Apa itu budaya literasi? Istilah ‘literasi’ dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan tulis-menulis, keberaksaraan, atau melek aksara. Dalam konteks kekinian, literasi memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar. Maka secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan di mana setiap orang memiliki sikap cerdas, peka, jeli, pembelajar, berbudaya, mampu membaca lingkungannya dan mampu mengaktualisasikan dalam tulisan atau karya.
Dalam konteks ini, sebagai bangsa dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa, dengan jumlah lembaga pendidikan dan perguruan tinggi yang terus meningkat, apakah Indonesia telah memiliki tradisi literasi yang baik? Tentu saja belum.
Hal ini sinergis dengan data yang dilansir oleh Central Connecticut State University di New Britain, AS, menempatkan lima negara pada posisi terbaik yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia. Dan kita mungkin terkejut ketika mengetahui Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara di Afrika. (The Jakarta Post, 12 Maret 2016).
Hasil penelitian di atas menunjukkan betapa lemahnya budaya literasi dalam masyarakat Indonesia. Bangsa kita masih mengandalakan apa yang dilihat (visual) dan didengar (audio) dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS) di 2006 menunjukkan 85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen). Kita belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca. Kita belum dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Membaca dan menulis belum menjadi budaya dan tradisi bangsa kita.
Masyarakat lebih familiar dengan media visual (memonton), verbal (lisan) atau mendengar dibandingkan membaca apalagi menulis. Kondisi di atas tidak hanya pada kalangan awam (masyarakat umum), di lingkungan pelajar dan pendidikan tinggi pun masih jauh dari apa yang disebut budaya literasi yang baik. Kalangan generasi muda belum tertanam kecintaan membaca buku, selain sebatas membaca status atau keterpaksaan adanya tugas. Bahkan guru dan dosen, tidak sedikit dari mereka yang juga sama keadaanya.
Tidak sulit untuk mengidentifikasi secara lebih riil bahwa masyarakat kita belum memiliki tradisi literasi yang baik. Di Ponorogo misalnya sebagai sampel. Berjalanlah setiap hari ke setiap sudut kelurahan atau kampung, amatilah setiap rumah di saat waktu-waktu senggang atau saat pemberlakuan Jam Belajar Masyarakat ditetapkan. Maka, Anda akan mendapatkan Rumah-rumah yang tetap menghidupkan televisi Atau di siang hari ke perpustakaan daerah yang masih sepi pengunjung. Serta, warga yang cuek dengan seluruh aturan jam belajar atau bahkan tidak ada himbauan pemberlakukan Jam Belajar masyarakat.
Tentang hal ini, tidak perlu mencari siapa yang salah dan paling bertanggung jawab atau bahkan menyalahkan pemerintah. Karena sesungguhnya, budaya sadar literasi memang bukan kondisi yang bisa terwujud secara tiba-tiba dan instan. Dalam hal ini pemerintah sebenarnya sudah memulai dengan misalnya sejak akhir tahun 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah meluncurkan program unggulan bernama Gerakan Literasi Bangsa (GLB) yang bertujuan untuk menumbuhkan budi pekerti remaja melalui budaya literasi (membaca dan menulis).Atau juga misalnya Kementerian Agama, meluncurkan program bernama “Gerakan Maghrib Mengaji sejak 2013.
Ikhtiar pemerintah melahirkan kebijakan tersebut tentu adalah niat yang baik. Hanya saja, ketika sebuah kebijakan hanya sebagai formalitas dan program kerja saja, tentu tidak akan maksimal. Pemerintah seharusnya juga mengawal sekaligus mengevaluasi. Sehingga program dapat berjalan dengan maksimal dan sesuai dengan kondisi di lapangan. Salah satunya misalnya mendorong dan mengintervensi lembaga-lembaga pemerintah dan swasta, yang memiliki ruang tunggu untuk pro aktif menyediakan bahan bacaan, seperti kantor kelurahan, kecamatan, puskesmas, perbankan, koperasi, BMT, kafe, rumah makan, atau lembaga-lembaga sejenis lain, yang meniscayakan pengunjungnya untuk menunggu. Sehingga, ketika tempat-tempat tersebut difasilitasi ruang baca, maka waktu menunggu bisa dimanfaatkan untuk membaca.
Bagaimanapun aktifitas literasi merupakan salah satu aktifitas penting dalam hidup. Sebagian besar proses pendidikan bergantung pada kemampuan dan kesadaran literasi. Budaya literasi yang tertanam dalam diri generasi muda mempengaruhi tingkat keberhasilan baik di jenjang pendidikan maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga tidak berlebihan kiranya Dr. Roger Farr (1984) menyebut bahwa “Reading is the heart of education”. Bagi masyarakat muslim, pentingnya literasi ditekankan dalam wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW, yakni dalam ayat, Iqra’ (bacalah) yang dipertegas dengan ayat ‘allama bil qalam (mendidik melalui literasi).
Membangun Budaya Sadar Literasi
Dr. Ngainun Naim, dalam buku “Geliat Literasi (2015)”, dalam kata pengantarnya menulis, bahwa untuk menciptakan kemajuan peradaban suatu daerah salah satunya dengan menumbuhkembangkan tradisi literasi. Nah, dalam konteks ini generasi muda yang juga generasi pembelajar seharusnya dapat mengambil peran aktif menjadi motor penggerak untuk melajunya buadaya sadar literasi di lingkungannya masing-masing agar lebih massif.
