Adapun Undang-undang Nomor 2/PNPS/1964 hanya mengatur pemberitahuan kepada terpidana bahwa eksekusi akan dilaksanakan paling lama 3 x 24 jam sejak pemberitahuan tersebut.Namun itu baru sebatas aturan pemberitahuan menjelang eksekusi mati.
Artinya, undang-undang ini tidak mengatur secara pasti interval atau batas waktu maksimal hari pelaksanaan eksekusi mati dilakukan sejak adanya putusan berkekuatan hukum tetap bagi terpidana mati. Itulah yang menjadikan jangka waktu antara jatuhnya vonis dan pelaksanaan eksekusi hukuman mati antara satu terpidana dengan terpidana lain bisa berbeda.
Contohnya dalam kasus pembunuhan berencana oleh Sumiarsih, yang menjadikan Sumiarsih serta Sugeng harus mendekam di penjara selama 20 tahun lamanya. Ini berbeda dengan Trio Bom Bali---Amrozi, Ali Gufron, serta Imam Samudra yang ditembak mati pada 9 November 2008, alias "hanya" 6 tahun dari sejak mereka meledakkan bom di Bali pada September 2002.Â
Ketidakpastian pengaturan tenggat waktu ini, tentu akan berdampak pada psikologis bagi terpidana. Karena dalam tenggat waktu hingga hari pemberitahuan pelaksanaan hukuman mati, sang terpidana akan terus menerus merasakan ketidakpastian.
Dan jika terpidana mati tersebut menunggu dalam waktu lama, bahkan hingga 20 tahun lamanya seperti Sumiarsih, maka sisi humanis masyarakat pun bukan tak mungkin berfikir sama seperti Goenawan Muhammad seperti yang saya kutip di atas, yakni sang terpidana menjalani hukuman ganda dalam hidupnya, mendekam dalam kurun waktu lama di penjara tetapi tetap harus menjalani hukuman matinya juga.
Hukuman mati pada akhirnya memang menggugah sisi kemanusiaaan, termasuk di Indonesia. Sekelas Presiden Soekarno pun pernah tak tega ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa ia harus menghukum mati kawan seperjuangannya, Kartosoewirjo, sebelum akhirnya disadarkan oleh Megawati Soekarnoputri bahwa sebagai presiden, ayahnya tidak boleh mencampuradukkan antara kenangan persahabatan dengan hakikat persahabatan dengan tugasnya sebagai kepala negara.
"Saya tidak mengira, ibu tega berbuat itu (membunuh Letkol Purwanto sekeluarga). Sebab yang saya tahu, ibu berhati lembut," ujar  Wati, anak Sumiarsih seperti dituturkannya dalam buku Mami Rose: Jual Diri, ke Mucikari, sampai Eksekusi Mati.
Ita Siti Nasi'ah, sang penulis buku tersebut seperti dikutip jpnn.com juga pernah menuturkan, saat pertama kali bertemu Sumiarsih yang ditahan di LP Kalisosok Surabaya, ia melihat sorot mata dan sikap Sumiarsih tidak menunjukkan tanda-tanda orang jahat. Ita mengatakan, sorot matanya melas, sikapnya santun, dan bersifat keibuan.
Nah, dalam kasus vonis mati Ferdy Sambo, drama-drama yang menyentuh sisi kemanusiaan belum dimulai. Mungkin drama seperti ini akan muncul ketika nanti putusan hukuman mati untuknya sudah berkekuatan hukum tetap, dan suami Putri Candrawathi ini menjalani kehidupan di penjara sambil menanti waktu eksekusinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H