Sejak desentralisasi dan otonomi daerah digulirkan satu dasarwarsa lalu, kebijakan ini kemudian menjadi penanda bergesernya paradigma otoriter yang dianut Orde Baru, menjadi paradigma desentralisasi demokrasi.
Desentralisasi dalam konteks Indonesia diyakini sebagai sebuah cara untuk membangun pemerintahan yang efektif, demokratis, menghargai berbagai keragaman lokal, menghormati dan mengembangkan potensi masyarakat lokal, serta memelihara integrasi nasional.
Selain itu, sejatinya otonomi daerah lahir sebagai upaya untuk membongkar sentralisme kekuasaan (centralism of power) terutama dalam hal tata relasi pusat dan daerah.
Artinya, desentralisasi dan demokratisasi menghendaki adanya pemencaran kekuasaan. Karena kekuasaan yang terlalu besar, sebagaimana ditengarai Lord Acton, akan disalahgunakan dan cenderung korup (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely).
Pada ranah implementasi, pelaksanaan otonomi daerah justru jauh panggang dari api. Hasil evaluasi pelaksanaan otonomi daerah oleh berbagai kalangan, termasuk LIPI (2007) UNDP (2008) dan Depdagri (2011), memperlihatkan bahwa agenda ini lebih menunjukkan kegagalan daripada wujud kesuksesannya. Kegagalan yang sangat nyata adalah nampak dari "terdesentralisasikannya" korupsi ke daerah, sehingga banyak kepala daerah yang terlibat kasus korupsi.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan otonomi luas memicu kegairahan baru yang membuka ruang kebebasan bagi masyarakat dan elit lokal. Namun, kebebasan itu justru dipahami berbeda oleh para elite lokal sebagai kebebasan dalam segala aspek.
Moh. Mahfud MD (2011) menyebut fenomena ini sebagai euforia demokrasi lokal. Euforia merupakan ekspresi kegembiraan sesaat, yang menggambarkan bahwa proses politik hanya berlangsung dalam situasi darurat jangka pendek.
Kegembiraan jangka pendek itu tidak bakal membuahkan demokrasi lokal yang kokoh dan berkelanjutan, kecuali hanya membuahkan instabilitas dan merajalelanya korupsi. Praktek korupsi di era reformasi yang kian menyebar ke daerah dan melibatkan semakin banyak aktor ini tentu menggambarkan sebuah ironi dari desentralisasi.
Yang mengkhawatirkan adalah, sebagian besar praktek korupsi di daerah justru dilakukan oleh kepala daerah dan anggota legislatif (DPRD) yang jelas-jelas di pilih oleh rakyat.
Kasus terbaru adalah korupsi yang dilakukan Gubernur Bengkulu, Agusrin Najamuddin; walikota Tomohon, Jefferson Soleiman Montesqieu Rumajar; dan bupati Lampung Timur, Satono yang mengkorupsi dana APBD. Beberapa daftar kepala daerah yang sebelumnya sudah ditetapkan diantaranya, Sukawi Sutarip (wali kota Semarang), Bambang Bintoro (bupati Batang), Syamsul Arifin (gubernur Sumatera Utara), Yusak Yaluwo (bupati Boven Dogoel, Papua), Indra Kusuma (bupati Brebes), dan Fahriyanti (walikota Magelang), serta puluhan nama lainnya (Majalah Tempo, 2010). Deretan nama-nama tersebut tentu hanya sebagian kecil dari fenomena korupsi daerah yang terkuak.
Padahal jika fenomena tersebut dapat di bongkar secara lebik besar, tentu kita akan melihat kenyataan yang sangat mecengangkan. Hal ini diperkuat data Indonesia Coruption Watch, bahwa hingga akhir tahun 2010 ada 148 mantan kepala daerah dan mantan wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang masih aktif terjerat kasus korupsi.