Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Ketika Ruang Pengadilan Menjadi Sangat Terbuka Lebar

16 Oktober 2023   05:19 Diperbarui: 16 Oktober 2023   09:53 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana sidang kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin di Kafe Olivier dengan terdakwa Jessica  | KOMPAS/RADITYA HELABUMI 

Kasus meninggalnya Wayan Mirna Salihin usai meminum 'kopi sianida' pada awal tahun 2016 lalu -- yang menjadikan sahabatnya, Jessica Kumala Wongso menerima vonis 20 tahun penjara -- kembali menjadi pembicaraan publik belakangan ini. Obrolan terkait kasus ini ramai di dunia nyata dan dunia maya. 

Semua bermula dari tayangan film dokumenter soal kasus kopi sianida di platform video berbayar Netflix, dengan judul Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso.  

Meski tak seheboh saat kasus ini terjadi tujuh tahun silam, namun pembicaraan soal kopi sianida pun menarik bagi para redaktur media massa arus utama, untuk kembali mengangkat kasus tersebut dalam pemberitaan dari berbagai sudut pandang.

Satu hal yang saya ingat pada saat proses peradilan kasus tewasnya Mirna Salihin tahun 2016 itu, adalah siaran langsung jalannya sidang yang saat itu dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

Seingat saya -- setidaknya di era millenium -- itu adalah untuk pertama kalinya proses peradilan ditayangkan secara langsung dalam setiap tahapannya.

Seturut dengan penayangan tahapan demi tahapan sidang kasus kopi sianida, opini masyarakat saat itu pun terbelah. Sebagian meyakini Jessica-lah yang meracuni Mirna dengan sianida yang dimasukkan dalam kopi, sementara kubu lain menilai Jessica bukanlah pembunuh Mirna apalagi menjadi aktor intelektualnya, karena kurangnya alat bukti untuk menguatkan hal itu.

Apalagi kasus ini pun disangkutpautkan dengan hal-hal lain, seperti keberadaan suami Mirna Salihin, Arief Soemarko, yang seolah luput dari sorotan bahkan hingga Jessica dijatuhi vonis, hingga kehidupan dan pekerjaan ayah Mirna Salihin, yakni Edi Darmawan Salihin.

Nama terakhir ini pun kembali menjadi sorotan sejalan kembali ramainya pembicaraan soal kasus kopi siandia pasca penayangan Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso. Diantaranya soal kedekatan Edi dengan kalangan pejabat kepolisian termasuk Ferdy Sambo, yang saat kasus ini terjadi menjabat sebagai wadireskrimum Polda Metro Jaya.        

Nah, dulu ketika tahapan demi tahapan sidang kasus kopi sianida yang menewaskan Mirna Salihin terus menerus ditayangkan secara langsung di televisi, saya temasuk yang kurang mengikuti. Alasan paling logis adalah karena sidang ditayangkan pada saat jam kerja saya.  

Pun saya tak tertarik untuk melihat cuplikan jalannya sidang yang ditayangkan dalam pemberitaan, atau membahas kasus ini dengan kawan-kawan.

Terpidana kasus kematian Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso. (Sumber: Kompas.com)
Terpidana kasus kematian Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso. (Sumber: Kompas.com)
Hingga pada suatu malam, ketika saya sedang makan di sebuah warmindo di kawasan Pasar Rebo, Jakarta, televisi di warmindo itu tengah menayangkan berita seputar kesaksian barista yang bertugas meracik kopi yang akan diminum dan menjadi petaka bagi Mirna.

"Ah, koq bikin kopinya kayak begitu? Kok aneh? Nggak begitu caranya dong. Saya jualan kopi dari  tahun 1967 nggak begitu caranya bikin kopi," ujar si bapak pemilik warmindo mengomentari keterangan saksi barista di pemberitaan.

"Ya, mungkin karena itu di coffee shop kali, pak. Jadinya beda caranya kalau di kafe Olivier," saya asal menjawab hanya supaya si bapak merasa ada yang menanggapi analisisnya.  

Padahal saya sama sekali tidak mengerti apa dan bagaimana saja teknik pembuatan dan penyajian kopi, apalagi di kafe. Karena kalau di kafe ya saya hanya memesan dan menunggu pesanan diantarkan.

Selain sidang kasus kematian Mirna Salihin, kasus pembunuhan lainnya yang tahapan sidangnya juga sebagian besar ditayangkan langsung di televisi, yakni kasus penembakan Brigadir Yosua Hutabarat, yang juga menjadikan mantan komandannya, Ferdy Sambo duduk di kursi pesakitan.

Nah, dalam sidang kasus kematian Brigadir Yosua, saya malah banyak mengikuti perkembangan persidangan, baik melalui tayangan langsung jika kebetulan menonton, maupun mengikuti pemberitaan terkait sidang tersebut.

Sepertinya ada semacam 'dorongan' dari dalam diri saya, supaya mengikuti pemberitaan perkembangan sidang kasus penembakan Yoshua. Supaya kalau ada yang tiba-tiba bertanya di jalan "Emang Yoshua kenapa sih kok ditembak?", "Bener nggak sih Putri Candrawati dilecehkan?" atau pertanyaan-pertanyaan lainnya, bisa saya jawab sesuai yang saya lihat di siaran persidangan.

Kasus kematian Mirna Salihin dan Brigadir Yosua, pada masanya merupakan kasus yang menarik simpati dan menimbulkan banyak perbincangan publik, sejalan dengan masifnya pemberitaan di media konvensional maupun media daring. Proses persidangan kedua kasus tersebut sama-sama sebagian besar disiarkan langsung di sejumlah stasiun televisi.

Lantas apakah boleh sebuah sidang pengadilan kemudian menjadi terbuka seluruhnya karena ditayangkan di frekuensi publik sedari awal hingga akhir?

Jawabannya tentu saja boleh. Karena tidak ada peraturan dalam KUHAP yang spesifik melarang penyiaran itu, sepanjang persidangan tersebut oleh majelis hakim dinyatakan terbuka untuk umum.  

Akan tetapi, dalam kasus kematian Mirna Salihin dan Yosua Hutabarat, sependek pengamatan saya yang bukan ahli hukum, penayangan secara langsung  tahapan proses peradilannya dalam beberapa hal justru memicu terjadinya pengadilan oleh masyarakat alias trial by the public.

'Buah' dari trial by the public itu salah satunya adalah kehadiran sekelompok orang yang menyebut kelompoknya itu sebagai pendukung Eliezer. Maksudnya pendukung di sini saya tafsirkan mendukung Eliezer untuk konsisten menjadi amicus curiae, dan oleh karena itu, Eliezer berhak atas vonis ringan.

Akhirnya, vonis yang relatif ringan pun berhasil diterima Eliezer, meski pada akhirnya vonis itu menuai kekecewaan dari sejumlah pihak, termasuk keluarga Yosua Hutabarat.

Entah pula apakah vonis mati yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo oleh Majelis Hakim PN Jakarta Selatan -- meski kemudian dianulir oleh Mahkamah Agung menjadi hukuman seumur hidup -- merupakan hasil dari trial by the public, atau memang sudah sesuai sepenuhnya dengan fakta persidangan atau materi perkara.

Memang seyogianya hakim fokus pada fakta persidangan. Karena jika tidak fokus, maka ada kemungkinan dia akan terpengaruh oleh trial by the public, maupun gimmick dan drama yang ditampilkan oleh penasehat hukum.

Sependek pengetahuan saya pula, kini hakim sebenarnya punya kuasa menentukan proses persidangan disiarkan langsung atau tidak, meski sidangnya dinyatakan terbuka untuk umum. Ini diatur dalam Pertauran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, dimana perekaman audiovisual dalam sidang harus atas izin majelis hakim.

Dalam sidang kasus Tragedi Kanjuruhan, Pengadilan Negeri Surabaya melarang media massa melakukan siaran langsung ataupun live streaming. Pihak pengadilan khawatir fakta persidangan akan menimbulkan gejolak di keluarga korban, hingga dampaknya meluas sampai ke tengah masyarakat.

Jadi memang sudah ada contoh kasus besar yang menyita perhatian masyarakat, namun sidangnya tetap digelar tanpa harus disiarkan secara langsung di televisi.  

Saya termasuk yang setuju jika tahapan pengadilan tidak perlu disiarkan langsung selama sidang berlangsung. Ini penting untuk menjaga kesakralan ruang sidang, serta marwah proses penegakan keadilan yang terjadi di dalamnya, agar tidak teralih ke aksesoris kasus. Tapi sekali lagi, ini hanya opini dari saya yang awam soal hukum acara pidana.  

Ketimbang menyiarkan sidang di pengadilan, mungkin sidang anggota DPR lebih penting untuk disiarkan langsung. Supaya kita selaku pemilih bisa menyaksikan langsung bagaimana kinerja  para wakil rakyat setelah terpilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun