Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kisah Kelam Audit Keuangan Sepak Bola Indonesia

30 April 2023   16:10 Diperbarui: 2 Mei 2023   07:46 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum PSSI Erick Thohir menyatakan Presiden Jokowi mendukung penuh langkah audit keuangan persepakbolaan Indonesia. (Sumber foto: Kompas.com)

Alkisah, pada tahun 2011 Ketua Umum PSSI Djohar Arifin Husin meminta bantuan lembaga Deloitte untuk mengaudit keuangan PT Liga Indonesia (PT LI) dan Badan Liga Indonesia (BLI). Namun saat itu PT LI menolak rencana tersebut, dengan dalih sudah ada auditor internal yang mengaudit.

Adapun Andi Darussalam selaku Ketua BLI saat itu juga mengatakan sudah ada auditor yang megaudit PSSI. Namun hasil audit hanya akan diserahkan pada pengurus PSSI periode 2007-2011 yang diketuai Nurdin Halid.

Deloitte pun batal mengaudit kedua lembaga tersebut, dan hanya bisa mengaudit keuangan PSSI yang dimulai pada periode sejak 3 Agustus 2011. Penolakan PT LI dan BLI iini pun membuat PSSI meradang.

Akibatnya, konflik antara pengurus PSSI pimpinan Djohar Arifin pun mencuat, dengan dicabutnya hak PT LI sebagai penyelenggara kompetisi oleh PSSI pada 22 Agustus 2011. PSSI pun menyatakan liga yang diakui adalah Indonesia Premier League (IPL) di bawah penyelenggaraan PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS).

Akan halnya Deloitte memberikan laporan yang menunjukkan bahwa keuangan PSSI sangat buruk dan masuk kategori Unsatisfactory. Adapun pengeluaran yang diaudit oleh Deloitte mulai dari pembelian, proses pembayaran, penerimaan sponsor, donasi, dan lain-lain.

PT LI pun tak begitu saja pasrah haknya sebagai penyelenggara liga dicabut dan diserahkan pada perusahaan lain. PT LI tetap menjalankan Liga Super Indonesia (LSI) musim kompetisi 2001/2012, dan sejumlah klub yang sebelumnya bermain untuk LPI pun berpindah kompetisi ke LSI.

Lalu pada 18 Desember 2011, para anggota Executive Commitee (Exco) PSSI seperti Tony Aprilliani, Widodo Santoso, Sihar Sitorus, serta La Nyalla Mattalitti membentuk Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia. Alih-alih menyelamatkan, kehadiran komite ini justru memperuncing konflik di kepengurusan sepak bola Indonesia, apalagi pasca PSSI memberhentikan La Nyalla Mattalitti, Tony Aprilliani, Roberto Rouw, dan Erwin Dwi Budianto pada 27 Desember 2011.

La Nyalla pun kemudian menjadi ketua umum PSSI versi KPSI.

Singkat cerita, kisruh dualisme itu berakhir 'damai' pasca Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI 2013 memilih Djohar Arifin Husin sebagai ketua umum, dan La Nyalla sebagai wakil ketua umum.

Setelah itu, tidak terdengar lagi kabar yang mencuat  soal audit keuangan PSSI khususnya oleh pihak eksternal, meski ketua umum sudah berganti mulai dari Djohar Arifin, La Nyalla, Edy Rahmayadi, Djoko Driyono, Iwan Budianto, Mochammad Iriawan, hingga saat ini dijabat oleh Erick Thohir.

Nama yang terakhir ini pun terkaget-kaget dengan ketiadaan audit keuangan di lembaga yang dipimpinnya, pasca sadar PSM Makassar selaku kampiun Liga 1 tahun ini tak mendapat uang bonus juara. Erick menyatakan ada yang tidak beres dengan manajemen keuangan di PSSI maupun di PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku penyelenggara Liga Indonesia, sehingga perlu dilakukan audit.

Diberitakan Kompas.id, selama ini PSSI belum pernah menyampaikan laporan keuangan tahunan, meski selalu menerima dana besar setiap tahun. Misalnya FIFA Forward 2.0 periode 2019-2021 yang mencapai US$3 juta, atau sekitar Rp44 miliar, yang tak terlihat hasilnya.

Ya, mungkin ini salah satu hikmah tidak diberikannya dana FIFA Forward kepada PSSI, sebagai sanksi usai gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada tahun ini. Memang selayaknya bantuan ini dihentikan terlebih dahulu sebelum ada transparansi soal penggunaannya.

Selain itu, menurut catatan Save Our Soccer (SOS)---seperti dikutip Kompas.id---LIB sepanjang musim kompetisi 2022/2023 lalu diperkirakan menerima dana hingga sekitar Rp370 miliar, yang terdiri dari pendapatan hak siar senilai Rp220 miliar dan sponsor utama Bank BRI senilai Rp150 miliar.

Namun LIB belum membayar upah perangkat laga pada empat pekan terakhir Liga 1 musim 2022/2023. Adapun total kewajiban yang harus dibayarkan kepada para wasit, asisten wasit, serta komisioner pertandingan mencapai Rp1,62 miliar.

Belum lagi kabar kepengurusan era Mochammad Iriawan yang belum membayar biaya program penyelenggaraan Elite Pro Academy 2022, dari jenjang U-14, U-16, serta U-18 senilai Rp2,155 miliar.

Dengan munculnya kabar mengenai utang-piutang tersebut, audit keuangan di PSSI dan LIB saat ini menjadi hal yang tak bisa ditunda-tunda, agar 'penyakit' ketidakjelasan aliran uang-uang yang harusnya dimanfaatkan untuk peningkatan prestasi sepak bola Indonesia tak menjadi penyakit kronis yang tak kunjung sembuh.

Bahkan Erick Thohir pun mengatakan, langkah pembersihan dan pembenahan keuangan PSSI juga mendapat dukungan penuh dari Presiden Joko Widodo. Dalam hal ini, lembaga independen Ernst & Young sudah memulai langkah audit dan investigasi keuangan, dan PSSI sudah membentuk Satgas Transparansi Keuangan.

Sebenarnya, apakah PSSI wajib membuka laporan keuangannya kepada publik? Pengamat hukum olah raga Kemenkumham Eko Noer Kristiyanto seperti dikutip Panditfootball menjelaskan, meski PSSI hanya bertanggung jawab pada anggotanya, namun PSSI juga memiliki kewajiban keterbukaan karena merupakan lembaga publik.

Hal ini mengacu pada Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) atau UU Nomor 14 Tahun 2008. Merujuk pada aturan ini, setiap badan publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas Informasi Publik yang berkaitan dengan Badan Publik tersebut untuk masyarakat luas.

"Boleh saja PSSI tidak transparan, ketika mereka tidak menerima dan APBN sepeser pun, lalu juga jika tidak menerima dana dari luar negeri, dari FIFA, itu boleh (tidak transparan). Tapi karena mereka mendapat APBN, dan menerima bantuan dari FIFA, ya harus transparan," ujar Eko.

Penjelasan Eko ini pun senada dengan pernyataan Erick Thohir bahwa transparansi keuangan merupakan langkah yang wajib ditempuh untuk mewujudkan sepak bola Indonesia yang bersih. Dalam hal ini, pembenahan pengelolaan finansial menjadi syarat yang diamanahkan FIFA selaku induk sepak bola dunia dalam konteks transformasi sepak bola Indonesia.

Saat ini, yang tak kalah penting dalam langkah audit keuangan pengelolaan persepakbolaan Indonesia, adalah konsistensi serta konsekuensi.

Konsistensi, berarti audit tersebut harus dilakukan secara menyeluruh dan sebisa mungkin tidak ada lagi penolakan dalam unsur-unsur yang diaudit, seperti halnya pada zaman kepengurusan ketua umum Djohar Arifin dahulu. Kegagalan audit pada masa itu hendaknya dijadikan pelajaran berharga agar tidak terulang kembali di masa kini.

Maka dari itu, peran Erick Thohir sebagai sosok kunci dalam lokomotif transformasi sepak bola nasional saat ini haruslah sangat kuat. Ditambah lagi Erick sangat menguasai ilmu retorika, sebisa mungkin segala perkembangan audit dana persepakbolaan Indonesia disampaikan secara gamblang kepada publik, agar semuanya menjadi terbuka sejelas mungkin.

Semoga saja konsistensi tekad untuk mengaudit keuangan PSSI dan LIB bisa dilaksanakan dengan bertanggung jawab hingga tuntas. Jangan sampai rencana audit yang bertujuan mulia, justru berlanjut dengan resistensi dari sejumlah pihak ataupun orang-orang di dalam PSSI dan LIB itu sendiri, apalagi sampai menghasilkan drama yang berujung pada perpecahan pengelola sepak bola Indonesia seperti dahulu.

Kemudian soal konsekuensi, jikalau di kemudian hari dari hasil audit oleh auditor independen ditemukan penyalahgunaan dalam penggunaan dana-dana yang diterima PSSI maupun LIB, maka sepantasnya pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam penyalahgunaan tersebut menyadari apa yang harus dilakukan, dan jika memang mengandung konsekuensi secara hukum, maka tentu harus diproses sesuai aturan yang berlaku.

Di titik ini, saat ini, saya semakin sadar mengapa Indonesia belum saatnya menyelenggarakan Piala Dunia U-20. Di satu sisi, memang semestinya timnas Indonesia bisa lolos ke kejuaraan dunia melalui jalur kualifikasi, bukan lewat 'jalan pintas' menjadi tuan rumah.

Di sisi lain, ada hal penting yang harus segera menjadi perhatian bagi seluruh pemangku kepentingan persepakbolaan Indonesia, yakni transparansi keuangan. Ini lebih urgen untuk diurus ketimbang penyelenggaraan Piala Dunia, terlepas dari dana untuk persiapan penyelenggaraan yang sudah keluar tidak sedikit.

Wajar jika dalam surat pengumuman pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023, FIFA juga menyinggung soal transformasi sepak bola Indonesia. Asumsi saya ya diam-diam FIFA pun ikut mengamati mengapa dana FIFA Forward yang mereka berikan seolah tak menghasilkan apa-apa di Indonesia.

Karena itu FIFA meminta pertanggung jawaban secara halus atas ketidakjelasan itu, melalui istilah transformasi sepak bola Indonesia. Istilah yang muncul pasca Tragedi Kanjuruhan dan ditegaskan dalam pertemuan Presiden FIFA Gianni Infantino dan Presiden Joko Widodo, awal Oktober tahun lalu.

Semoga saja, audit yang dilakukan terhadap keuangan PSSI dan LIB, tidak kemudian menjadikan satu (atau beberapa) orang terpaksa berurusan dengan hukum dan menjadi tersangka tindak pidana korupsi.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun