Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mengapa Jakarta Tetap Macet Meski Angkutan Umum Cukup Tersedia?

22 Februari 2023   12:40 Diperbarui: 28 Februari 2023   17:42 1401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengguna transportasi publik KRL Jabodetabek | Dokumentasi Pribadi

Tomtom Traffic Index baru-baru ini merilis Jakarta menempati urutan ke-29 kota termacet, dari 389 kota di dunia. Urutan ke-29 tersebut pun menempatikan Jakarta menjadi kota termacet di ASEAN, atau jauh di atas Bangkok yang berada di urutan ke 57, kemudian Singapura di posisi ke-127, dan Kuala Lumpur urutan ke-143.

Kemacetan Jakarta tak lepas dari terus bertambahnya kendaraan bermotor yang melintasi jalanan di Jakarta tiap tahun. Pertumbuhan kendaraan tersebut seolah tak menghiraukan pandemi Covid-19 yang melanda sejak awal 2020 lalu.

Data Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2019 jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 19,9 juta unit, lalu meningkat menjadi 20,2 juta unit, dan pada 2021 kembali meningkat menjadi 21,8 juta unit.

Namun BPS juga mencatat dalam 5 tahun terakhir, cakupan pelayanan transportasi umum di Jakarta sudah meningkat dari 42% menjadi 82%.

Pertumbuhan ini semestinya mampu menjadi pijakan bagi pemangku kebijakan untuk mampu mendorong warga memaksimalkan penggunaan moda transportasi umum.

Dalam pembukaan Indonesia International Motor Show (IIMS) di Jakarta pekan lalu, Presiden Joko Widodo kembali mengingatkan bahwa kita harus mendukung penuh sistem transportasi massal bukannya transportasi pribadi.

"Sehingga yang namanya MRT, LRT, Kereta Api, dan Kereta Cepat itu menjadi keharusan bagi kota-kota besar,"ujar Kepala Negara.

Yang saya soroti dari pernyataan Jokowi tersebut adalah tiga moda transportasi yang disebut itu, semuanya beroperasi di Jakarta. Jadi ya mungkin saja Jokowi menyiratkan pentingnya peran moda transportasi massal---berbasis rel-- di Jakarta untuk mengurangi tingkat kemacetan di jalan raya.

Selain pemaksimalan transportasi berbasis rel, sistem transportasi massal berbasis angkutan jalan raya juga tentunya harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengurangi kemacetan di Jakarta.

Namun kenyataannya di lapangan, upaya pemerintah baik pemerintah daerah hingga pemerintah pusat untuk mendorong penggunaan secara maksimal transportasi umum oleh masyarakat bukanlah hal yang semudah membalik telapak tangan. Berbagai rencana kebijakan sempat dinyatakan, namun hampir semuanya cenderung 'layu sebelum berkembang'.

Sejumlah wacana pernah dikemukakan oleh pemerintah pusat maupun Pemprov DKI Jakarta untuk mendorong dan memaksimalkan penggunaan transportasi, namun banyak pula dari wacana tersebut yang berhenti di tataran ide tanpa pelaksanaan yang jelas dan konsisten.

Terbaru, Kementerian Perhubungan meminta pemerintah daerah, khususnya di wilayah Jabodetabek, untuk membuat aturan yang memaksa masyarakat menggunakan angkutan umum. 

Menurut Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati, kebijakan 'pemaksaan' tersebut perlu diterbitkan, mengingat masih banyak masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi di Jakarta, meski transportasi umum---berbasis rel---seperti MRT dan KRL, yang menurut Adita sudah cukup memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bertransportasi.

Okelah jika dikatakan KRL dan MRT sudah memenuhi kebutuhan transportasi publik di Jakarta, namun pemandangan dan pemberitaan soal padatnya penumpang di dalam KRL serta di dalam stasiun, wabil khususon Stasiun Manggarai, seolah menunjukkan ada satu kebutuhan mendasar dalam dalam bertransportasi yang tidak dipenuhi oleh moda transportasi KRL, yakni kenyamanan. Meski ketidaknyamanan tersebut hanya dirasakan pada jam-jam tertentu saja.

Belum lagi jika 'si panjang tangan' dan pelaku pelecehan seksual ikut beburu mangsa memanfaatkan kepadatan penumpang di stasiun dan di dalam KRL, maka selain tak memenuhi unsur kenyamanan, transportasi publik di Jakarta juga abai akan faktor keamanan.

Sepengamatan saya, kepadatan penumpang di Stasiun Manggarai lazim terjadi pada hari kerja tepatnya di jam berangkat kerja kantoran, atau antara pukul 6 hingga 8 pagi. Kepadatan kian parah diberlakukannya sistem operasional terbaru KRL Jabodetabek sejak 28 Mei 2022 lalu. Sistem operasional yang diberi kode Switch Over ke-5 (SO-5) ini diberlakukan seiring renovasi dan revitalisasi Stasiun Manggarai yang diproyeksi menjadi stasiun sentral Jabodetabek pada 2025 mendatang.

