Adapun pencemar logam berat yang mungkin timbul dari hasil pembakaran sampah di incinerator antara lain arsen, merkuri, dan kadmium, serta pencemar persisten dan organik termasuk dioksin dan furan. "Dioksin itu karsinogenik tipe 1, artinya sudah dipastikan menimbulkan kanker terhadap manusia. Dan ini dampaknya mungkin baru 10-15 tahun lagi kita lihat. Gara-gara kita membakar 1000 ton sampah per hari, menghasilkan 25% residu abu, yang notabene limbah B3, maka itu dibebankannya ke generasi yang akan datang," ujar Margaretha.
Kota seperti Jakarta dengan volume sampah sekitar 6500 ton per hari tentu tak akan kesulitan memenuhi kuota minimum 1.000 ton per hari untuk dibakar di incinerator.
Namun kota seperti Solo dengan volume sampah 260 ton per hari akan kesulitan memenuhi kuota sehingga akhirnya bukan mengolah atau mengurangi sampah namun justru pemerintah akan berusaha menambah sampah untuk memenuhi kebutuhan incinerator.
Direktur WALHI, Nur Hidayati, juga menilai bahwa pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah di tujuh kota ini seolah dilihat sebagai cara instan menghilangkan sampah di ujung masalah. Padahal masalah sampah perkotaan seharusnya ditangani sejak dari awal, bahkan sebelum muncul sampah, yaitu dengan meminimalisir jumlah sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir.
"Kalau pemerintah serius, tidak bisa sepotong-sepotong seperti ini, kalau perlu ditarik ke pangkalnya, misalnya dengan proses produksi tidak menggunakan bahan-bahan yang beracun, lalu kalau masuk ke industri yang makanan atau menggunakan kemasan, itu bagaimana ada kebijakan aturan soal kemasan, misalnya nggak boleh lagi pakai plastik, kemasannya harus digunakan kembali. Kalau mau menghilangkan atau mengatasi sampah di Indonesia ini, pemerintah harus mau bersusah-susah," kata Nur Hidayati.
Meski pembangkit listrik tenaga sampah rencananya baru akan selesai 2018 nanti, beberapa orang yang tinggal di sekitar Bantargebang dan berprofesi sebagai pemulung plastik menyatakan keberatan terhadap rencana pendirian PLTSa ini.
Keberatan para aktivis lingkungan ini ditepis oleh R Sudirman, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. "Membakar yang tidak ramah lingkungan jelas dilarang, tapi membakar setelah dilakukan proses 3R (reduce, reuse, recycle) itu boleh, asal memenuhi baku mutu kaidah-kaidah lingkungan yang benar. Asalkan menghasilkan energi lho, kalau dibakar aja tidak menghasilkan energi ya nggak boleh," katanya.
Keraguan para aktivis lingkungan tersebut sebaiknya ditanggapi oleh pemerintah dengan kepala dingin, sebab berkaca dari apa yang dilakukan Swedia, mereka berhasil mengelola sampah-sampah mereka menjadi tenaga listrik. Bahkan mereka harus mengimpor 700 ribu ton sampah setiap tahun untuk mencukupi kebutuhan sampah mereka untuk diolah menjadi tenaga listrik. Jadi tidak heran jika kita berpergian ke swedia, menemukan sampah di sepanjang jalan disana merupakan hal yang langka.
Yang jelas, dalam penerapannya pemerintah harus selalu siap dan siaga dalam monitoring terkait emisi, monitoring terkait kebauan, dan juga mengkaji dokumen AMDAL (Laporan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), dan kemudian pengelolaan sampah tersebut juga harus ditempatkan di tata ruang yang benar. Bukan malah mencemari lingkungan sekitarnya.
Untuk data akurat dan informasi lebih lengkap tentang energi, kalian bisa baca di www.esdm.go.id