Proses persidangan atas lima orang terdakwa Tragedi Kanjuruhan telah memasuki babak akhir.Â
Mantan Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris divonis hukuman 1,5 tahun penjara, Mantan Security Officer Pertandingan Arema FC vs Persebaya Suko Sutrisno 1 tahun, Lalu Mantan Danki 1 Brimob Jatim AKP Hasdarmawan juga divonis 1,5 tahun.
Adapun Mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan Mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya.
Adapun satu 'pesakitan' dalam Tragedi Kanjuruhan, yakni Mantan Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, masih belum menjalani sidang pengadilan karena kepolisian masih melengkapi berkas pemeriksaan sebelum diberikan kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Ketika membaca warta di media soal vonis ringan yang dijatuhkan hakim pada seluruh terdakwa, pertanyaan pertama yang terlintas di pikiran saya"
"Jika mereka divonis dengan hukuman penjara yang berdurasi pendek dan divonis bebas , lantas siapa yang seharusnya dihukum berat dalam Tragedi Kanjuruhan."
Dalam hal ini, saya bukanlah seorang ahli hukum. Jadi saya tidak bisa menilai bagaimana bobot tingkat hal-hal yang menentukan hitung-hitungan durasi hukuman dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim. Termasuk  poin-poin umum dan khusus soal pertimbangan bagaimana kriteria penetapan tersangka.
Namun dalam kacamata saya sebagai orang awam, ketika enam orang dinyatakan sebagai tersangka oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada tanggal 6 Oktober 2022 lalu, timbul pertanyaan mengapa hanya pimpinan dari masing-masing unsur yang terlibat-lah yang dijadikan sebagai tersangka?
Jika memang penembakan gas air mata disebut sebagai salah satu penyebab pecahnya kericuhan yang lebih luas dan mengakibatkan jatuhnya korban, mengapa personil keamanan yang menembakkan gas air mata itu tidak ikut dijadikan tersangka pula?Â
Saya waktu itu membandingkan dengan penetapan tersangka Bharada Richard Eliezer yang menjadi ekskekutor penembakan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat, dan ikut menjadi tersangka selain komandan yang memerintahkan untuk menembak Yoshua, yakni Irjen Ferdy Sambo.
Saat penetapan enam tersangka itu, Jenderal Sigit sempat menyebut jumlah tersangka masih dimungkinkan bertambah selain keenam orang yang sudah ditetapkan.Â
Namun nyatanya hingga berkas Tragedi Kanjuruhan dilimpahkan ke kejaksaan, jumlah tersangka tak jua bertambah.