Alkisah, dalam sebuah diskusi tentang transportasi publik pada tahun 2021 lalu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengungkapkan meski dirinya saat ini sudah menjadi pembantu presiden RI, tapi ia tak segan menumpang angkutan umum dan berbaur dengan masyarakat. Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan ini juga mengaku lebih senang jika tak ada yang mengenalinya sebagai menteri saat sedang menumpang angkutan umum.
Dengan tidak dikenalinya dirinya sebagai pejabat tinggi negara, maka akan membuat Muhadjir bisa lebih mendengar lebih jelas suara masyarakat dan realitas di masyarakat dengan lebih tenang.
"Naik kendaraan umum itu sangat besar manfaatnya, terutama untuk mereka yang biasa mengambil kebijakan terutama kebijakan masyarakat bawah. Kita bisa tahu detak rintihan, keluhan, dan senyuman masyarakat bawah itu bagaimana diformulasikan menjadi kebijakan," ujar Muhadjir.
Bicara soal transportasi publik khusunya kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek, tahun 2023 baru berjalan dua bulan namun moda transportasi KRL Jabodetabek saat ini sudah dihadapkan pada dua sorotan tajam.
Pertama, soal kepadatan di Stasiun Transit Manggarai. Kedua, soal polemik impor armada KRL Bekas.
Soal penumpukan penumpang di Stasiun Manggarai, sejak mulai direvitalisasi beberapa waktu lalu yang berdampak pada perubahan sistem operasional jalur KRL Commuter Line Jabodetabek, media sosial pun dibanjiri arus keluhan para warganet yang sebagian besar merupakan pengguna KRL yang jalurnya melewati Manggarai.
Para penglaju yang rata-rata merupakan pencari nafkah di ibu kota dan berdomisili di Depok, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya tersebut mengeluhkan situasi dan kondisi di Stasiun Manggarai yang tak ramah bagi arus transit penumpang KRL Commuter Line.
Akibat ketidaknyamanan ini, sejumlah kolega saya yang berdomisili di Bekasi dan berkantor di kawasan ring 1 ibu kota, lebih memilih menggunakan sepeda motor untuk menuju kantor daripada harus merasakan ketidaknyamanan menggunakan KRL, terutama saat transit di Stasiun Manggarai.
Hingga saat ini, belum ada upaya signifikan dari para pemangku kebijakan untuk menghadirkan solusi cepat dan tepat dalam mengurai kepadatan penumpang transit di Stasiun Manggarai, meskipun baru baru ini PT Kereta Commuter Indonesia atau KAI Commuter selaku operator KRL Jabodetabek, menyatakan akan menambah 31 perjalanan kereta pengumpang (feeder) untuk mengurangi kepadatan.
Belum tuntas penyelesaian kepadatan penumpang di Manggarai, muncullah polemik importasi kereta untuk menambal kebutuhan armada KRL Jabodetabek.
Sebenarnya kisruh pengadaan armada tambahan KRL ini bukanlah persoalan baru atau muncul tiba-tiba. Jika ditarik ke belakang, sejak 2018 lalu KAI Commuter sudah merencanakan pengadaan unit KRL baru. Selanjutnya pada 2019 manajemen KAI Commuter menyatakan akan membeli unit baru KRL dari PT Inka, dan akan direalisasikan pada 2021.
Namun tidak ada kabar realisasi rencana tersebut. Yang muncul ke permukaan selanjutnya, adalah pada 2022 KAI Commuter menandatangani nota kesepahaman pengadaan unit KRL baru dari Inka, yang direncanakan akan mulai dikirim oleh Inka pada 2024 mendatang.
Belum juga jelas kelanjutan rencana tersebut, kabar yang beredar berikutnya estimasi pengadaan tersebut mundur menjadi tahun 2025. Sementara KAI Commuter sendiri merencanakan untuk memensiunkan 26 rangkaian yang sudah berusia tua, pada periode 2023-2024.Â
Secara bertahap, rencana itu kini telah dijalankan dengan mengurangi sejumlah rangkaian yang semula diisi 12 gerbong menjadi 8 gerbong dan 10 gerbong.
Sejalan dengan rencana pemensiunan tersebut pula, KAI Commuter berencana mengimpor KRL bekas dari Jepang untuk menambal kebutuhan selagi menunggu armada KRL baru selesai diproduksi.
Dan di sinilah polemik pengadaan armada KRL itu memulai cerita yang ramai saat ini.
PT Kereta Commuter Indonesia berencana mengimpor Barang Modal Dalam Keadaan Tidak Baru (BMTB) dalam bentuk 120 unit KRL Tipe E217 untuk kebutuhan tahun 2023, dan 228 unit KRL Tipe E217 untuk kebutuhan tahun 2024.
Rencana impor tersebut dikemukakan, mengingat PT Inka saat ini belum mampu dengan segera memproduksi secara cepat dan dalam jumlah banyak rangkaian KRL sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan untuk KRL Commuter Line Jabodetabek.Â
Manajemen Inka seperti dikutip sejumlah warta menjelaskan, produksi gerbong yang sesuai kebutuhan di Jabodetabek juga harus melewati sejumlah proses untuk terpenuhinya standard keamanan, kenyamanan, serta good corporate governance.
KAI Commuter sebelumnya telah mengajukan surat izin impor kepada Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag sejak 13 September 2022. Namun surat tersebut belum disetujui, karena belum mendapat rekomendasi teknis dari Kemenperin.
Kemenperin sendiri belum menerbitkan rekomendasi teknis, karena rencana impor gerbong KRL oleh KAI Commuter tersebut dianggap bersilangan dengan fokus pemerintah untuk meningkatkan produksi dalam negeri serta substitusi impor, melalui Program Peningkatan Pengguna Produk Dalam Negeri (P3DN).
Hal ini ditegaskan oleh Sekjen Kemenperin Doddy Widodo, seperti dikutip Antara yang menegaskan bahwa Inka masih bisa memenuhi kebutuhan pengadaan gerbong KRL Jabodetabek. Doddy mengatakan kualitas kereta produksi Inka malah sudah diakui dunia internasional, seperti Bangladesh yang pernah membeli kereta dari Inka.
"Kalau (gerbong KRL diproduksi) mendadak ya pasti sukar. Seharusnya kan sudah direncanakan jauh-jauh hari, dan memberi kesempatan kepada industri dalam negeri untuk berproduksi. Kapan lagi kita bangga akan buatan kereta dalam negeri. Jangan karena BUMN lalu bisa impor dan impor (semaunya)," ujar Doddy seperti dikutip CNN Indonesia.
Entah apa yang dimaksud dengan 'mendadak' di sini. Karena jika dirunut ke belakang seperti saya kemukakan di atas, maka rencana peremajaan KRL ini sudah muncul sejak 2018 lalu, dengan segala penundaan realisasinya.
Yang jelas, kebutuhan segera akan penambahan KRL akan berpacu dengan kebutuhan jumlah gerbong dan armada KRL khusunya Jabodetabek.Â
Jika armada KRL makin banyak yang perlahan-lahan dipensiunkan sementara jumlah penumpang terus bertambah, bukan tak mungkin penumpukan-penumpukan penumpang akan kian lazim dilihat di stasiun-stasiun KRL Jabodetabek, terutama pada jam-jam sibuk pekerja kantoran.
Jika memang larangan impor belum menemui jalan keluar, maka bukan tak mungkin pembatalan rencana pensiun menjadi jalan tengah darurat yang harus diambil. Meskipun resikonya adalah KRL beroperasi dengan membawa penyusutan nilai guna yang dialaminya, sehingga bukan tak mungkin aspek keselamatan menjadi (sedikit) terabaikan.
Baiklah, kembali lagi ke pernyataan Muhadjir Effendy bahwa dengan naik kendaraan umum akan bisa memahami keluhan akan pelayanan sarana transportasi publik yang akan bermuara pada kebijakan, maka pernyataan tersebut tepat kiranya untuk direnungkan dan dilaksanakan secara konsekuen oleh para pemangku kebijakan terkait regenerasi armada KRL saat ini.
Diharapkan, dengan para pemangku kebijakan secara rutin menaiki sarana transportasi publik maka akan bisa mendapat gambaran utuh bagaimana kondisi moda transportasi umum saat ini, khususnya KRL Jabodetabek. Nah, jika sudah mendapat gambaran yang komprehensif soal ini, tentu kebijakan yang dirumuskan dan nantinya diputuskan tentu akan bisa disusun berdasarkan apa yang dilihat dan diamati langsung di lapangan.
Ibarat seorang wartawan yang menuliskan berita dari hasil liputan di lapangan, tentu hasil tulisannya akan lebih lengkap dan komprehensif daripada berita yang diperoleh bukan dari peliputan dan investigasi di lapangan. Percayalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H