Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Di Balik Predikat Negara Paling Dermawan

26 November 2023   09:03 Diperbarui: 26 November 2023   14:54 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Thinkstockphotos via Kompas.com

Pertengahan pekan lalu, lembaga Charities Aid Foundation (CAF) merilis World Giving Indeks (WGI) 2023, yang menempatkan Indonesia di nomor 1 dengan skor indeks 68. Di urutan kedua ada Ukraina dengan indeks 68, diikuti Kenya (60). 

Ini artinya, Indonesia menyandang predikat negara paling dermawan di tahun ini. Adapun metode pemeringkatan yang dilakukan CAF dalam menentukan tingkat kedermawanan sebuah negara, dilakukan melalui survei yang konsisten dilakukan setiap tahun.  

World Giving Index 2023. (Sumber: tangkapan layar goodstats.id)
World Giving Index 2023. (Sumber: tangkapan layar goodstats.id)
Tahun ini, CAF melakukan survei di 142 negara. Dengan 3 kategori penilaian yang digunakan dalam penentuan indeks, yakni kesediaan menyumbang uang, partisipasi dalam kerelawanan, serta membantu orang asing.  

Sebagai data tambahan, tahun ini WGI memiliki beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kemurahan hati di seluruh dunia. Salah satunya faktor religi.

"Orang yang memiliki keyakinan agama yang kuat memiliki skor indeks pemberian yang lebih tinggi secara keseluruhan, kecuali di Eropa yang tidak memberikan perbedaan," ujar Neil Heslop, Kepala Eksekutif CAF seperti dikutip juga oleh CNNIndonesia.com.

Kita tentu patut untuk salut dan bersyukur, jika Indonesia menduduki peringkat pertama di seluruh dunia, dalam kategori atau paramater apapun itu, selama bukan predikat yang negatif.

Apalagi, ini adalah  peringkat nomor satu dalam hal kedermawanan. Tentu ini bisa menjadi tolok ukur bahwa orang Indonesia masih punya hasrat yang tinggi untuk membantu sesama.  

Dan faktor religi jelas tak bisa dipisahkan dengan kegiatan filantropis di Indonesia. Tentu ini erat kaitannya dengan faktor umat Muslim sebagai penduduk mayoritas, yang notabene percaya bahwa dengan membantu orang lain, maka akan membawa dampak positif bagi yang dibantu dan yang membantu.

Bisa kita lihat pula contohnya pasca meningkatnya ketegangan konflik geopolitik di Timur Tengah sejak Oktober lalu, sejumlah pemberitaan menyebut ramai-ramai umat Muslim menyumbang untuk membantu meringankan penderitaan warga Palestina yang terkena dampak konflik tersebut.

Bahkan bantuan atas nama negara Indonesia pun telah dikirimkan dalam dua gelombang.

Kepercayaan bahwa membantu orang lain merupakan hal yang bermanfaat -- yang tertanam dalam jiwa umat Muslim dan non-Muslim -- itu pulalah yang konsisten menjadikan Indonesia menjadi negara paling dermawan di dunia.  

Meskipun pandemi sempat melanda dan berdampak pada perekonomian, nyatanya filantropisme di Indonesia masih tetap tinggi. Justru di tengah pandemi, kegiatan filantropis tetap tinggi untuk membantu warga yang terkena dampak parah pendemi Covid-19.

Pun demikian halnya pasca sektor filantropi di Indonesia sempat diguncang oleh skandal lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) pada tahun 2022 lalu. Skandal penyelewengan dana sumbangan sosial masyarakat, menjadikan dua mantan petinggi  ACT, Ahyudin dan Ibnu Khajar, saat itu menjadi pesakitan, karena terbukti melakukan penggelapan dana bantuan untuk korban musibah jatuhnya pesawat Lion Air JT-610    

Skandal ACT inipun saat itu sempat mendorong beredarnya isu-isu miring soal lembaga filantropi di Indonesia, yang dikhawatirkan juga melakukan penyelewengan dana seperti yang dilakukan oleh para mantan petinggi ACT tersebut.

Namun isu-isu miring itu pun hanya menjadi 'hangat-hangat bubur ayam', alias hilang dengan sendirinya seiring kian meredanya gaung pemberitaan soal skandal ACT.  

Dana-dana sumbangan dari masyarakat pun tetap mengalir deras ke sejumlah lembaga amal lainnya. Seolah tak terpengaruh oleh skandal ACT.

Baiklah, predikat Indonesia yang menjadi negara paling dermawan di Indonesia ini pun, sejenak mengingatkan saya pada pengalaman saat berjalan di trotoar pinggir jalanan Ibu Kota Jakarta.  

Tidak sekali dua kali ketika saya sedang berjalan di trotoar, dicegat oleh orang-orang yang menggunakan rompi lembaga dunia. Mereka menyapa dengan "Halo kak, bisa minta waktunya sebentar?"

Anda yang pernah dicegat seperti saya, pasti masih ingat rompi organisasi apa yang mereka kenakan.

Dan saya, hampir tak pernah melayani permintaan mereka untuk berhenti sejenak dan mendengarkan apa yang disampaikan. Ya karena posisinya selalu saya sedang buru-buru mau pulang kantor menuju stasiun KRL untuk pulang.

Tapi sekali waktu pernah karena rasa penasaran, saya akhirnya mengikuti permintaan mereka untuk 'minta waktu sebentar' itu.  

Singkat cerita, dengan penjelasan a la sales, mereka mengaku ditugaskan oleh lembaga dunia untuk penggalangan dana. Jika saya bersedia untuk bergabung dalam penggalangan dana, maka mereka meminta nomor rekening atau nomor kartu kredit, untuk pemotongan dana dari rekening saya.

Tetapi saya memilih untuk tidak bergabung menjadi penyumbang pada mereka. Dan percakapan kami pun berakhir dengan ucapan terima kasih dari sang pengguna rompi, karena sudah bersedia mendengar penjelasannya.

Mengapa saya tidak bersedia untuk ikut menjadi penyumbang melalui lembaganya? Ya karena alasan tertentu lah yaa.. yang mungkin Anda juga punya alasan yang sama dengan saya jika bertemu dengan mereka.

Hanya saja yang masih menjadi pertanyaan saya, mengapa yang kerap saya temui menggunakan rompi dan 'meminta waktu sebentar' di trotoar jalanan itu adalah lembaga kelas dunia ya? Tapi, ah sudahlah, mungkin itu hanya pertanyaan retorika saja.

Yang jelas, dengan keberadaan mereka di pinggiran jalanan dan mengajak pengguna trotoar untuk berderma, mungkin memang bisa menjadi cerminan bahwa orang Indonesia adalah orang paling dermawan di dunia.  

Mungkin lembaga-lembaga dunia itu, memang sedang berusaha memanfaatkan kesempatan dari banyaknya orang-orang (dermawan) yang berjalan di trotoar.

Sementara lembaga global mencari dermawan di jalanan, sejumlah lembaga filantropis lokal memanfaatkan gawai untuk mendapatkan dermawan. Ini kesimpulan sementara saya, ketika dalam suatu periode kerap mendapat pesan masuk melalui Whatsapp, dari lembaga tertentu yang menawarkan sejumlah paket sumbangan yang bisa saya pilih.

Jika ada pesan Whatsapp seperti itu, saya pun berguman "Dari mana mereka mendapat nomor ponsel saya ya? Dan dari mana pula mereka tahu nama saya Hadi dan saya seorang laki laki?. Kok sapaan awalnya saja 'Assalamualaikum Bapak Hadi'?"

Ibarat pepatah 'ada gula ada semut'. Jika gula diibaratkan sebagai sifat kedermawanan orang Indonesia  - seperti yang ditunjukkan melalui peringkat 1 dalam WGI -- maka mungkin para pengumpul sumbangan itu adalah semutnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun