Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mal Bawah Tanah Pertama Itu Pun Kini Merana

5 Februari 2023   07:00 Diperbarui: 5 Februari 2023   10:30 2663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum ramai pengembangan proyek properti yang berorientasi sarana transportasi, atau lazim disebut transit oriented development (TOD) khususnya di DKI Jakarta saat ini, bisa dibilang Mal Blok M menjadi salah satu pelopor pusat perbelanjaan yang langsung terintegrasi dengan sarana transportasi. Dalam hal ini Terminal Blok M.

Pusat perbelanjaan ini, mulai dibangun pada tahun 1992 bersamaan dengan revitalisasi Terminal Bus Kota Blok M. Tidak seperti bangunan pusat perbelanjaan lain yang dibangun vertikal ke atas, Mal Blok M dibangun dengan memanfaatkan ruang bawah tanah (basement) dari Terminal Blok M.

Alhasil ketika saya pertama kali tiba mengunjungi Mal Blok M, saya pun heran, mengapa bangunan mal-nya sepintas tak terlihat jelas dari luar, layaknya mal lainnya yang berupa gedung.

Pintu masuk Mal Blok M. (Sumber foto: Dokumentasi pribadi)
Pintu masuk Mal Blok M. (Sumber foto: Dokumentasi pribadi)
Jadi bisa dikatakan, Mal Blok M adalah pusat perbelanjaan bawah tanah pertama di Jakarta. Setidaknya predikat itu masih bertahan, dan masih menjadi satu-satunya hingga saat ini.

Saat saya kembali mengunjungi Mal Blok M pada Sabtu 4 Februari kemarin, suasana mal yang sepi langsung tampak ketika saya menuruni tangga halte bus Transjakarta Blok M, yang menjadi salah satu pintu masuk mal. Hanya terlihat beberapa kios yang beroperasi, serta warung makan yang bisa dihitung jari di hall utama Mal Blok M.

Penjualan mobil bekas di Mal Blok M. (Sumber foto: Dokumentasi pribadi)
Penjualan mobil bekas di Mal Blok M. (Sumber foto: Dokumentasi pribadi)
Saya mencoba turun satu lantai, terlihat beberapa mobil bekas dipajang oleh sejumlah agen jual beli mobil secondhand. Namun sama seperti di hall utama, tidak banyak pengunjung yang bertransaksi.

Mungkin karena mobil tak termasuk dalam kebutuhan primer, atau memang pasar mobil bekas kini masih belum kembali bergairah di masa pemulihan ekonomi.

Satu-satunya gerai yang terlihat agak ramai, yakni gerai penjualan pakaian jadi, yang terletak satu lantai dengan hall utama. Tampak sejumlah pengunjung sedang memilih dan mengukur pakaian yang akan mereka beli.

Dan masih di lantai yang sama dengan gerai pakaian jadi tadi, sejauh mata memandang terlihat kios-kios yang sudah tidak beroperasi, yang ditunjukkan oleh rolling door yang tertutup.

Entah sudah berapa lama kios-kios tersebut tak beroperasi, yang jelas situasi tersebut menggambarkan kian terimpitnya Mal Blok M di antara pusat perbelanjaan lain yang ada di sekitarnya, seperti Blok M Square, serta Plaza Blok M yang terintegrasi dengan Stasiun MRT.

Prasasti peresmian Mal Blok M. (Sumber foto: Dokumentasi pribadi)
Prasasti peresmian Mal Blok M. (Sumber foto: Dokumentasi pribadi)
Sepinya Mal Blok M di saat ini, yang notabene era milenial, seolah menjadi sebuah ironi dari tulisan yang yang tertera di prasasti peresmian yang ditandangani Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Admodarminto, tertanggal 3 Oktober 1992. Dalam prasasti tersebut tertera tulisan 'Terminal Belanja Era 2000'.

Tulisan itu jelas mengandung mana bahwa inilah bangunan pusat perbelanjaan yang diharapkan menjadi tren di masa depan, dari mulai bangunannya yang berkonsep unik memanfaatkan ruang bawah tanah, hingga bangunannya yang terintegrasi dengan sarana moda transportasi.

Namun justru di era 2000 alias di era milenial, nasib Mal Blok M menjadi bak roller coaster, dan sekarang roda kehidupan Mal Blok M pun tengah berada di bawah, kalau tak ingin dikatakan hidup segan mati tak mau.

Keberadaan Mal Blok M kini seolah terimpit oleh pusat perbelanjaan yang ada di sekitarnya, seperti Blok M Square yang menghadirkan one stop solutions dalam berbelanja, termasuk bioskop. Demikian pula dengan keberadaan Blok M Plaza yang kembali bergairah usai terintegrasi dengan Stasiun MRT.

Sedangkan sebagai tempat hang out, khususnya kaum muda, Mal Blok M jelas kalah dengan pusat hiburan yang notabene baru, yakni M Bloc, yang lokasinya lebih strategis karena berada tak jauh dari perempatan CSW dan dekat dengan halte Transjakarta maupun Stasiun MRT.

Sepengalaman saya, terakhir kali Mal Blok M ramai didatangi pengunjung, adalah ketika Indonesia dilanda demam batu mulia untuk perhiasan. Kala itu, selasar yang kini menjadi ruang pamer mobil bekas nyaris dipenuhi oleh penjual batu perhiasan, dan sayup-sayup terdengar suara mesin penghalus batu.

Setelah demam batu perhiasan berakhir, denyut nadi kehidupan perbelanjaan di Mal Blok M pun pun perlahan demi perlahan hilang, sampai detik ini. Apalagi setelah sejumlah gerai ritel dan makanan cepat saji hengkang, menjadi simbol Mal Blok M sudah bukan tempat yang strategis untuk mendatangkan pengunjung.

Pemeo yang mengatakan "Dalam hidup ini yang tak berubah hanyalah perubahan" pun seperti tak diadaptasi secara maksimal oleh pengelola Mal Blok M di era disrupsi digital saat ini. Ya, kian berkembangnya digitalisasi menjadikan Mal Blok M yang masih bertahan dengan sistem jual beli konvensional menjadi kian terpinggirkan.

Tak hanya mendapat pukulan telak dari era digital yang kian masif serta pandemi Covid-19 yang menjadikan pemerintah sempat memberlakukan PSBB dan PPKM, Blok M Mal pun harus menghadapi kenyataan angkutan umum Kopaja dan Metro Mini, serta sejumlah angkutan bus kota dihentikan trayeknya oleh Pemprov DKI, dan digantikan oleh bus rapid transit.

Dahulu, Terminal Blok M merupakan salah satu tujuan utama angkutan bus kota seperti Kopaja, Metro Mini, PPD, Steady Safe, serta Mayasari Bakti dari berbagai penjuru ibu kota. Namun setelah penghentian operasional Kopaja dan Metro Mini serta sejumlah trayek bus kota lainnya dari dan ke Terminal Blok M, terminal inipun menjadi cenderung sepi, dan imbasnya pengunjung Mal Blok M pun berkurang drastis.

Dan saat ini, hanya bus Transjakarta, Metrotrans, angkot JakLingko, serta beberapa bus Mayasari bakti saja yang masih beroperasi melayani jurusan Terminal Blok M. Namun jelas tidak mampu berkontribusi maksimal bagi pengunjung Mal Blok M.

Lantas sampai kapan Mal Blok M sepi? 

Jawabannya jelas, sampai pengelolanya mampu beradaptasi secara maksimal dengan perkembangan zaman, untuk bisa kembali mengundang masyarakat untuk datang dan berbelanja atau sekedar nongkrong. Itu karena rasa-rasanya saat ini tak mungkin trayek Kopaja dan Metro Mini akan diterbitkan kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun