Ketika beberapa waktu lalu heboh soal "ngemis online" dengan cara membuat konten seseorang melakukan kegiatan yang nyeleneh demi mendapatkan rupiah demi rupiah, saya termasuk yang menganggap hal itu sebagai sesuatu yang 'lumrah' terjadi, khususnya di era digital.
Dalam arti, bukankah kita sudah sering menyaksikan orang-orang yang berpenampilan atau menampilkan sesuatu sedemikian rupa, hanya untuk mendapatkan recehan demi recehan? Ya, recehan yang jika dikumpulkan sedikit demi sedikit akan banyak juga jumlahnya.
Sebagai contoh, manusia silver. 10 atau 15 tahun lalu mungkin masih jarang -- atau bahkan tak pernah -- kita temui manusia yang melumuri tubuhnya dengan pewarna -- yang notabene terbuat dari bahan yang bisa merusak kulit - kemudian berkeliling sembari membawa wadah penampung uang dengan gestur meminta uang.
Selain manusia silver, mungkin 10 tahun lalu kita juga masih jarang melihat sekelompok anak muda berkeliling menggunakan ondel-ondel dan pemutar lagu, juga sambil membawa wadah penampung uang.
Dan 10 tahun lalu, mungkin belum pula kita lihat di media sosial konten yang khusus dibuat untuk mengajak penontonnya untuk memberikan uang sebagai kompensasi atas kegiatan nyeleneh yang dijadikan konten pemancing rupiah tersebut.
Sosiolog yang juga Dekan FISIP Universitas Airlangga Bagong Suyanto, seperti dikutip Unair News mengatakan, fenomena mengemis online merupakan bentuk 'kreativitas' dalam menghadapi situasi yang semakin kompetitif, termasuk dalam mengemis.
Kompetitif. Ya, itu kata kuncinya. Persaingan dalam mendapatkan uang di dunia maya mendorong konten kreator membuat konten yang menjual belas kasihan untuk mendapatkan simpati dan rupiah dari para penonton.
Kompetisi ketat untuk mendapatkan uang dengan mudah nyatanya bukan hanya di dunia maya, namun juga sudah sejak lama terjadi di dunia nyata.
Harus diakui memang, jalanan, pasar, terminal, serta fasilitas publik terbuka lainnya, hingga kini masih menjadi sarana yang mengiurkan untuk mendapatkan uang receh demi receh dengan cara yang tak terlalu membutuhkan keahlian khusus.
Alih-alih fokus mempertontonkan kebolehan untuk menghibur dan pantas mendapat kompensasi, para pencari recehan itu kerap menggunakan gimmick meminta belas kasihan supaya orang yang ditemuinya di fasilitas publik mau memberikan rupiah.
Misalkan saja, seorang pengamen - atau malah mungkin lebih tepat disebut pengemis -- menggunakan kostum badut lengkap dengan topengnya, lalu dia berkeliling sambil menunjukkan gestur atau mengatakan secara verbal meminta uang, tanpa mempertontonkan kebolehan terlebih dahulu sebagai bentuk kepantasan untuk diberikan imbalan atas pertunjukan sederhananya.
Baginya, dengan menggunakan kostum badut, ia pantas untuk diberi uang karena keunikan kostumnya itu.
Pun demikian halnya dengan manusia silver, yang menganggap 'pengorbanan'nya merusak tubuh dengan cat kimia berbahaya pantas untuk diganjar dengan rupiah demi rupiah oleh orang -orang yang mereka temui di jalanan.
Di kota tempat tinggal saya saat ini, Bogor, beberapa warga sudah mulai menyebutnya sebagai 'kota sejuta pengamen'. Anda bisa membuktikan itu ketika berkunjung ke kota ini, saat berada di warung-warung tenda, di dalam angkutan kota, di coffee shop, atau bahkan ketika sekedar duduk-duduk di bangku trotoar.
Akun Instagram salah satu coffee shop di Bogor, beberapa waktu lalu mengunggah video rekaman kamera pengawas, yang menunjukkan salah seorang pengamen datang dan menyanyikan lagu sekedarnya sembari meminta uang kepada pengunjung.
Ketika sang barista mengatakan bahwa di coffee shop-nya tidak boleh mengamen, ia pun mendapat tindakan intimidatif, yakni ditarik apronnya oleh sang pengamen seraya dimintai uang.
Mungkin diantara anda berfikir pemerintah daerah menjadi kunci dalam menghilangkan keberadaan pengamen yang mengganggu itu, dalam artian mesti tegas menertibkan pengamen yang meresahkan, memaksa, atau pengemis yang berkedok pengamen.
Namun menurut saya, menertibkan dan menghilangkan keberadaan mereka bukanlah hal yang mudah, bagi pemerintah daerah manapun. Memang, seriang kita jumpai atau kita saksikan di televisi, aparat keamanan dan pemerintahan melakukan penangkapan terhadap pengamen atau pengemis, namun nyatanya itu tidak mengurangi 'animo' pengamen dan pengemis lain untuk melakukan hal yang sama.
Kalau ditarik garis besar, kemiskinan, kesenjangan, serta kesempatan kerja bisa dikatakan sebagai penyebabnya. Dan belakangan ini, mengemis dan mengamen bukan lagi karena faktor kemiskinan, namun sudah dijadikan sebagai 'pekerjaan tetap' oleh pelakunya.
Ditambah lagi pola pikir bahwa 'penghasilan' di jalanan bisa melebih pendapatan pekerja kantoran per bulannya, menambah maraknya pencari uang di ruang publik seperti pengamen dan pengemis. Kabar seperti ini tentu lazim kita dengar.
Keberadaan mereka pun semakin didukung oleh kebiasaan masyarakat yang cenderung masih memberi uang tiap kali didatangi oleh pengemis atau pengamen. Baik karena terpaksa maupun tidak.
Jadi, selama tiga penyebab eksistensi pengamen dan pengemis itu masih ada, maka masih sulit untuk menghilangkan keberadaan mereka di ruang-ruang publik. Mau sebanyak apapun peraturan dibuat dan diterapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H