Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Buah Simalakama Jurnalisme Mainstream di Era Digital

5 Agustus 2023   09:34 Diperbarui: 10 Agustus 2023   12:49 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membaca berita di era digital. (Sumber: Freepik)

Dalam sambutannya pada peringatan Hari Pers Nasional tanggal 9 Februari 2023, Presiden Joko Widodo secara khsusus menyoroti keberadaan media berbasis digital di Indonesia. 

Menurut Jokowi, jagad media massa saat ini tak lagi hanya diisi oleh media mainstream, namun juga kanal digital yang cenderung tanpa kaidah dan pertanggungjawaban dalam menyebarkan informasi. 

"Semua orang bebas membuat berita dan sebebas-bebasnya. Sekarang ini masalah yang utama, menurut saya adalah membuat pemberitaan yang bertanggung jawab," ujar Jokowi dalam peringatan HPN 2023.

Jokowi menilai, algoritma kini telah menguasai jagad pemberitaan di Indonesia, sehingga mendorong bermunculannya konten-konten recehan senasional. Situasi ini pun mengorbankan kualitas isi dan jurnalisme otentik, sehingga -- menurut Jokowi -- media konvensional yang beredaksi akan semakin terdesak dalam peta pemberitaan.

Presiden Jokowi bersama sejumlah pemred media jelang Hari Pers Nasional 9 Februari 2023. (Sumber: Setpres)
Presiden Jokowi bersama sejumlah pemred media jelang Hari Pers Nasional 9 Februari 2023. (Sumber: Setpres)
Tak hanya media 'abal-abal', media mainstream pun kini nyatanya ikut dalam arus pemberitaan dengan judul clickbait.

Dalam buku Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital, dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI) Jakarta, Agus Sudibyo, menyebutkan, ketika trafik telah menjadi paradigma pemberitaan, tren jurnalisme clickbait pun mengemuka. Media-media siber terdorong untuk lebih mengejar kuantitas berita daripada kualitas.

"Media massa sering memproduksi berita dengan orientasi menghasilkan sebanyak mungkin klik, share, komentar, dan interaksi pembaca di sekitar konten. Upaya mengejar trafik lebih dominan dibandingkan upaya mendiskusikan solusi untuk mengatasi masalah," tulisnya.

Baiklah, saya coba ambil contoh salah satu berita 'berbasis' clickbait di sebguah media mainstream pada akhir pekan lalu, berjudul:

Ria Ricis Masuk DPO, Diburu Polisi Karena Diduga Jadi Pemasok Sabu di Tasikmalaya

Jika hanya membaca judul, pasti pembaca akan menduga Ria Ricis yang dimaksud adalah sang aktris cum selebgram kondang.

Namun setelah dibaca hingga bagian akhir, berita ini mengabarkan penangkapan seorang pengguna narkoba jenis sabu di Tasikmalaya. Setelah diperiksa, pengguna tersebut medapatkan sabu dari seseorang dengan nama kontak 'Ria Ricis' di ponselnya.

Adapun nama kontak Ria Ricis tersebut diduga merupakan nama samaran di daftar buku kontak ponsel tersangka yang diamankan. Sehingga jelaslah Ria Ricis yang dimaksud di sini bukanlah Ria Ricis yang selebritis.

Memang tidak ada definisi khusus apa itu clickbait. Akan tetapi, Ankesh Anand dalam tulisannya We Used Neural Networks to Detect Clickbait menyebut clickbait sebagai istilah yang digunakan pada judul berita, untuk 'menggoda' pembaca.

Ada pula yang mendefinisikan clickbait sebagai istilah bersifat peyoratif, menjadi konten yang ditujukan untuk menghasilkan pendapatan dari setiap suara klik (yang menggambarkan orang menekan tombol pada gawai) oleh pembaca berita.

Dalam pemaknaan ini, berita clickbait menggunakan tulisan tajuk yang sensasional atau foto berita yang menarik rasa penasaran pembaca untuk mengetahui lebih jauh apa isi berita yang disajikan.

Karena itu, Abhijnan Chakrabotty dalam tulisannya Stop Clickbait: Detecting and Preventing Clickbaits in Online News Media, mengatakan berita clickbait memanfaatkan sisi kognitif manusia, yang disebut curiosity gap, alias keingintahuan (yang besar) terhadap sebuah informasi.

Dalam jagad pemberitaan masa kini, upaya memaksimalkan jumlah keterbacaan tiap artikel berita, menjadi situasi yang dihadapi, termasuk oleh media mainstream wabil khususon media digital. Semain banyak yang membaca sebuah artikel, semakin menggelembung pula pageview sebuah media.

Kondisi ini pun kerap diasosiasikan dengan peluang untuk mendapatkan pengiklan. Apalagi sistem iklan yang berkembang saat ini sudah merambah pada layanan AdSense, dimana penerbit berita bisa memperoleh pendapatan dari setiap pembaca yang melihat iklan di berita.

Lantas, apakah salah jika media mainstream saat ini ikut 'berenang' dalam arus pemberitaan berbasis clickbait atau adsense? Kalau pertanyaannya pilihan jawabannya salah atau tidak salah, maka tentu jawabannya adalah tidak salah.

Sepanjang judul dan isi berita tidak melanggar etika maupun hukum, tentu sah saja jika media menampilkan berita yang berbasis clickbait.

Seperti dalam kasus berita dengan judul yang menyebut nama Ria Ricis yang saya sebutkan di atas. Tidak ada yang salah dengan berita tersebut. Karena ditulis pun berdasarkan fakta:

  • Ada penangkapan pengguna narkoba;
  • Pengguna narkoba mendapatkan barang bukti dari pemasok;
  • Pemasok tersebut diduga adalah orang dengan nama kontak Ria Ricis di ponsel sang pengguna sabu.

"Persaingan antar media online sekarang keras, Hadi. Sekarang grup media ini lagi ngejar posisi media online yang paling banyak dibaca, yang posisinya sekarang diduduki grup media sebelah," ujar salah seorang kawan saya yang menjabat sebagai redaktur pelaksana di sebuah media online.

Ya, jawaban seperti yang dikemukakan oleh kawan saya itu, mungkin wajar Anda dapatkan jika bertanya pada awak jurnalis media online di Tanah Air saat ini.

Apalagi di era monetisasi informasi yang disebarkan melalui internet dewasa ini, media digital tak ketinggalan ingin memanfaatkan cara menebalkan 'pundi-pundi' melalui pageview. Pundi-pundi inilah yang isinya digunakan untuk mendanai operasional agar media tersebut tetap eksis, termasuk untuk menggaji jurnalis yang bernaung di dalamnya.

Karena itu, wajar jika frasa 'ketatnya persaingan' dijadikan alasan oleh kawan saya dalam membenarkan media tempatnya bekerja untuk memproduksi berita yang didasarkan pada pageview. Ya, karena ia juga tentu memanfaatkan pageview itu untuk mendapatkan nafkah untuk diri dan keluarganya.

Akan tetapi, di era berita berbasis pageview saat ini, yang paling mungkin dirugikan adalah pembaca berita. Itu karena berita clickbaik bisa jadi malah 'menipu' curiosity gap pembaca.

Misalnya dalam berita yang menyangkut Ria Ricis tadi, pembaca yang enggan mencari informasi lebih lanjut, mungkin saja akan langsung percaya bahwa Ria Ricis yang dimaksud adalah Ria Ricis yang seorang aktris dan selebram, bukan Ria Ricis yang hanya nama kontak di ponsel seorang pengguna narkoba.

Terlebih ketika media sosial dan mesin peramban bekerja dengan algoritma dalam personalisasi hasil pencarian berita. Warganet bisa jadi akan semakin terkungkung dalam misinformasi, alih-alih mendapat informasi yang berkualitas malah dihujani berita-berita yang bersifat clickbait.

Mungkin ini pulalah yang menjadi keprihatinan sekaligus keinginan Presiden Jokowi -- seperti yang saya kutip di atas - agar pers Indonesia menjadi motor untuk menghasilkan informasi-informasi yang bertanggung jawab, alih-alih konten recehan sensasional.

Tapi, pada ranah praktis, pers Indonesia dihadapkan pada simalakama menghasilkan berita clickbait yang mudah menambah pundi-pundi untuk kepentingan operasional (termasuk gaji jurnalis), atau menghasilkan berita yang bukan 'recehan', dengan risiko lebih sedikit yang mau membaca (dan hanya sedikit menambah pundi-pundi)?

Salam literasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun