Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Kopaja, Sebuah Nama Sebuah Cerita

16 Februari 2023   12:28 Diperbarui: 17 Februari 2023   16:23 2507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Armada Kopaja. (Foto: Dokumentasi pribadi tahun 2020)

Saat mengunjungi Terminal Blok M pada akhir pekan lalu, saya merasakan ada suasana yang berbeda dibandingkan dengan masa sebelum pandemi, selain tentunya sejumlah kios di selasar terminal yang kini sudah tutup atau disewakan.

Ya, tiga tahun lalu atau tepatnya sebelum virus Covid-19 mewabah ke seantero jagad, Terminal Blok masih ramai oleh datang dan perginya angkutan bus kota yang mencari penumpang. Terminal ini juga menjadi titik awal dan akhir dari trayek angkutan bus kota tersebut.

Salah satu operator bus kota yang memiliki trayek dari dan ke Terminal Blok M, adalah Koperasi Angkutan Jakarta atau lazim disebut dengan akronim Kopaja. 

Sejumlah trayek Kopaja yang berawal di Terminal Blok M antara lain S66 (Blok M-Manggarai), S616 (Blok M-Cipedak), S63 (Blok M-Depok), T57 (Blok M-Kampung Rambutan) serta P19 (Tanah Abang-Blok M). 

Trayek yang saya sebut terakhir ini rute sebenarnya adalah Tanah-Abang-Ragunan, namun kebanyakan unitnya hanya melayani jalur Tanah Abang hingga Terminal Blok M saja.

Sejak mulai beroperasi bersamaan dengan Metro Mini pada 1976 pada masa Gubernur Ali Sadikin, selama 4,5 dekade Kopaja menjadi angkutan umum primadona di jalanan ibukota, tentunya bersama Metro Mini. 

Penggunaan bus ukuran medium atau pada setiap armadanya menjadikan Kopaja (dan Metro Mini) lebih mudah melintasi jalan-jalan berukuran kecil, daripada angkutan umum PPD atau Mayasari Bakti yang menggunakan bus ukuran besar.

Minim perawatan dan peremajaan, keamanan dan kenyamanan penumpang kurang terperhatikan, serta pembawaan pengemudi yang cenderung terburu-buru, demikianlah gambaran common senses saya dan mungkin juga anda, tentang operasional bus Kopaja.

Masuk era awal millenium, pamor Kopaja sebagai salah satu angkutan umum roda karet pilihan masyarakat ibu kota masih benderang. Hingga saat era bus rapid transit (BRT) yang ditandai dengan kehadiran bus Transjakarta koridor 1 Blok M-Kota perlahan tapi pasti mulai mengikis eksistensi Kopaja, yang masih tetap 'konsisten' dengan gambaran yang saya sebutkan di atas.

Dan pada pertengahan 2011, Kopaja pun mulai mengdaptasi sistem BRT, dengan membuka trayek S13 Ragunan-Grogol. Armada Kopaja yang mengusung konsep executive ini berfasilitas pendingin udara, kursi yang lebih nyaman, serta memadukan sistem naik turun penumpang dari pinggir jalan dengan naik turun di halte Transjakarta.

Tahun-tahun berikutnya, rute Kopaja AC bertambah dengan hadirnya rute S602 Ragunan-Monas, dan P20 Lebak Bulus-Senen. Namun nyatanya dinamika bisnis pun harus mengakhiri kerja sama Kopaja dengan Transjakarta, dimana tanggal 19 November 2022 menjadi hari terakhir beroperasinya Kopaja Transjakarta.

Akan halnya Kopaja konvensional, kian tergusur pasca beroperasinya Kopaja Transjakarta. Konsistensi dengan armada tanpa peremajaan yang mengabaikan kenyamanan dan keamanan seolah menjadi situasi yang mendorong terjadinya 'seleksi alam' dan menjadikan pemimpin Jakarta berhasrat mempensiunkan armada-armada lawas tersebut.

"Kopaja ada yang 15 tahun, 30 tahun, bahaya. Rem saja enggak ada, speedometer enggak ada. Terus gimana? Ini ibu kota negara, perlu peremajaan total." (Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo saat sidak ke Terminal Kampung Melayu 17 Oktober 2012)

Sejak sidak Jokowi tersebut, nyatanya eksistensi Kopaja konvensional kian terpinggirkan, sementara Transjakarta kian menguasai moda transportasi bus kota di Jakarta, baik yang berukuran medium maupun ukuran besar. Tak hanya kalah oleh sesama bus, kian berkembangnya angkutan berbasis daring juga mengancam keberadaan Kopaja dengan masih 'konsisten' dengan armada lawas non pendingin udaranya.

Apalagi, sejak 2014, Pemprov DKI Jakarta melarang bus lawas yang usianya di atas 10 tahun untuk beroperasi. Dasar hukumnya adalah Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi pasal 51. Namun para pemilik Kopaja seolah konsisten mengoperasikan armada lawasnya, sehingga Pemprov DKI pun kian menggencarkan razia terhadap Kopaja yang masih beroperasi.

Sejak awal 2020, kian jarang terlihat Kopaja yang beroperasi di Jakarta, seiring kian gencarnya razia bus lawas. Dan akhirnya pandemi Covid-19 yang melanda Jakarta, seolah menjadi momentum bagi Kopaja (dan bus-bus kota non AC lainnya) untuk pamit dari jalanan Jakarta. Entah jadi apa para mantan awak Kopaja saat ini.

Perkembangan kenyamanan dan keamanan transportasi Jakarta yang seolah enggan diikuti secara progresif oleh para pemilik Kopaja, pada akhirnya membunuh keberadaan Kopaja itu sendiri. Solusi yang ditawarkan oleh Pemprov DKI, seperti perubahan sistem setoran menjadi kompensasi per kilometer dan kepemilikan perorangan menjadi bergabung ke PT Transjakarta yang pernah diapungkan pada tahun 2015 pun nampaknya kurang mendapat respons positif dari para pemilik Kopaja.

Saat masih beroperasi, saya melihat Kopaja sebagai sebuah miniatur kehidupan ibu kota, khususnya potret kalangan menengah ke bawah. 

Di dalam Kopaja, selain ada penumpang dan kru yang bertugas, ada pula pengamen, pedagang, hingga pencopet. Semuanya memiliki tujuan yang sama, mencari penghasilan.

Bukan sekali dua kali saya mengalami percobaan pencopetan di Kopaja. Satu kali, dua kali, tiga kali, berhasil lolos, hingga pada akhirnya saya benar-benar harus merelakan ponsel satu-satunya saat itu berpindah tangan dari saku celana saya ke si panjang tangan, ketika perhatian saya teralih oleh orang yang menghalangi di pintu keluar.

Mungkin si panjang tangan itu adalah sebuah antitesis dari dari kata-kata yang kerap diucapkan pengamen saat akan memulai bernyanyi di Kopaja:

"Kami lebih baik bernyanyi, Pak, Bu....Lebih baik panjang suara daripada panjang tangan,"

Kini, usai beroperasi nyaris 4,5 dekade, Kopaja pun menjadi sebuah bagian dari sejarah perjalanan transportasi di Jakarta. Sejumlah warta menyebut armada Kopaja kini sudah berakhir di tempat penghancuran dan penjualan besi tua.

Saya sendiri berharap tidak semua Kopaja lama dihancurkan. Mungkin semestinya ada 1 - 3 unit yang 'diawetkan'. 1 diantaranya dipajang di museum transportasi sebagai salah satu bukti sejarah pertransportasian. Sementara sisanya mungkin bisa dilakukan angkat bodi dan dipakaikan sasis baru untuk digunakan masyarakat yang ingin napak tilas rute lama Kopaja sambil mengingat-ingat kenangan yang pernah ada di dalam Kopaja yang pernah mereka naiki.

Saya pun nampaknya berminat jika ada paket wisata seperti itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun