Mohon tunggu...
Cak Idur
Cak Idur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Hobi membaca dan menulis. Tertarik dengan ICT, pertahanan, teknik, dan sosio-ekonomi.. Ngeblog juga di www.cakidur.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengentasan Kemiskinan Pedalaman Kalimantan dan Akar Sejarahnya

5 Juni 2011   13:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:50 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kelahiran tokoh dari suku Dayak, Tjilik Riwut, penuh dengan cerita. Dikisahkan, Riwut Dahiang dan Piai Riwut, kedua orang tua Tjilik sudah sangat lama mendambakan anak lelaki. Namun berkali-kali, Piai Riwut melahirkan anak, setiap yang lahir anak laki-laki, selalu saja meninggal dunia dalam usia balita. Keinginan memiliki keturunan lelaki, membuat Riwut Dahiang bermohon dengan khusuk kepada Hatalla (Tuhan bagi kepercayaan suku Dayak Ngaju). Riwut pun pergi ke suatu tempat keramat yaitu Bukit Batu. Di Bukit Batu tersebut, Riwut melakukan balampah atau bertapa dan bermohon untuk diberikan seorang putra laki-laki.
Dalam pertapaannya, Riwut memperoleh wangsit. Dia akan mendapatkan seorang putra dan akan mengemban tugas khusus bagi masyarakat sukunya. Setelah lahir, sejak kecil Tjilik Riwut sering diajak ke Bukit Batu. Kadang kala, Tjilik Riwut pergi begitu saja meninggalkan teman-temannya saat bermain dan dia menuju Bukit Batu. Menjelang usia remaja, Tjilik Riwut mulai mengikuti tradisi orang tuanya yang suka balampah ke Bukit Batu. Kepergiannya meninggalkan Kalimantan menuju Jawa, seperti ditulis dalam buku Maneser Panatau Tatu Hiang, Tjilik Riwut  (2003), merupakan wangsit yang diperolehnya di Bukit Batu. Wangsit itu, ibaratnya, hanya sebuah impian. Betapa tidak, jangankan Pulau Jawa, untuk menjangkau Banjarmasin yang masih satu pulau saja, ketika itu sangat sulit. Namun, Tjilik Riwut tak kenal putus asa. Segala macam cara dilakoninya. Mulai dari berjalan kaki menerobos rimba, naik perahu dan rakit hingga akhirnya dia tiba di Banjarmasin. Dari Banjarmasin, dia berusaha mencari pekerjaan yang akhirnya bisa membawanya ke Pulau Jawa. Tjilik Riwut dianugerahi insting yang kuat. Suatu hari ia terbangun dari tidurnya, dan langsung mengatakan pada kawan-kawannya bahwa ayahnya, Riwut Dahiang, malam itu telah dipanggil Yang Kuasa. Di masa Revolusi, saat dia terlibat aktif dalam perjuangan melawan Belanda, ia pernah pulang ke kampungnya dan kembali balampah di Bukit Batu. Di situ, dia bermohon diberi petunjuk dan langkah-langkah yang harus dilakukannya untuk melawan penjajah.

Saat itu, ada sebuah batu berbentuk daun telinga yang diperolehnya di Bukit Batu. Pesan yang diterimanya mengatakan, batu tersebut dapat digunakan untuk mendengarkan dan memonitor musuh apabila diletakkan di dekat telinga. Batu tersebut cukup membantunya selama masa perang. Namun, setelah masa penjajahan berlalu dan kemerdekaan diperoleh bangsa Indonesia, batu telinga itu pun lenyap entah ke mana. Bukit Batu tersebut, kini dikenal dengan nama 'Tempat Pertapaan Tjilik Riwut'. Letaknya sekitar 40 kilometer dari Kota Palangkaraya. Sementara dari Kabupaten Katingan, hanya berjarak sekitar 10 kilometer. Tempat ini menjadi salah satu lokasi kunjungan wisata sejarah yang cukup banyak didatangi pelancong dari Kalimantan maupun dari luar wilayah tersebut.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun