Entah mengapa, algoritma media sosial saya belakangan ini menjadikan lini di medsos menampilkan adegan film yang dibintangi Warkop DKI, yakni Godain Kita Dong (1989), terutama di bagian adegan Dono dan kekasih WNA-nya (diperankan oleh Lisa Patsy) mengamen di bus kota membawakan plesetan lagu "Hati Yang Luka".
Setelah lagu selesai dinyanyikan, Kasino menagih uang "imbalan" mengamen kepada seorang penumpang. Namun si penumpang berambut gondrong itu malah mengatakan "Saya tidak suka itu lagu, lagu cengeng....."
Bagi yang mengalami masa remaja dan dewasa di era akhir 80-an, tentunya sulit untuk tidak menafsirkan bahwa adegan di atas merupakan bentuk humor satir Warkop terhadap pemerintah yang saat itu melarang dibawakannya tembang-tembang bernuansa kesedihan hati akibat percintaan---atau disebut dengan frase "lagu cengeng"--di layar TVRI.
Seperti juga ditulis oleh Peneliti Musik asal Amerika Serikat, Philip B. Yampolsky, momen titah pelarangan lagu cengeng oleh Menteri Penerangan (saat itu) Harmoko, bertepatan HUT TVRI ke-26 pada 24 Agustus 1988:
Harmoko (whose ministry supervises broadcasting), delivered a speech in which he invighed against "cengeng" songs. In essence, he accused them appealing to low taste, weakening the spirit of the people, making them defeatist and sapping their commitment to the national effort for progress. An Therefore he said, TVRI should stop broadcasting such songs. Altough Hati Yang Luka was not mentioned by name, it was clear from allusions in the speech that Harmoko considerd it a prime offender.
Di mata mendiang Harmoko kala itu, lagu-lagu bernuansa kesedihan hati akibat kisah percintaan, dinilai akan menghambat semangat pembangunan nasional. Dan lagu Hati Yang Luka pun menjadi "sasaran tembak" sebagai simbol lagu-lagu cengeng oleh orde baru yang represif.
Lagu-lagu yang cengeng dianggap tidak bisa menumbuhkan semangat kerja masyarakat. Sementara TVRI sebagai corong pemerintah, dianggap punya peran kunci atas tumbuhnya semangat bekerja.
Bagi seorang Menteri Penerangan Harmoko, semangat bekerja masyarakat dalam menyukseskan pembangunan akan menjadi sulit berhasil apabila mata acara TVRI banyak diwarnai lagu yang disebutnya sebagai ratapan patah semangat berselera rendah, atau kesedihan akibat keretakan rumah tangga.
Masih menurut Harmoko kala itu, apa yang digambarkan dalam lagu-lagu cengeng itu bukanlah kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Tapi Obbie Messakh, sang penggubah lagu Hati Yang Luka, berpendapat lain dengan pemerintah.
Seperti dikutip Yock Fang Liaw dan Leo Suryadinata dalam Essential Indonesian Reading: A Learner's Guide (2005), komposer asal Nusa Tenggara Timur itu mengaku mencipta lagu berdasarkan apa yang dilihat dan dialaminya. Karena itu, sejumlah lagu karya Obbie merupakan gambaran nyata dari sebagian fenomena dalam kehidupan ini.