Tentang literasi, khususnya menulis, Hernowo (2005) dalam bukunya “Mengikat Makna” menyebut bahwa menulis dapat membuat pikiran kita lebih tertata, membuat kita bisa merumuskan keadaan diri, mengikat dan mengonstruksi gagasan, mengefektifkan atau membuat kita memiliki sugesti positif, membuat kita semakin pandai memahami sesuatu (menajamkan pemahaman), meningkatkan daya ingat, membuat kita lebih mengenali diri kita sendiri, mengalirkan diri, membuang kotoran diri, merekam momen mengesankan yang kita alami, meninggalkan jejak pikiran yang sangat jelas, memfasihkan komunikasi, memperbanyak kosa-kata, membantu bekerjanya imajinasi, dan menyebarkan pengetahuan. Bahkan berdasarkan riset yang yang dilansir baru-baru ini di Eropa bahwa, membaca dapat mengurangi dua kali risiko terserang penyakit Alzheimer (pikun).
Artinya, budaya literasi memang sangat penting, sehingga ketika generasi muda jauh dari budaya literasi, jangan salahkan anak cucu kita, jika mereka lebih mengenal Syahrini, Saskia Gothik, Cita Citata, Soimah, dkk, dibanding Soekarno, HOS Cokroaminoto, Agus Salim, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Tan Malaka, atau tidak tahu sejarah bangsa dan tidak hafal pancasila. Hal itu bukanlah karena tidak ada literatur yang mengulas seputar itu, Namun, kita yang tidak menanamkan budaya sadar literasi kepada generasi saat ini dan masa depan.
Majda El Muhtaj (2015), Seorang akademisi Unimed, pernah mengatakan bahwa you are what you read. Kata-kata yang beliau adopsi dari sebuah tulisan di angkutan umum Singapura. Kalimat itu secara sederhana bermakna bahwa kapasitas dirimu adalah apa yang kamu baca. Menurut dia, orang yang menulis sudah pasti membaca, sementara orang yang membaca belum tentu menulis. Sehingga apa yang kita tulis merupakan cerminan dari karakter kita yang sedikit banyak terbentuk dari buku-buku yang kita baca.
Pribahasa latin mengatakan, Verba valent schripta manent, yang berarti apa yang terucap akan lenyap bersama angin dan apa yang tertulis akan terkenang abadi. Kata-kata itu menegaskan bahwa menulis memberikan sumbangsih pemikiran bagi peradaban manusia, karena apa yang pernah kita tuangkan ke dalam tulisan akan selalu terkenang abadi meskipun kita telah tiada.
“Aku menulis, maka aku ada” (Scribo Ergo Sum) demikian KH. Zainal Arifin Thoha (2009) memberi judul bukunya yang sangat inspiratif. Judul buku tersebut bisa kita maknai bahwa tulisan atau karya sebagai sesuatu yang tidak akan pernah hilang dan habis. Mengapa demikian? karena dengan menulis kita akan meninggalkan sebuah jejak yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Ketika jasad telah tiada namun tulisan-tulisan kita bisa di kenang sepanjang masa. Menulis adalah proses di mana kita bisa menghargai hidup, dengan menulis sesuatu yang bermanfaat setidaknya ada satu atau dua orang akan membaca dan kemudian bermanfaat buat mereka maka itu lah yang di sebut menghargai hidup.
Menulis menjadi cara mengada (mode of being). Dengan kata lain, menulis sebagai cara bereksistensi. Eksis dalam arti gagasan dan idenya di kenal dan di baca orang lain. Bukan eksis sebatas definisi anak muda sekarang di Sosmed. Ada hubungan erat antara menulis dengan mengada (menjadi). Sebut saja misalnya, seorang Seekarno mengada melalui pidato-pidatonya,
Pramoedya Ananta Toer mengada melalui karya sastranya. Romo Mangunwijaya mengada melalui roman-roman sejarahnya, Imam Al-Ghozali mengada melalui Ihya’ Ulumuddinnya, Buya Hamka mengada melalui tafsirnya, Sapardi Djoko Damono mengada melalui syair-syairnya, Tere Liye melalui novel-novelnya, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kemengadaan mereka terwujud dalam berbagai bentuk kegelisahan literasi, keprihatinan, sekaligus pergulatan batin yang mereka torehkan dalam lembar-lembar karyanya.
Pena dan kertas seakan menjadi nyawa mereka sendiri. Menulis sudah menjadi napas dan detak jantungnya. Sampai ada orang yang merasa dirinya tidak utuh kalau tidak menulis sehari saja. Nah, menulis tidak lain adalah cara mengada. Baik dalam ruang privat (kedirian) maupun eksis di ruang publik (pengakuan). Dan menulis adalah cara mengada secara abadi. Para ahli hadist, semisal Imam Muslim dan Bukhari sudah meninggal. Tapi, kitab-kitabnya seakan mengabadikan pengarangnya. Ia terus dibaca hingga sekarang. Persis yang dikatakan oleh Pramoedya, orang boleh pintar setinggi langit, tapi kalau tidak menulis ia akan hilang ditelan zaman. Menulis adalah bekerja pada keabadian.
Pesan luhur juga disampaikan Imam Al-Ghazali, yuris masa Keemasan Islam, Ia mengatakan bahwa “Kalau engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H