Mohon tunggu...
Cak Idur
Cak Idur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Hobi membaca dan menulis. Tertarik dengan ICT, pertahanan, teknik, dan sosio-ekonomi.. Ngeblog juga di www.cakidur.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fukushima Fifty dan Perawat Rita

24 Maret 2011   10:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:29 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13009740911361286984

[caption id="attachment_98010" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas)"][/caption]

Sudah 2 minggu berlalu bencana tsunami di pesisir timur Jepang berlalu, namun perjuangan pasca tsunami justru terasa panjang dan berat. Biaya pemulihan fisik diperkirakan lebih dari 2ribu trilyun rupiah, belum kerugian ekonomi akibat tsunami. Yang masih menjadi tanya tanya besar adalah nasib akhir reaktor nuklir di Fukushima Daiichi milik TEPCO.

Sudah dua minggu mereka berjuang mengembalikan kendali reaktor tapi loronhg gelap masih panjang. Indikasi-indikasi kebocoran radiasi malah makin meluas dan telah berdampak langsung ke air minum ledeng di Tokyo. Paparan radiasi sudah lebih dari dua kali lipat dari ambang batas normal untuk konsumsi bayi dan anak-anak. Batas normal adalah 100 beqcuerels per liter air.

Jarak Fukushima ke Tokyo sekitar 270 km. Sayuran dan makanan di prefektur sekitar Fukushima sudah jelas terpapar radiasi dan pemerintah jepang telah melarang untuk dikonsumsi karena rentan mengakibatkan kelainan pertumbuhan jaringan tubuh (tumor/kanker) terutama thyroid. Dari kejadian yang telah terjadi di luar reaktor nuklir Fukushima bisa dibayangkan kondisi radiasi radioaktif di dalam bangunan reaktor sendiri.

Para pekerja yang memilih kembali bekerja, walaupun ada pilihan desersi, dalam situasi yang sangat sulit tentu memiliki jiwa ksatria khas militan Jepang. Resiko yang mereka hadapi besarnya pasti melebihi kompensasi yang bisa diberikan perusahaan ataupun bahkan negara. Tak heran mereka oleh media massa Jepang digelari The Fukushima Fifty, cuma 50 pekerja saja yang mau kembali bekerja menyelamatkan reaktor dibanding 700an pekerja pada kondisi normal. Meski beberapa sumber menyebutkan pekerja yang kenbali berjumlah 200an pekerja.

Mereka harus bekerja dengan berpacu waktu untuk memulihkan sistem pendinginm reaktor yang rusak dihantam tsunami dan gempa besar berkekuatan 9 skala richter sebelum semua upaya menjadi sia-sia dengan melelehnya casing/selubung reaktor yang kini menjadi pelindung terakhir radiasi reaktor. Karena jika casing/selubung meleleh maka peristiwa Chernobyl 1986 akan berulang di Fukushima dan jutaan orang akan menerima dampak kebocoran besar partikel radioaktif.

Pakaian kerja tahan radiasi tidak bisa mencegah sepenuhnya paparan radioaktif meski kedap air dan udara serta berlapis timbal. Terharu rasanya membaca kisah seorang pekerja yang setahun lagi akan pensiun ikut mendaftar menjadi sukarelawan pemulihan reaktor. Bahkan di beberapa tempat di dalam reaktor pasca ledakan gas hidrogen terdeteksi sampai 500 mili-Sievert. Jauh melampai batas aman paparan radioaktif sebanyak 100 mili-Sievert dalam setahun.

Yang membanggkan lagi di dalam upaya kemanusiaan pasca tsunami dan gempa 9 skala Richter itu adalah apresiasi pemerintah Jepang kepada seorang perawat Indonesia, Rita Retnaningtyas, 35 tahun, yang bersedia kembali bekerja merawat korban bencana di RS prefektur Miyagi, sementara rekan-rekannya memilih mengungsi atau kembali ke tanah air. Dia merasa malu mau ikut kembali pulang tanah air.

Dari apartemen di mana dia tinggal, dia menjadi saksi mata bagaimana tsunami menggulung Miyagi. Seorang perawat teman Rita yang asli orang Jepang menyampaikan kepada Rita bahwa di telah kehilangan suami dan anaknya tapi di memilih bertahan di RS untuk membantu para korban bencana yang masih hidup. Padahal anak dan suami Rita aman di tanah air, dia pun tidak mau menjadi pecundang moral dengan bertindak seperti desertir tatkala perang datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun