Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Pekerjaan Rumah Terbesar KPK: Pembenahan Internal

30 Juli 2023   08:31 Diperbarui: 31 Juli 2023   07:28 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kantor KPK. (Sumber: Kompas.com/Irfan Kamil)

Usai kedatangan sejumlah perwira TNI ke kantor KPK pada Jumat 28 Juli 2023, komisi anti rasuah ini pun menggelar konferensi pers. Dalam pernyataannya yang diwakili oleh Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, mengakui lembaganya khilaf soal penetapan tersangka Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi serta Letkol Adm Afri Budi dalam kasus suap yang melibatkan Basarnas.

Keduanya saat ini masih menjadi prajurit aktif di TNI. Dan sempat ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, melalui pernyataan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pada konferensi pers pada Selasa Rabu 26 Juli 2023.

Namun setelah pertemuan antara KPK dengan TNI pada Jumat lalu, Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko menyatakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, kedua perwira yang sebelumnya berdinas di Basarnas itu akan ditangani kasus dugaan tindak pidananya oleh Polisi Militer (Pom) TNI.

Sebelum mendatangi KPK -- dan berakhir dengan permintaan maaf KPK atas kekhilafan dalam penetapan tersangka Marsdya Henri dan Letkol Afri -- Marsda Agung selaku Danpuspom TNI dalam sebuah wawancara dengan CNN Indonesia pada Kamis 27 Juli 2023, menyatakan kekecewaannya pada KPK, karena KPK tidak berkoordinasi dengan institusi yang dipimpinnya soal penetapan tersangka dari anggota TNI.

Agung menjelaskan sebagai sesama penegak hukum, semestinya KPK dan Puspom TNI bisa saling berkoordinasi. Dalam hal ini, ia menegaskan penetapan tersangka perwira militer hanya boleh dilakukan oleh penyidik di Puspom TNI.

Benarkah KPK blunder dalam penetapan tersangka anggota TNI ini? Mungkin saja.

Ironisnya, di hari Kamis atau sehari sebelum KPK akui kekhilafan, Alexander Marwata mengaku telah terjadi kesepakatan dengan Puspom TNI, termasuk dalam hal KPK menyebutkan nama dari oknum TNI sebagai tersangka meskipun penahanannya tidak dilakukan KPK.

Namun di sisi lain, Marsda Agung menyatakan Puspom TNI sudah menyampaikan keberatan jika KPK mengumumkan dua anggota TNI aktif itu sebagai tersangka usai gelar perkara. Hal itu karena TNI memiliki peraturan perundang-undangan tersendiri soal penindakan hukum atas anggotanya yang terlibat dalam tindak pidana.

Aturan tersebut yakni Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Aturan ini menjelaskan bahwa yang bisa menindak anggota TNI jika terlibat kasus pidana, adalah atasan yang berhak menghukum (Ankum), Polisi Militer, serta Oditur Militer.

Menjadi lebih ironis karena kekhilafan ini terjadi ketika KPK dipimpin oleh seorang purnawirawan perwira tinggi Polri dengan pangkat terakhir komisaris jenderal, yakni Firli Bahuri.

Asumsi common sense tentu mengatakan tidak mungkin seorang mantan jenderal polisi yang tentunya sangat paham peraturan perundang-undangan tidak mem-briefing anak buahnya soal peraturan yang saat ini masih berlaku.

Termasuk peraturan dalam pasal 42 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang menyatakan KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.

Mungkin pasal ini pulalah yang menjadi penyebab Puspom TNI menyatakan keberatan atas pengenaan dan pengumuman tersangka anggota TNI aktif tanpa koordinasi KPK maksimal KPK dengan pihaknya.

Asumsi liar pun menilai terjadi miskoordinasi pula di antara para pimpinan KPK itu sendiri. Karena apa yang dinyatakan oleh Alexander Marwata kemudian dianulir dan dimintakan maaf oleh Johanis Tanak. Sesama wakil ketua KPK.

Belum usai heboh soal kekhilafan KPK dalam tangkap tangan eks pejabat Basarnas, Direktur Penyidikan (Dirdik) sekaligus Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Brigjen Asep Guntur dikabarkan akan mengundurkan diri. Sebagai imbas kisruh soal operasi tangkap tangan (OTT) kasus yang melibatkan Basarnas.

Namun Detik.com pada Sabtu 29 Juli 2023 mengutip surat protes yang mengatasnamakan pegawai KPK, yang justru meminta agar Brigjen Asep mengurungkan rencananya untuk mengundurkan diri.

Masih menurut surat yang sama, pegawai KPK mengaku heran dengan sikap "cuci tangan" pimpinan KPK dalam kekhilafan OTT kasus yang melibatkan mantan pejabat Basarnas. Para pimpinan dinilai malah mengkambinghitamkan para bawahan.

Bisa jadi, surat ini sebagai reaksi pegawai yang keberatan dengan pernyataan Johanis Tanak saat konferensi pers soal "kekhilafan". Saat itu Tanak menyatakan terdapat kekeliruan dari penyelidik KPK, yang berakibat penetapan Marsekal Henri dan Letkol Afri sebagai tersangka.

Tak hanya itu, surat pernyataan pegawai KPK itu juga meminta para pimpinan untuk mengundurkan diri, karena sudah berlaku tidak profesional dan mencederai kepercayaan publik.

Dalam kacamata saya sebagai orang awam, seandainya surat pernyataan itu benar adanya dan mewakili suara dari karyawan internal KPK, berarti lembaga anti rasuah kita sedang tidak baik-baik saja secara internal maupun dari sisi kepercayaan masyarakat.

Kasus "kekhilafan" dalam OTT KPK ini mengemuka, ketika belum hilang ingatan publik atas kasus dugaan pungutan liar (pungli) di Rumah Tahanan (Rutan) KPKi. Dua kasus ini pun menambah daftar catatan negatif KPK di masa pimpinan Firli Bahuri.

Periode negatif, ataupun titik nadir, atau senjakala, atau apapun istilahnya untuk KPK, bisa dikatakan terjadi sejak revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019.

Salah satu yang menjadi sorotan publik atas revisi UU KPK ini, adalah posisi KPK yang kini berada di ranah eksekutif. Kemudian tes wawasan kebangsaan bagi pegawai, yang dinilai mengada-ada.

Belum lagi sosok Firli Bahuri sebagai pimpinan KPK, yang kerap disebut sebagai ketua KPK terburuk dalam sejarah, karena beberapa kali tersandung kasus yang terkait dengan jabatannya sebagai ketua KPK.

Meskipun berhasil menangkap sejumlah pejabat yang terlibat korupsi, termasuk menteri Juliari Batubara dan Edhi Prabowo, namun keberhasilan tersebut seolah beradu dengan sejumlah kasus yang melibatkan para pimpinan KPK.

Tak hanya yang menyangkut Firli pribadi, kasus demi kasus dan keblunderan yang berkaitan dengan pejabat teras KPK, terus terjadi sepanjang rezim Firli Bahuri.

Seperti kasus mantan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, yang dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK, atas dugaan menerima fasilitas mewah dari BUMN saat pagelaran MotoGP di Sirkuit Mandalika. 

Kasus demi kasus itupun kini berbentuk blunder dalam penetapan Marsdya Henri dan Letkol Afri pun dilakukan KPK, dan berbuntut friksi antara pimpinan dan bawahannya.

Mungkin benar apa kata Pak Luhut Pandjaitan. KPK saat ini tak perlu selalu pamer keberhasilan operasi tangkap tangan.

Mungkin pak menko ini sedang menyampaikan pesan tersembunyi pada kita semua, bahwa ada yang lebih penting dari sekadar OTT. Yakni pembenahan internal KPK itu sendiri.

Mungkin lho ya....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun