Perilaku suporter asal Indonesia di Korea, tengah menjadi sorotan. Berawal dari pemberitaan media Korea Selatan, Naver, pada Senin 6 November 2023 lalu, dan dikutip oleh CNN Indonesia pada Selasa 7 November 2023.
Naver mengutip sebuah sumber melalui surat elektronik, yang menyebut sejumlah perilaku berlebihan dan cenderung negatif oleh suporter Indonesia yang mendukung klub Liga Voli Korea (V-League) Red Spark, pada pertandingan melawan Gwangju AI Peppers pada hari Minggu 5 November 2023 lalu.
Seperti diketahui, klub Red Spark saat ini diperkuat oleh Megawati Hangestri Pertiwi, pebola voli putri nasional asal Jember, Jawa Timur. Penampilan Megawati di klub tersebut pun, saat ini boleh dibilang sedang naik daun.
Catatan demi catatan gemilang yang dibukukan Megawati bersama Red Spark, akhirnya pun mengantarkan dara berusia 24 tahun ini menyabet gelar pemain terbaik (Most Valuable Player) V-League 2023/2024 putaran I.
Predikat itu diperolehnya usai meraih nilai tertinggi sebanyak 15 suara dari 31 wartawan di Korea. Bahkan raihan suara Megawati melampaui pencapaian legenda voli Korea Selatan Kim Yeon Keung, yang hanya menempati urutan ketiga di bawah Gyselle Silva.
Dengan demikian, Megawati pun menjadi pemain asing asal Asia pertama, yang meraih gelar MVP di V-League.
Pesona kehadiran serta prestasi Megawati - yang merupakan atlet voli berhijab pertama di V-League  - nyatanya menjadi magnet bagi warga Indonesia untuk ikut menjadi suporter Red Spark, hingga mendukung langsung di pinggir lapangan. Â
Akan tetapi, tiga kebiasaan yang kerap dilakukan suporter saat menyaksikan pertandingan olah raga di Tanah Air -- yang kemudian terbawa saat menyaksikan pertandingan voli di Korea Selatan -- disebut sebagai tindakan negatif oleh sumber Naver.
Pertama, sumber tersebut menyatakan ada sejumlah fans dari Indonesia yang menyalakan lampu senter di ponselnya, dengan tujuan untuk menggangu konsentrasi pemain Gwangju AI Peppers.
Kedua, sumber juga menyebut ada suporter Indonesia yang membawa spanduk yang mengandung tulisan nama politisi Indonesia Megawati Soekarnoputri. Â
Ketiga, sumber juga menyesalkan suporter Indonesia yang membawa bendera Korea Selatan bertuliskan nama Megawati (Hangestri). Tindakan ketiga ini juga sempat diunggah di akun Instagram Red Sparks, namun akhirnya dihapus karena banyak mengundang protes.
Nah, bagi kita yang sudah biasa menyaksikan pertandingan olahraga yang dihadiri oleh suporter, tentu tiga tindakan yang disebut berlebihan oleh sumber media Naver itu tentu bukanlah hal yang aneh.
Demikian pula tindakan mengintimidasi atau menyindir pemain lawan -- melalui chant, koreografi, bahkan lemparan benda dengan tujuan menjatuhkan mental, kerap kita jumpai bahkan di pertandingan di level Eropa. Â
Yang teranyar, pada pertandingan UEFA Champions League Rabu 8 November 2023 dinihari WIB yang mempertemukan tuan rumah AC Milan dan Paris Saint-Germain. Publik Stadion Giuseppe Meazza melemparkan gulungan uang palsu dengan pecahan 71, nomor yang bermakna "manusia tak berguna" ke arah penjaga gawang Paris Saint-Germain, Gianluigi Donnarumma.
Suporter garis keras AC Milan menyatakan, aksi melempar uang dengan gambar wajah Donnarumma itu sebagai sindiran untuk kiper berusia 24 tahun tersebut, karena penjaga gawang tim nasional Italia itu memilih untuk hengkang dari AC Milan ke PSG karena tergiur gaji yang lebih besar, alias mata duitan ketimbang bertahan di AC Milan yang telah membesarkan namanya.
Entah karena penampilannya terpengaruh juga dengan aksi pelemparan itu, nyatanya Donnarumma malam itu harus menerima kenyataan dua kali memungut bola dari gawangnya, yang dijebol oleh Rafael Leao dan Olivier Giroud. Sementara PSG hanya mampu mencetak satu gol lewat pemain yang juga sudah hafal dengan publik San Siro, Milan Skriniar.
Pun demikian dengan hasil pertandingan Red Sparks melawan Gwangju AI Peppers di lanjutan V-League pada pekan lalu, diwarnai aksi suporter Indonesia yang dinilai berlebihan dalam mendukung Red Sparks, Megawati Hangestri dan kawan-kawan akhirnya berhasil memenangkan pertandingan dengan skor akhir 0-3.
Namun keluhan soal perilaku suporter Indonesia dalam pertandingan itu, nyatanya tak hanya dalam tiga hal yang sudah disebutkan di atas. Masih mengutip Naver, suporter Indonesia -- yang datang menggunakan hingga tiga bus -- disebut melakukan gangguan ketika pemain Gwangju AI Peppers sebagai tuan rumah, melakukan servis. Â
Keluhan pun bertambah dengan ditemukannya sebagian suporter Indonesia -- pendukung tim tamu Red Sparks - yang menduduki area tribun yang seharusnya ditempati oleh suporter tuan rumah.
Kritikan juga menimpa perilaku suporter Indonesia di media sosial. Karena memberikan komentar bernada arogan di akun medsos Gwangju AI Peppers: Rekrut pemain terbaik Indonesia musim depan!
Nyatanya, usai heboh soal perilaku suporter Indonesia itu, Â Red Sparks melalui akun instagramnya mengunggah sejumlah larangan, untuk tetap menjaga etika dalam memberikan dukungan kepada pemain di lapangan.
Aturan-aturan baru tersebut yakni: Â
- Dilarang melakukan tindakan yang berkaitan dengan politik seperti slogan, kata-kata, dan ekspresi; Â
- Dilarang mencorat-coret atau merusak bendera sendiri maupun bendera negara lain;
- Dilarang mencemooh atau menjelek-jelekkan pemain atau tim lawan; Â
- Dilarang menggunakan flash kamera saat servis oleh tim lawan; Â
- Dilarang bersorak untuk away team di area home team; Â
- Dilarang duduk di tempat selain yang telah ditentukan dan dilarang masuk ke lapangan pertandingan; Â
- Dilarang mendukung dengan cara berdiri agar tidak menghalani pandangan penonton lain;
- Dilarang memotret atlet saat pemanasan dengan cara yang tidak etis maupun tidak bermoral. Â
Red Sparks menambahkan, aturan itu dibuat demi menghormati budaya yang telah tercipta di kalangan suporter Korea Selatan selama ini. Dan jika ada suporter yang kedapatan tidak menaati aturan tersebut, maka akan dikeluarkan secara paksa dari arena.
Aturan-aturan baru tersebut memang tidak secara langsung disebutkan ditujukan kepada siapa. Artinya peraturan tersebut memang berlaku umum dan seyogianya ditaati oleh suporter dari kalangan manapun.
Namun jika melihat aturan yang juga dituliskan dalam bahasa Indonesia tersebut, dan diterbitkan setelah momen heboh suporter Indonesia berperilaku berlebihan pada pertandingan Red Sparks di akhir pekan lalu, rasanya sulit untuk tidak mengatakan aturan tersebut dikhususkan untuk mencegah tindakan berlebihan suporter asal Indonesia terulang kembali.
Saya mencoba memahami bagaimana antusiasme warga Indonesia di Korea Selatan dalam mendukung Megawati Hangestri, sebagai pebola voli Indonesia pertama yang bermain di Negeri Ginseng itu. Ini adalah sebuah momen sejarah yang tentu tak akan dilewatkan oleh warga Indonesia yang dikenal memiliki militansi yang sangat tinggi jika terkait dengan sebuah kebanggaan. Â
Ya, kebanggaan tentang adanya seorang anak negeri yang berhasil menembus pentas bola voli di Korea Selatan. Momen inilah yang menjadikan warga Indonesia sana berbondong-bondong menunjukkan antusiasmenya dalam menyambut momen tersebut. Â
Atau dalam bahasa kekinian, lazim disebut sebagai fear of missing out, alias FOMO. Â
Di sisi lain, perilaku suporter dalam mendukung tim atau pemain kesayangan, tentu tidak diatur secara khusus oleh hukum positif. Saya pun berasumsi bahwa hukum positif di Korea Selatan pun tak mengatur secara khusus apa saja yang dilarang dilakukan oleh suporter di pinggir lapangan, kecuali jika tindakannya sudah mengarah pada hal-hal yang berbau kriminal.
Hanya saja, bentuk dukungan oleh suporter yang di Indonesia dianggap sebagai sesuatu yang wajar, mungkin saja bertentangan dengan etika ataupun norma dalam kemasyarakatan yang berlaku di Korea Selatan. Â
Karena itulah, muncul sejumlah aturan-aturan baru yang ditujukan kepada suporter yang hadir dalam pertandingan bola voli di Korea Selatan, yang diuraikan di atas. Semua aturan tersebut, menurut saya berasal dari norma dan etika yang berlaku di Korea Selatan, sehingga dalam poin yang terakhir kata tidak etis dan tidak bermoral pun dituliskan dengan jelas.
Yang patut diingat oleh suporter Indonesia adalah, Megawati memperkuat klub Red Sparks, dan bermain di negara Korea Selatan. Ini harus dilihat sebagai satu kesatuan.
Jadi, jika warga Indonesia ingin menyatakan dukungan kepada Megawati atas nama kesamaan bangsa dan kebanggan bagi negara, maka yang harus diperhatikan juga adalah bagaimana kebijakan dan norma yang berlaku di klub tempat Megawati Hangestri saat ini bernaung.
Karena permainan bola voli bukanlah permainan individu, melainkan permainan tim. Dan tim yang bertanding itu terikat pada aturan yang berlaku pada klub yang menaungi, dan dalam skala yang lebih besar juga harus sejalan dengan norma yang berlaku di negeri itu.
Demikian juga klub Red Sparks harus memanfaatkan secara maksimal, besarnya potensi dukungan yang dimiliki oleh warga Indonesia terhadap klub tersebut, karena faktor keberadaan Megawati Hangestri. Â
Bukankah kehadiran suporter secara langsung di lapangan, juga berdampak pada penambahan pemasukan untuk klub melalui pembelian tiket? Karena saya termasuk yang yakin, bahwa belakangan ini tingkat kesadaran suporter Indonesia untuk membeli tiket kian besar, selama tidak dipersulit.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H