Merantau lagi, kos lagi. Demi memutar motor keluarga maka bensinnya harus diisi terus dan Batamlah 'tambang minyak' yang menjadi tujuan saya. Ditemani oleh istri yang setia dan selalu well prepared mendaratlah kami di Bandara Hang Nadim siang itu. Hal pertama dan utama yang kami tuju adalah tempat tinggal untuk saya: rumah kos. Jauh-jauh hari sebelumnya saya sudah cari di internet dan ada 1 tempat yang nampaknya cocok dan kami naik taksi menuju kesana. Dari bandara tidak ada taksi pakai argometer, tarif 'resmi' di loket menuju Batam Center kalau tidak salah 60 ribu setelah itu ongkos carter 70 ribu/jam minimal charge-nya 3 jam. Sebelum sampai tujuan kami minta sopir taksinya menunggu seandainya tempat kos yang kami tuju tidak cocok maka kami akan carter taksinya. Rupanya sopir ini kesal karena tadi bagian bawah mobilnya terantuk batu cukup keras, lalu koper kami langsung diturunkan begitu kami sampai di tujuan sambil diam dan cemberut. Kami bayar tanpa tips untuk pelayanan yang tidak memuaskan.
Karena kurang cocok, selanjutnya kami sewa ojek berkeliling Batam Centre mencari kosan di daerah Eden Park, Golden Land, sampai ke Green Land. Banyak rumah kos ternyata dengan rentang harga 500 ribu - 1,2 juta sebulan, tetapi yang memenuhi spesifikasi sang Bunda semuanya penuh. Sore itu akhirnya kami menginap di hotel di daerah Nagoya. Keesokan harinya kami sewa motor dari tukang ojek yang biasa mangkal di depan hotel, 50 ribu kami bisa pakai seharian dan si Abang tidak perlu panas-panasan narik ojek hari itu. Dari Nagoya kami menuju ke Batam Centre lagi, rute jalannya kami ingat-ingat sewaktu naik angkot kemarin dan kami amati juga via google map. Akhirnya dapat juga tempat kosan yang saya butuhkan. Mencari kosan di dunia nyata ternyata lebih mengena daripada di dunia maya. Jangan menyerah.
Seperti yang saya dengar sebelumnya, mobil di jalanan Batam didominasi mobil 'seken' (begitulah mereka menulisnya di papan iklan) dari Singapura atau Malaysia. Mitsubishi Lancer, Nissan Cefiro, Toyota Camry dan banyak lagi sedan tipe-tipe akhir 90-an yang lalu lalang. Juga mobil van dan minibus angkutan karyawan PT (perusahaan / pabrik) kebanyakan mobil seken. Â Bahkan truk angkutan pun banyak bekas dari negeri jiran itu, ciri-cirinya adalah baknya yang pendek dan model kabinnya tidak seperti truk yang biasa kita lihat di pulau Jawa. Kita bisa mengetahui bahwa itu mobil seken dari kode huruf belakang di plat nomornya selalu ada "X" atau "Z". Jika X berarti mobil itu belum registrasi ulang. "Kalau mau beli mobil seken, pilih yang kodenya Z pak supaya tidak ribet urusannya", begitu pesan bang Makmur di tempat kerja saya.
Makan. Kemanapun kami pergi, makan di kaki lima selalu kami coba. Dari transaksi makan kita bisa tahu salah satu karakter penduduk setempat, begitu kata Bunda. Teh O dan teh obeng, ternyata sebutan lokal untuk teh panas dan es teh. Kami makan sate padang, saat dihidangkan ada tebaran kripik singkong balado. Benar saja, Â setelah dihitung pas mau bayar ternyata kripik singkong itu bukan 'complementary menu'. Lain lagi 'strategi' di warung makan tempat saya makan beberapa hari awal di Batam ini. Saya selalu pesan minum air putih dan selalu diberi aqua gelas yang ternyata gratis. "Kami beri aqua gelas supaya tidak amis seperti kalau minum air putih pakai gelas biasa" kata ibu pemilik warung. Pada hari keempat saya makan disitu dengan pesan minum air putih seperti biasanya, akhirnya saya mendapatkan aqua botol.....yang tidak gratis lagi tentunya.
Jalan raya di pulau Batam selalu terdiri dari 2 lajur dalam 1 jalurnya. Saya merasakan cukup lega lalu lintasnya, tetapi menurut beberapa Batamers yang saya ajak ngobrol sekarang ini jalanan semakin banyak dan sering macet. Sejak ada Kepri Mall perempatan di situ jadi macet. "Dari situ ke Muka Kuning dulu bisa tancap mobil sampai lebih 1o0km/jam, sekarang di Panbil sudah antre panjang" begitu kata Pak Kim Sheng pengusaha lokal yang ngobrol sama saya. Tapi pak, kata saya, di Jakarta perjalanan ke tempat kerja butuh waktu 2 jam, di Batam ini cuma 20 menit. Itulah relativitas dalam kehidupan ini.
Keragaman penghasilan penduduk Batam dapat dilihat dari sumbangan. Pada saat sebelum shalat Jumat diumumkan uang kas masjidnya terdiri dari Rp, SGD, dan RM dalam jumlah yang cukup besar. Wowww.....
Mudah-mudahan betah dan berkah tinggal di Batam.
ps: mohon komentar dan masukan dari Kompasianers untuk debut saya di forum ini. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H