mengatakan tidak lebih dari 500 grup karena banyak anggota group yang memiliki keanggotaan sampai lima grup.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh komunitas loedroek ITB, perkembangan kesenian ludruk dibagi menjadi beberapa periode:

Periode Lerok Besud (1920-1930)
Kesenian yang berasal dari ngamen tersebut mendapat sambutan penonton. Dalam perkembangannya yang sering diundang untuk mengisi acara pesta pernikahan dan pesta rakyat yang lain.
Pertunjukkan selanjutnya ada perubahan terutama pada acara yang disuguhkan. Pada awal acara diadakan upacara persembahan. Persembahan itu berupa penghormatan ke empat arah angin atau empat kiblat, kemudian baru diadakan pertunjukkan. Pemain utama memakai topi merah Turki, tanpa atau memakai baju putih lengan panjang dan celana stelan warna hitam. Dari sini berkembanglah akronim Mbekta Maksud artinya membawa maksud, yang akhirnya mengubah sebutan lerok menjadi lerok besutan.
Dalam ludruk besutan yang disamarkan tidak hanya kritik sosial, tetapi juga nama para pemain seperti Jumino, Rusmini, Singogambar dan sebagainya. Permainan ludruk besutan tersusun dari tandakan (menari bebas), dagelan (lawak), dan besutan. Dalam ludruk ini belum dikenal cerita yang utuh. Yang ada hanya dialog yang dikembangkan secara spontan.
Dari tahun 1922 sampai dengan tahun 1930, ludruk mengalami perkembangan dengan masuknya secara berangsur-angsur unsur-unsur cerita di dalamnya. Perkembangan ini banyak dipengaruhi oleh peredaran film bisu di Indonesia. Ludruk yang telah memasukkan unsur cerita disebut ludruk sandiwara. Jenis ludruk ini menampilkan adegan-adegan cerita yang mencerminkan situasi kehidupan masyarakat dan lingkungannya.

Periode Lerok dan Ludruk (1930-1945)
Periode lerok besut tumbuh subur pada 1920-1930, setelah masa itu banyak bermunculan ludruk di daerah Jawa Timur. Istilah ludruk sendiri lebih banyak ditentukan oleh masyarakat yang telah memecah istilah lerok. Nama lerok dan ludruk terus berdampingan sejak kemunculan sampai tahun 1955, selanjutnya masyarakat dan seniman pendukungnya cenderung memilih ludruk.
Sejaman dengan masa perjuangan dr. Soetomo di bidang politik yang mendirikan Partai Indonesia Raya, pada tahun 1933 cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO). Ludruk inilah yang merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan baik Belanda maupun Jepang.
Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat, oleh pemain pemain ludruk digunakan untuk menyampaikan pesan pesan persiapan Kemerdekaan, dengan puncaknya peristiwa akibat kidungan Jula Juli yang menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di Indonesia yaitu:
”Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro”.

Periode Ludruk Kemerdekaan (1945-1965)
Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat, untuk menyampaikan pesan pesan pembangunan. Pada masa in Ludruk yang terkenal adalah “Marhaen” milik “Partai Komunis Indonesia”. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika PKI saat itu dengan mudah mempengaruhi rakyat, dimana ludruk digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan masa untuk tujuan pembrontakan. Peristiwa madiun 1948 dan
G-30 S 1965 merupakan puncak kemunafikan PKI.
Ludruk benar-benar mendapatkan tempat di rakyat Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk tresna Enggal.
Ludruk Marhaen pernah main di Istana Negara sampai 16 kali, hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali Irian Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari panglima Mandala (saat itu dijabat oleh Soeharto). Ludruk ini lebih condong “ke kiri”, sehingga ketika terjadi peristiwa G 30 S PKI Ludruk ini bubar.

Periode Ludruk Pasca G 30 S PKI ( 1965 saat ini)
Peristiwa G30S PKI benar benar memporak- porandakan grup- grup Ludruk terutama yang berafiliasi kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat (lekra) milik PKI. Terjadi kevakuman antara 1965-1968. Sesudah itu muncullah kebijaksanaan baru menyangkut grup-grup ludruk di Jawa Timur.
Peleburan ludruk dikoordinir oleh ABRI, dalam hal ini DAM VIII Brawijaya. Proses peleburan ini terjadi antara tahun 1968-1970.
1. Eks-Ludruk marhaen di Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit
2. Eks-Ludruk Anogara Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II
3. Eks-Ludruk Uril A Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma unit III,
dibina Korem 083 Baladika Jaya Malang
4. Eks-Ludruk Tresna Enggal Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit IV
5. Eks-Ludruk kartika di Kediri dilebur menjadi Ludruk Kusuma unit V

Diberbagai daerah ludruk-ludruk dibina oleh ABRI, sampai tahun 1975. Sesudah itu mereka kembali ke grup seniman ludruk yang independen hingga kini. Dengan pengalaman pahit yang pernah dirasakan akibat kesenian ini, Ludruk lama tidak muncul kepermukaan sebagai sosok Kesenian yang menyeluruh. Pada masa ini ludruk benar- benar menjadi alat hiburan. Sehingga generasi muda yang tidak mendalami sejarah akan mengenal ludruk sebagai grup sandiwara Lawak.

Ludruk dan Legendanya
Beberapa warga masyarakat yang ditemui dan diwawancarai secara acak, seperti misalnya pengemudi becak, pegawai sebuah toko fotocopy, masih dapat menceritakan dengan baik berbagai cerita ludruk, tokoh-tokoh ceritanya, perkumpulan, serta pemain pemain ludruk yang terkemuka.
Bicara soal ludruk, pasti yang terlintas di benak kita adalah Kartolo. Kartolo adalah seorang pelawak ludruk legendaris asal Surabaya, Jawa Timur. Beliau sudah lebih dari 40 tahun hidup dalam dunia seni ludruk. Nama Kartolo dan suaranya yang khas, dengan banyolan yang lugu dan cerdas, dikenal hampir di seluruh Jawa Timur, bahkan hingga Jawa Tengah. Kartolo sudah aktif dalam dunia seni ludruk semenjak era tahun 1960-an. Ia mendirikan grup ludruk Kartolo CS.

Kartolo CS terdiri dari Kartolo, Basman, Sapari, Sokran, Blonthang, Tini (istri Kartolo), tergabung dalam kesenian karawitan Sawunggaling Surabaya. Masing-masing pemain punya karakter yang unik dan khas, dan punya semacam ‘tata-bahasa’ sendiri. Misalnya Kartolo yang menjadi paling cerdas, sehingga sering diceritakan ‘ngakali’ pemain lain, Basman yang punya suara besar dan omongan nyerocos, dan Sapari yang sering nakal tapi malah jadi korban. Namun formasi emas ini tidak bertahan sampai sekarang. Yang tersisa adalah Kartolo, Tini dan Sapari. Basman, Sokran dan Blonthang sudah meninggal dunia. Sampai sekarang Kartolo dan Sapari masih sering tampil di JTV (TV-nya Jawapos) di Surabaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun