Dengan semakin berkurangnya cadangan sumberdaya minyak bumi Indonesia sementara kebutuhan kendaraan semakin meningkat maka mau tak mau pemerintah harus membuat terobosan ke depan. Mulai dari metode pengendalian distribusi BBM, penyediaan energi alternatif hingga membuat mesin-mesin yang lebih efisien. Perlu dibuat roadmap yang jelas dan tegas, bukan ganti menteri ganti kebijakan. Perhitungan mengenai ketahanan BBM sudah lama didengungkan karena memang logis secara teknis. Namun antisipasi proaktif untuk menghapi tantangan tersebut masih kurang. Yang muncul ke permukaan adalah tindakan reaksioner terhadap keinginan elit rezim.
Saat ini ujug-ujug Indonesia ingin membuta mobil dan sepeda motor listrik. Padahal efisiensi mesin kendaraan dengan teknologi sekarang saja belum optimal ditempuh. Teknologi mesin hybrid saja belum dipakai. Kalau memnag tujuannya adalah efiesiensi bahan bakar dan penghematan anggaran subsidi, teknologi yang ada sekarang dan tersedia harusnya diterapkan secara masif dulu baru teknologi mahal dan futuristik seperti mesin hybrid dan mesin listrik. Fokus secara bertahap dan berkesinambungan tidak masing-masing departemen membuat proyek secara pararel demikian juga kepala pemerintahan memiliki keinginan sendiri berkenaan dengan kendaraan irit BBM dan ramah lingkungan. Saat ini sudah digulirkan proyek mobil yang murah tapi irit bahan bakar dan ramah lingkungan namun belum ada hasil pastinya. Rencana konversi bahan bakar kendaraan dari BBM ke gas juga belum bisa dikatakan sukses. Masih berkutat dengan masalah SPBG, konverter kit, garansi resmi pabrikan, dan kebijakan disparitas harga BBM-BBG. Demikian juga dengan kebijakan biofuel yang makin tenggelam di tengah hiruk pikuk pengetatan subsisdi BBM. Jika pun kita mau menaikkan efisiensi konsumsi bahan bakar bisa dengan memakai teknologi yang telah luas tersedia di pasaran dengan standar Euro4. Namun kendala lagi-lagi dengan infrastruktur produksi BBM yang belum bisa masuk spesifikasi Euro4 sehingga mesin-mesin hemat BBM kelas tersebut tidak bisa masuk Indonesia. Lha wong yang Pertamax dan Pertamina Dex saja tidak laku. Kebijakan mobil hybrid untuk saat ini hanya bisa menyentuh lapisan atas saja karena harga per unit nya pasti jauh lebih mahal dari kendaraan konvensional, setidaknya lebih mahal 50 persen. Tidak akan menjadi pilihan utama mayoritas pemilik kendaraan meski menawarkan efisiensi konsumsi bahan bakar yang mencapai 20 – 35 km per liter. Terlebih proyek mobil listrik yang sekarang ini teknologi dan infrastruktur harus dibangun dari awal. Di dunia ini baru negara maju seperti AS dan Jepang yang menerapkan belum aplikasi efektif. Bukan berarti berbagai pilihan tadi adalah solusi tunggal, patut dicoba. Namun yang tak kalah penting adalah pembangunan infrastruktur jalan dan kebijakan angkutan jalan raya (angkutan massal) yang bisa mengurai memacetan jalan raya. Kemacetan jalan raya termasuk pemborosan BBM yang luar biasa. Sumber kutipan: http://cakidur.wordpress.com/2012/05/28/orientasi-kendaraan-irit-bahan-bakar-dan-ramah-lingkungan/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H