Musibah raibnya pesawat penumpang Malaysia MH370 menunjukkan betapa pentingnya kemampuan surveilance jarak jauh dan teknologi penginderan jarak jauh (satelit). Berbagai negara berlomba menggelar kekuatan SAR mencari jejak pesawat terbang naas tersebut. Secara tidak langsung mereka juga menunjukkan kepada dunia internasional akan kedigdayaan teknologi surveilance dan penginderaan jarak jauh yang mereka miliki. Kemampuan tersebut tidak saja sangat berguna dalam posisi perang namun sangat bermanfaat dalam misi non perang. Seperti halnya pesawat angkut kelas berat yang tidak cuma berfungsi untuk mobilisasi prajurit dan perlengkapan tempur. Namun sangat berperan dalam bantuan kemanusian seperti bencana alam untuk suplai logistik, medis, dan evakuasi dalam jumlah besar dan intensitas tinggi.
Demikian pula kemampuan surveilance dan penginderaan jarak jauh di samping berguna untuk pemetaan strategis dan peran pencegahan infiltasi permukaan dan bawah permukaan juga sangat berguna dalam misi SAR kemanusiaan di medan yang terpencil dan terisolir. Negara-negara besar terlihat sangat dominan dalam menggelar kemampuan mencari jejak MH370 di Samudra Hindia yang sangat jauh dan luas. Sangat kontradiktif bagi negara-negara Asia Tenggara yang terbatas kekuatan surveilance dan penginderaan jarak jauh. Untuk perburuan di lautan, Singapura hanya memiliki Fokker-50 MPA dengan daya jelajah 2 ribu kilometer. Indonesia dan Malaysia mempunyai armada CN-235 MPA dengan daya jelajah 4 ribu kilometer. Tentu saja tidak termasuk pesawat terbang taktis untuk peran surveilance jarak pendek seperti C-212 MPA dan N-22 Nomad. Tidak sepadan dengan pengerahan P-3 Orion Australia, P-8 Poseidon Amerika Serikat, Il-76 MPA Tiongkok, bahkan Tu-142 India yang sekarang juga memiliki armada P-8 Poseidon. Indonesia memang prospektif untuk ikut serta dengan Boing 737-200 Surveiller dengan catatan dilengkapi dengan piranti air refueling dan didukung  pesawat air refueling strategis semacam Airbus A330 MRT atau Boeing KC-135 Stratotanker. Singapura mempunyai armada KC-135 tetapi tidak memiliki armada pesawat surveillance strategis.
Negara-negara maju juga dengan cepat mengerahkan satelit pencitraan jauh dan observasi bumi sebagai dasar pergerakan pesawat surveilance dan kapal dalam mencari puing-puing MH730. Perancis, Tiongkok, Amerika Serikat, dan Inggris menjadi yang terdepan dalam merilis citra obyek yang diduga serpihan pesawat yang raib tersebut. Bertolak belakang dengan perjuangan Indonesia yang sedang berusaha membuat satelit mikro sekaligus riset roket pengorbitnya. Meskipun sebenarnya sudah ada langkah maju dengan peluncuran satelit mikro ataupun TUBSat dengan roket India. Sejajar dengan Singapura dan Malaysia yang berada di tahap teknologi satelit mikro untuk remote-sensing. Sedikit lebih maju adalah Thailand yang mengoperasikan satelit observasi bumi Thaichote seberat 715 kg sejak Oktober 2008 dengan diorbitkan roket Rusia. Satelit Thaichote turut berperan serta dalam pencarian puing-puing MH370. Mencoba sejajar dengan kedigdayaan Tiongkok yang memiliki sejumlah satelit penginderaan jarak jauh dan observasi bumi peran militer seperti seri satelit Yaogan yang mengusung piranti elektro-optis dengan resolusi yang lebih tajam.
Dengan adanya kejadian genting MH370, semoga riset penginderaan jarak jauh Indonesia semakin didorong maju. Seiring dengan peningkatan kemampuan surveilance jarak jauh pesawat terbang dan unsur pendukungnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H