Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Wawancara "Doorstop" yang "Ngeri-ngeri Sedap"

1 September 2024   16:17 Diperbarui: 1 September 2024   16:32 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini, kawan saya seorang jurnalis senior, berkisah pada saya tentang sebagian pengalamannya melakukan wawancara 'cegat narasumber' atau lazim diistilahkan sebagai wawancara doorstop---sebagian media arus utama mengistilahkan doorstep---selama hampir dua puluh tahun kawan saya ini berkarir sebagai jurnalis.

Adapun di kalangan awak media, wawancara doorstop lazim dilakukan untuk mengajukan pertanyaan di luar sesi jumpa pers, untuk menggali informasi yang biasanya tidak disampaikan oleh narasumber dalam sesi jumpa pers.

Kelebihan lain dalam wawancara doorstop adalah adanya kemungkinan sang narasumbeer menyiapkan jawaban spontan apabila ada wartawan yang ingin bertanya tentang hal-hal di luar informasi yang ingin disampaikan pada saat jumpa pers. Jawaban spontan ini pun berpotensi menjadi sumber pemberitaan.

Saya ambil contoh pada 30 Agustus 2024, sejumlah pewarta melakukan doorstop kepada Presiden Joko Widodo usai acara peresmian Gedung Pelayanan Respirasi Ibu dan Anak RS Persahabatan Jakarta Timur. Namun yang terjadi adalah para juru warta juga bertanya soal rencana Pemerintah memberlakukan subsidi terhadap tarif KRL Jabodetabek dengan mengacu pada Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Karena pertanyaan tersebut di luar konteks acara pada hari itu, maka jawaban Jokowi atas pertanyaan tersebut pun juga (mungkin) di luar dugaan banyak pihak.

"Saya nggak tahu. Karena belum ada rapat mengenai itu. Belum tahu. Saya belum tahu nantinya masalah di lapangan seperti apa," ujar mantan gubernur DKI Jakarta itu.

Dari sisi jawaban, memang tidak ada yang salah dengan jawaban Jokowi. Tentunya karena rencana subsidi berbasis NIK itu baru akan dilaksanakan pada 2025. Itu artinya yang menjabat presiden di negeri ini bukan lagi Jokowi, melainkan Presiden Terpilih 2024-2029 Jenderal (Purn) Prabowo Subianto.

Namun mungkin sebagian pihak menilai jawaban tersebut menunjukkan Jokowi 'menghindar' dari pertanyaan terkait rencana  kebijakan Pemerintah yang ramai diperbincangkan di masyarakat. Apalagi kebijakan yang ditanyakan tersebut adalah kebijakan yang nantinya---jika jadi dilaksanakan---berpotensi menambah beban kalangan kelas menengah yang selama ini menjadi mayoritas pengguna KRL Jabodetabek.

Tapi soal pembatasan subsidi berdasarkan NIK ini mungkin kita bahas lebih lanjut di tulisan lain saja.

Kembali ke soal wawancara doorstop, kawan saya bercerita pelbagai pengalamannya sebagai jurnalis dalam melakukan wawancara doorstop baik dengan pejabat publik maupun direksi perusahaan publik.

Dari pengalamannya---dan pengalaman saya--selama terjun meliput di lokasi wawncara lapangan, sistem wawancara cegat narsum memang agak 'ngeri-ngeri sedap', baik bagi narasumber maupun jurnalis yang mewawancara.

Bagi narasumber, nyaris tak ada ruang pengkondisian untuk jawaban yang ideal atau bahkan tidak bisa menjawab sesuai dengan yang diinginkan sang jurnalis sebagai corong publik.

Karena itu, jawaban "Tidak tahu" dari narasumber sekelas presiden saat ditanya soal sebuah kebijakan (yang baru) sesungguhnya bukanlah hal yang aneh. Namanya juga jawaban spontan. Mungkin situasinya akan berbeda jika Jokowi ditanya soal kebijakan subsidi KRL itu dalam sebuah forum atau sesi konferensi pers bersama menteri perhubungan dan menteri keuangan selaku pejabat yang terkait.

Jawaban "Tidak tahu" itu pun nyatanya ramai dijadikan bahan pemberitaan oleh sejumlah media arus utama, khususnya yang berdomain media online. Jawaban Jokowi yang tidak tahu menahu soal subsidi KRL berbasis NIK sangat 'seksi' untuk dijadikan judul berita yang menarik jumlah peminat baca, sehingga akan ditransmisikan menjadi pendapatan untuk media yang bersangkutan.

Namun, tidak semua narasumber, termasuk pejabat publik menyukai wawancara model doorstop. Pejabat model ini biasanya kerap menghindari wawancara sistem cegat karena ingin membudayakan jurnalis harus mendapat informasi melalui 'satu pintu' yakni melalui jumpa pers.

Sehingga, segala informasi yang penting dari lembaganya akan disampaikan dengan cara yang normatif alih-alih berasal dari dari jawaban spontan sang pimpinan lembaga.

Karena berisiko tinggi terutama untuk kredibilitas lembaganya, banyak pejabat yang menghindari doorstop atau kerumuman wartawan. Dari pengalaman saya dan kawan-kawan jurnalis ketika masih kerap melakukan doorstop di kementerian/lembaga, ada macam-macam cara pejabat yang tidak siap untuk melakukan wawancara doorstop.

Ada yang tetap berada di ruangannya sampai para wartawan sudah pada pulang. Ada pejabat yang mengkondisikan agar jalur yang akan dilewati 'bersih' atau jauh dari wartawan yang berkumpul. Untuk tipikal seperti ini, biasanya ada tim pegawai yang lebih dahulu menyisir rute yang dilintasi si pejabat 'aman' untuk dilintasi sampai dengan naik kendaraan dinasnya.

Ada yang keluar lewat pintu belakang atau jalur khusus pimpinan lembaga yang biasanya digunakan dalam keadaan darurat. Ada pula yang tetap melewati wartawan yang telah menanti, namun menunjukkan gestur seolah-olah terburu-buru untuk pulanhg dan para staf lembaga ikut mengadang atau mengatakan atasannya sedang tidak bersedia diwawancara.

Kawan saya pun berkisah pernah ketika meliput di sebuah lembaga, lantas ia dan kawan-kawan media lainnya 'dicegah' oleh staf humas lembaga itu agar tidak mendekat ke pimpinannya. Caranya dengan diajak makan dan minum dengan alasan agar santai dulu sebelum melakukan doorstop.

Tapi saat wartawan sudah mulai gelisah karena belum juga dipersilakan untuk menemui sang pimpinan instansi, si staf humas yang mengajak wartawan kemudian seolah-olah menerima telepon dari koleganya yang mengatakan 'bapak' (istilah antar staf instansi untuk menyebut pimpinan mereka) mendadak sudah ditunggu di lokasi lain dan tidak bisa melayani doorstop.     

Kawan saya yang lainnya pun mengingat pengalamannya tahun 2023 silam. Tepatnya pada 16 Oktober 2023 saat wartawan tidak diberikan akses untuk melakukan wawancara doorstop dengan Jokowi saat berada di Bandara Soekarno-Hatta ketika akan berangkat melakukan kunjungan kerja ke luar negeri.

Padahal, pada saat itu ada isu besar yang dibawa oleh para awak media untuk ditanyakan kepada Jokowi, yakni soal putusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan mengenai batas usia calon presiden/wakil presiden dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan MK inilah yang menjadi lampu hijau bagi putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk ikut dalam Pilpres 2024 meski usianya belum memenuhi syarat.

Tentunya bukan tanpa alasan jika saya dan kawan saya hari ini tiba-tiba membahas soal wawancara dosrstop. Tentunya karena wawancara doorstop Jokowi ini belakangan kembali ramai menjadi bahan berita di sejumlah media arus utama.

Sumber foto: BPMI Setpres dikutip Tribunnews.com.
Sumber foto: BPMI Setpres dikutip Tribunnews.com.
Asal mulanya yakni beredarnya video rekaman Jokowi yang memberikan dua pernyataan pers di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta. Dalam video yang diterbitkan oleh akun Youtube Sekretariat Presiden tersebut, Jokowi digambarkan seolah-olah sedang melakukan wawancara doorstop dengan wartawan.

Namun para jurnalis yang kerap meliput kegiatan Jokowi di Istana Kepresidenan, seperti dikutip sejumlah media, mengaku sama sekali tidak dilibatkan atau tidak berada di dekat Jokowi saat mantan wali kota Surakarta itu menyampaikan keterangan pers.

Tak hanya satu video, namun dua video diduga merupakan rekayasa wawancara doorstop Jokowi.

Video pertama beredar pada 21 Agustus 2024, yakni Jokowi memberikan komentarnya atas putusan terbaru MK soal ambang batas hingga syarat usia pencalonan kepala daerah. Video kedua berisi tanggapan Jokowi soal gelombang demonstrasi atas revisi UU Pilkada oleh DPR. DI video kedua ini, Jokowi juga menyinggung soal percepatan proses dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.

Redaksi sejumlah media arus utama menyebut, dugaan kuat 'giimick' doorstop rekayasa dalam video pertama mencuat, karena dalam video pertama (21 Agustus) terlihat hanya tiga tangan yang menyodorkan alat rekam. Selain itu, tidak ada cube bertuliskan nama-nama stasiun televisi nasional yang biasanya terlihat setiap Jokowi melayani wawancara doorstop.

Kemudian dalam video kedua (27 Agustus) yang terlihat pun nyaris serupa. Hanya ada ponsel dan dua mikrofon. Dan dalam video kedua ini ada gimmick seseorang---yang diduga staf Biro Pers Sekretariat Presiden---menyapa Jokowi dengan sapaan "Selamat sore..." dan dibalas dengan ucapan yang sama oleh ayah tiga anak itu.

Sejumlah media menyatakan, ketika video "wawancara doorstop" itu dibuat, para wartawan kepresidenan masih berada di ruang pers Kompleks Istana Kepresidenan, dan tidak mendapat pemberitahuan sama sekali soal rencana doosrstop dengan Presiden Jokowi. Namun dalam situasi tersebut, tiba-tiba muncul video di kanal Youtube Sekretariat yang menggambarkan Jokowi diwawancara wartawan soal demonstrasi mengkritik revisi UU Pilkada oleh DPR.

Video itu mulai tayang sekitar pukul 19:00 WIB, atau pada saat wartawan peliput kegiatan presiden hendak pulang.

Ya. Yang paling mungkin adalah staf humas kepresidenan melakukan salah satu trik yang tadi saya tuliskan di atas, agar wartawan yang semula berencana melakukan wawancara cegat narasumber, tetapi dikondisikan oleh staf humas narasumber sedemikan rupa sehingga tidak bisa merealisasikan rencana wawancaranya.

Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Yusuf Permana seperti dikutip Antara pada 30 Agustus 2024 justri bersikukuh bahwa wawancara Presiden Joko Widodo baru-baru ini di Istana Kepresidenan Jakarta, bukan merupakan gimmick ataupun wawancara settingan seperti yang banyak diduga oleh media daring dan media sosial saat itu.

Alih-alih menjelaskan lebih rinci soal wawancara yang bukan rekayasa, Yusuf menjelaskan bahwa video wawancara yang diterbitkan oleh Sekretariat Presiden RI tersebut merupakan bagian dari rutinitas pemberian keterangan pers, dan tidak dirancang untuk tujuan lain.

Dia menambahkan bahwa tujuan utama dari wawancara tersebut adalah untuk menyampaikan informasi langsung dari Presiden kepada masyarakat, sesuai dengan fungsi dan tugas yang diemban oleh Sekretariat Presiden.

Yusuf meyakini, yang dilakukan Jokowi dengan jumlah mikrofon yang menjulur relatif minim tanpa identitas media massa yang mengutus jurnalis tersebut merupakan bagian dari langkah instansinya dalam memberikan keterangan pers.

Entahlah.

Saya pun bukan dalam kapasitas untuk memaksa pejabat para humas Jokowi untuk mengaku bahwa yang disebut pernyataan untuk pers pada 21 dan 27 Agustus 2024 itu merupakan wawancara rekayasa dengan pegawai staf Sekretariat Kepresidenan yang melakukan kegiatan wawancara dengan Jokowi. Dan kemudian dianggap sebagai wawancara doorstop karena dalam hal ini Jokowi diwawancara oleh pekerja sebuah lembaga media yang  bernama Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden.

Hanya saja. Daripada kemudian menimbulkan kehebohan soal wawancara rekayasa, alangkah lebih baiknya jika memang tujuannya memberikan keterangan pada publik tak perlu menghadirkan gimmick disodor alat rekam.

Cukuplah Jokowi duduk atau berdiri di sebuah podium dengan lambang negara, lalu berbicara dan direkam, lalu disebarkan videonya melalui kanal media resmi kepresidenan untuk kemudian dikutip sebagai bahan pemberitaan oleh media massa. Cara ini lebih 'aman' dan tentunya membuat Jokowi lebih nyaman karena bukan dalam kondisi 'ditodong' oleh mikrofon dari media massa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun