jurnalisme mengunggah dalam media sosialnya sebuah kabar pengurangan karyawan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan media terkemuka, yang sebagaian sahamnya dimiliki salah satu promiment person di negeri ini.
Beberapa waktu lalu, sejawat saya di profesiLalu beberapa hari setelahnya, kawan saya yang lain pun mengabarkan perampingan karyawan yang dilakukan perusahaan media lain, yang juga termasuk dalam sebuah grup media bonafid di negeri ini.
Setelah sedikit membahas soal PHK itu, kawan saya yang ini pun lantas berkisah mengenang media tempatnya dahulu bekerja dan kini telah berhenti beroperasi, yakni Koran Sindo.
Namun kawan saya ini termasuk yang beruntung karena tidak sampai dirumahkan akibat berhenti beroperasinya koran yang sudah terbit selama 18 tahun itu. Ia hanya dipindahtugaskan  di unit media lain yang satu grup usaha dengan Koran Sindo.
Bagi saya pribadi, kisah tentang PHK karyawan media selalu membuat saya menjadi merasa simpati yang mendalam. Karena kisah perampingan juga pernah saya saksikan sendiri di perusahaan media yang dulu pernah menjadi tempat saya bernaung dan mencari nafkah.
Apalagi ketika perampingan karyawan itu dibumbui hal-hal yang membuat sang korban PHK bak pepatah 'sudah jatuh tertimpa tangga'. Misalnya, kompensasi PHK yang diberikan jumlahnya tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, karena pihak perusahaan menegosiasi jumlah dana yang akan didapatkan sang korban. Atau dana kompensasi PHK harus didapatkan dengan proses yang rumit dan berbelit-belit.
Saat ini, digitalisasi media sudah kian masif, seiring telah berhenti beroperasinya sejumlah media berbasis kertas alias media cetak. Ada yang benar-benar hilang dari jagad jurnalistik, ada pula yang beradaptasi dengan mengedepankan media berbasis digital, termasuk yang dilakukan oleh kelompok media skala besar, seperti Kompas Gramedia, Surya Citra Media, CT Corp, MNC Group, Grup Tempo, dan lain-lain
Dalam arti, hampir semua grup bonafid itu sudah memiliki kanal berita digital, yang kemudian menjadi fokus utama dalam menjalankan bisnis medianya.
Inilah yang disebut sebagai konvergensi media, seperti disebut dalam buku Cyber Society: Teknologi, Media Baru, dan Disrupsi Informasi karya Catur Nugroho (2020).
Dengan masifnya era digital yang dihadapi dengan konvergensi media oleh perusahaan pers, maka jagad pemberitaan yang berbasis internet menjadi palagan baru bagi media konvensional yang telah mengkonvergensi diri.
Mengapa saya menggunakan terminologi palagan? Tentunya karena di era konvergensi media saat ini, pemberitaan media konvensional akan berhadapan langsung dengan pemberitaan yang datang dari kanal digital non perusahaan pers, khususnya di media sosial.
Mengutip Dudi Iskandar dalam buku Konvergensi Media: Perbauran Ideologi, Politik, dan Etika Jurnalisme (2018), konvergensi media tidak hanya berpengaruh pada perubahan proses jurnalistik, namun juga menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Aspek kehidupan tersebut mencakup pola konsumsi media masyarakat, persepsi publik, penyebaran informasi, serta literasi media.
Inilah yang harus dihadapi media konvensional, dalam persaingannya dengan kanal digital di dalam palagan pemberitaan berbasis internet.
Persaingan eksistensi media konvensional dan kanal digital non jurnalisme ini, nyatanya juga mengundang keprihatinan Presiden Joko Widodo, yang diungkapkan pada momentum Hari Pers Nasional tahun lalu.
Dalam sambutannya pada peringatan Hari Pers Nasional tanggal 9 Februari tahun lalu, Presiden Joko Widodo secara khsusus menyoroti keberadaan media berbasis digital di Indonesia. Menurut Jokowi, jagad media massa saat ini tak lagi hanya diisi oleh media mainstream, namun juga kanal digital yang cenderung tanpa kaidah dan pertanggungjawaban dalam menyebarkan informasi.Â
"Semua orang bebas membuat berita dan sebebas-bebasnya. Sekarang ini masalah yang utama, menurut saya adalah membuat pemberitaan yang bertanggung jawab," ujar Jokowi dalam peringatan HPN 2023.
Jokowi menilai, algoritma kini telah menguasai jagad pemberitaan di Indonesia, sehingga mendorong bermunculannya konten-konten recehan senasional. Situasi ini pun mengorbankan kualitas isi dan jurnalisme otentik, sehingga -- menurut Jokowi -- media konvensional yang beredaksi akan semakin terdesak dalam peta pemberitaan.
Dengan kondisi yang masih sama hingga saat ini, bagaimana masa depan jurnalisme dan perusahaan media konvensional dari sisi bisnis?
Laporan Reuters awal 2024 ini bertajuk Digital News Project menyebutkan hanya 47% dari sampel yang terdiri dari editor hingga eksekutif media konvensional digital yang yakin terhadap prospek jurnalisme di tahun 2024 ini. Sementara 53% sisanya menjadi kelompok pesimistis dan tidak bisa menjawab.
Secara persentase, masih berimbang lah ya. Tidak terlalu berbeda signifikan antara kelompok yang optimistis maupun pesimistis.
Namun saya mencoba memahami tingkat pesimisme yang lebih tinggi ketimbang tingkat optimisme para petinggi media yang disurvei tersebut. Meskipun survei tersebut berskala global, namun sebenarnya bisa pula untuk menggambarkan situasi dalam jagad media konvensional di Indonesia saat ini.
Hal ini karena di era teknologi digital saat ini, mayoritas masyarakat lebih mengedepankan untuk mengakses berita melalui media sosial, aggregator, atau peringatan seluler. Terutama di kalangan generasi Y, generasi Z, serta generasi alpha.
Pantas saja ketika saya membaca koran beberapa waktu lalu, kawan saya menyebut saya seperti generasi baby boomers. Mungkin benar kata-katanya, sekarang yang masih mau membaca koran adalah generasi baby boomers dan generasi X, sementara generasi di bawahnya tak tertarik lagi dengan informasi melalui lembaran media cetak.
Nah, di era digitalisasi informasi yang kian masif saat ini, media konvensional yang telah mengkonvergensi diri dalam ranah digital tentu saja tidak cukup hanya sekedar beradaptasi dalam bentuk webpage.
Kemampuan menyajikan informasi dalam beragam platform tentu harus dilakukan-sebagai bagian dari konvergensi total-untuk bisa mendistribusikan berita yang baik dan benar. Agar berita yang benar dan berkualitas dari media konvensional lebih mudah untuk diakses dan dikonsumsi oleh masyarakat dari segala golongan yang kini menjadi konsumen media digital.
Dan itu, tidak mudah, karena pemilik modal, direksi, hingga jajaran redaksi media mainstream harus memiliki semangat yang kuat dan seirama dalam berinovasi dan didukung oleh kemampuan modal yang memadai.
Yang harus dikedepankan oleh media eks konvensional di era digital saat ini adalah-seperti yang dipesankan oleh Presiden Jokowi-tetap mengedepankan jurnalistik yang bertanggung jawab, serta semaksimal mungkin menggabungkan penyajian berita berbasis webpage serta media sosial.
Saya melihat beberapa grup media sudah melakukan hal itu. Tinggal menjaga konsistensi agar tetap eksis. Setidaknya meskipun tidak bisa 'menang' melawan konten kreator di palagan media berbasis internet, tetapi tetap bisa menjaga persaingan dalam hal kualitas konten yang disajikan.
Jika tidak mampu mengadaptasi era digital dengan sempurna. Maka bukan tak mungkin hanya menunggu waktu bagi perusahaan media eks konvensional untuk mengakhiri kiprahnya di jagad media nasional dan hanya menjadi sejarah sebagai sebuah media yang pernah terbit di ranah pemberitaan Indonesia.
Awal tahun 2024 ini, Alhamdulillah saya belum mendengar ada perusahaan media yang berhenti beroperasi. Semoga saja takkan ada lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H