Sumiarsih pun akhirnya tak tahan lagi dengan tindak-tanduk Purwanto yang kian kelewat batas, dan terang-terangan menginginkan anak Sumiarsih, Waty, menjadi miliknya meski Purwanto sudah berkeluarga.
Sumiarsih menjadi gelap mata hingga akhirnya merencanakan pembunuhan kepada Purwanto pada 12 Agustus 1988, sebelum eksekusi pada Purwanto dan keluarga dilakukan keesokan harinya.
Dan pada hari naas itu, Purwanto serta anggota keluarga yang ada di rumah saat kejadian, yakni istrinya Sunarsih, kedua anaknya Haryo Bismoko dan Haryo Budi Prasetyo,serta kerabatnya Sumaryatun, seluruhnya meregang nyawa di tangan Sumiarsih dan keluarga yang menjadi eksekutor.
Untuk menghilangkan jejak, jenazah para korban dimasukkan ke dalam sebuah mobil dan dijatuhkan ke sebuah jurang di Kawasan Songgoriti, Batu, agar seolah-olah mereka adalah korban kecelakaan lalu lintas. Namun polisi berhasil mengungkap peristiwa sebenarnya.
Akibatnya, Sumiarsih, Djais, Sugeng, serta Adi mendapatkan ganjaran hukuman mati atas peristiwa pembunuhan berantai yang paling menghebohkan Indonesia saat itu.
Eksekusi hukuman mati terhadap Adi dilakukan pada 2 Desember 1992. Adapun Djais belum sempat dieksekusi sudah meninggal dunia pada 2001 akibat penyakit jantung.
Akan halnya dua terdakwa yang tersisa yakni Sumiarsih dan Sugeng, baru dieksekusi pada 19 Juli 2008 lepas tengah malam. Dengan demikian, Sumiarsih dan Sugeng menghabiskan waktu 20 tahun sejak pertama kali ditahan hingga eksekusi matinya dilaksanakan.
Di hari-hari akhir jelang eksekusi, Sumiarsih mengatakan langsung kepada penulis buku biografinya Ita Siti Nasi'ah  "Maafkan perbuatan saya. Kalaulah eksekusi itu memang satu-satunya jalan pintu maaf, saya terima. Saya pasrah. Saya ingin tidur dalam keabadian."
Sebenarnya, keluarga Mendiang Purwanto menyatakan telah memaafkan tindakan keji Sumiarsih. Haryo Abrianto, satu-satunya anak Purwanto yang selamat dari pembunuhan karena sedang menempuh pendidikan di AAL saat kejadian, menyatakan keluarganya  sudah memaafkan dalam kaitan hubungan antar manusia. Namun Haryo mengatakan hukuman pada Sumiarsih dan para terdakwa lainnya tetap diserahkan sepenuhnya pada hukum yang berlaku.
Saat itu, banyak pihak yang menyayangkan begitu lamanya jarak antara vonis mati dengan pelaksanaan eksekusi mati, khusunya untuk Sugeng dan Sumiarsih. Seperti Sastrawan dan Jurnalis Senior Goenawan Muhammad, dalam buku Catatan Pinggir menulis Sumiarsih sudah membayar kesalahannya selama 20 tahun di penjara dengan tulus, tanpa kejumawaan. Namun jika pengampunan itu ujungnya mati, bukankah penjara 20 tahun dan eksekusi mati berarti hukuman ganda untuknya?
Salah satu kelemahan dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati di Indonesia, adalah belum adanya aturan teknis yang jelas dan tegas mengikat soal tenggat waktu kapan pelaksanaan pidana mati harus dilakukan usai keluarnya putusan hukum berkekuatan tetap.Â