Keluhan umumnya datang dari penumpang yang transit dari KRL jalur Bogor-Jakarta Kota ke KRL jalur Cikarang/Bekasi-Angke. Selisih waktu antarkedatangan kereta alias headway di jalur Cikarang-Angke dengan rentang waktu yang lama dituding menjadi penyebab utama penumpukan penumpang di Stasiun Manggarai.

Headway jalur Cikarang-Angke ini rata-rata di atas 10 menit, alias kontras dengan headway jalur Bogor-Jakarta Kota yang rata-rata hanya 5-10 menit, dengan catatan tidak harus bergantian jalur dengan Kereta Api Jarak Jauh (KAJJ) dari dan menuju Stasiun Gambir.

Renggangnya headway KRL di jalur Cikarang-Angke disinyalir karena rangkaian kereta yang beroperasi di jalur ini lebih sedikit dibanding dengan rangkaian yang melayani jalur Bogor-Jakarta Kota. Sebagai perbandingan, jalur Cikarang-Angke hanya dilayani oleh 23 rangkaian, sementara Bogor-Jakarta Kota dilayani 41 rangkaian.

Dan 23 rangkaian tersebut juga ada yang via Pasar Senen, sehingga tidak semuanya melewati Stasiun Manggarai. Akibatnya, terjadi penumpukan penumpang di peron tempat perhentian KRL jalur Cikarang-Angke.

Kepadatan di Stasiun Manggarai nyatanya menjadi kerap dimunculkan dalam jagad pemberitaan dunia nyata maupun dunia maya belakangan ini. Salah satu yang baru-baru ini viral, yakni sebuah akun media sosial yang mengabarkan seorang perempuan pekerja di Jakarta memutuskan untuk undur diri dari pekerjaannya, demi menghindari transit saat naik KRL dan berdesak-desakan di Stasiun Manggarai.

Dan selama 9 bulan pelaksanaan SO-5 di Stasiun Manggarai, belum nampak ada upaya signifikan dari pemangku kebijakan untuk segera menghadirkan solusi untuk mengurai kepadatan di Stasiun Manggarai, meskipun baru-baru ini KCI menyatakan akan menambah 31 perjalanan kereta pengumpan (feeder).

Nah kembali lagi soal penyebab macet di Jakarta meski sistem transportasi publik dinyatakan sudah memadai oleh pemerintah, namun kemacetan masih terjadi karena nyatanya pemerintah sendiri juga ikut andil dalam kemacetan tersebut.

Sejumlah kebijakan pemerintah justru mendukung kemudahan kepemilikan kendaraan pribadi, baik melalui terhadap kredit yang mudah,dukungan produksi kendaraan pribadi yang murah, serta karpet merah untuk pengembangan kendaraan listrik.

Akibatnya, jumlah populasi dan jumlah kendaraan yang beredar di Jakarta dan Bodetabek sudah melebihi kapasitas, dan terus bertambah seperti ditunjukkan oleh data BPS di atas.

Sementara kebijakan yang akan memberatkan bagi pengguna kendaraan pribadi yang melintas di jalanan ibu kota juga masih dalam tataran wacana, tanpa ada kepastian dan kejelasan kapan akan diimplementasikan.

Teranyar, Pemprov DKI mewacanakan pemberlakuan jalan berbayar alias electronic road pricing. Dasar pemikirannya adalah jika kebijakan ini diterapkan, maka pemilik kendaraan akan berfikir ulang untuk membawa kendaraannya ke Jakarta, karena akan dikenai tarif yang mahal.

Namun nampaknya kebijakan ini masih belum akan dilaksanakan dalam waktu dekat, terlebih usai mendapat penolakan dari masyarakat, khusunya dari kalangan ojek daring. Dinas Perhubungan DKI Jakarta pun seolah 'jiper' dengan penolakan ini dan menyatakan ojek online akan dikecualikan dalam penerapan ERP, meski pada pelaksanannya nanti akan sulit membedakan motor ojek daring dengan non daring karena sama-sama berpelat hitam (dan putih).

Jadi, pada dasarnya kebijakan mengurai kemacetan di ibu kota harus dilakukan beriringan dan konsisten, melalui pembenahan pelayanan transportasi publik yang pro penumpang dengan pengendalian kepemilikan dan penggunaan kendaraan bermotor yang efektif.

Tanpa dua hal yang saling berkaitan tersebut, maka hanya akan menjadi pembuka jalan bagi kian parahnya kemacetan lalu lintas di Jakarta dan Bodetabek. Dan Jakarta akan tetap menjadi juara kota termacet di ASEAN, entah sampai kapan predikat ini akan disandang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun