Sebelum ramai pengembangan proyek properti yang berorientasi sarana transportasi, atau lazim disebut transit oriented development (TOD) khususnya di DKI Jakarta saat ini, bisa dibilang Mal Blok M menjadi salah satu pelopor pusat perbelanjaan yang langsung terintegrasi dengan sarana transportasi. Dalam hal ini Terminal Blok M.
Pusat perbelanjaan ini, mulai dibangun pada tahun 1992 bersamaan dengan revitalisasi Terminal Bus Kota Blok M. Tidak seperti bangunan pusat perbelanjaan lain yang dibangun vertikal ke atas, Mal Blok M dibangun dengan memanfaatkan ruang bawah tanah (basement) dari Terminal Blok M.
Alhasil ketika saya pertama kali tiba mengunjungi Mal Blok M, saya pun heran, mengapa bangunan mal-nya sepintas tak terlihat jelas dari luar, layaknya mal lainnya yang berupa gedung.
Saat saya kembali mengunjungi Mal Blok M pada Sabtu 4 Februari kemarin, suasana mal yang sepi langsung tampak ketika saya menuruni tangga halte bus Transjakarta Blok M, yang menjadi salah satu pintu masuk mal. Hanya terlihat beberapa kios yang beroperasi, serta warung makan yang bisa dihitung jari di hall utama Mal Blok M.
Mungkin karena mobil tak termasuk dalam kebutuhan primer, atau memang pasar mobil bekas kini masih belum kembali bergairah di masa pemulihan ekonomi.
Satu-satunya gerai yang terlihat agak ramai, yakni gerai penjualan pakaian jadi, yang terletak satu lantai dengan hall utama. Tampak sejumlah pengunjung sedang memilih dan mengukur pakaian yang akan mereka beli.
Dan masih di lantai yang sama dengan gerai pakaian jadi tadi, sejauh mata memandang terlihat kios-kios yang sudah tidak beroperasi, yang ditunjukkan oleh rolling door yang tertutup.
Entah sudah berapa lama kios-kios tersebut tak beroperasi, yang jelas situasi tersebut menggambarkan kian terimpitnya Mal Blok M di antara pusat perbelanjaan lain yang ada di sekitarnya, seperti Blok M Square, serta Plaza Blok M yang terintegrasi dengan Stasiun MRT.