Usai Presiden Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping menyaksikan uji coba kereta cepat Jakarta-Bandung. Isu akan dihentikannya operasional Kereta Argo Parahyangan yang selama ini melayani trayek Jakarta-Bandung di jalur rel existing pun mencuat, namun belum ada pernyataan resmi dari pihak terkait soal hal ini.
Dua hari terakhir ini---atau bahkan lebih dari dua hari---isu penghentian operasional Kereta Api Argo Parahyangan, kembali berembus kencang. Setidaknya dari sejumlah pemberitaan cetak dan online yang saya ikuti.
Bermula ketika saya membaca warta di Kumparan.com yang mewawancara Menko Bidang Marves Luhut Pandjaitan dan beliau menjawab "Ya", dan ditafsirkan sebagai mengiyakan pertanyaan apakah operasional Argo Parahyangan akan dihentikan jika Kereta Cepat Jakarta-Bandung mulai beroperasi pada Juni 2023 mendatang.
Namun Luhut---masih dalam pemberitaan yang sama---tidak menegaskan kapan KA Argo Parahyangan akan berhenti. Ia hanya mengatakan akan ditinjau kembali soal rencana tersebut. Juru Bicara Kemenko Marves Jodi Mahardi  seperti dikutip Kompas.com pada Kamis 1 Desember 2022 pun mengatakan soal penghentian ini masih dalam pembahasan.
Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi seperti dikutip CNN Indonesia pun secara normatif mengatakan, soal penghentian Argo Parahyangan masih dalam pengkajian. Dan pada Maret atau April (tahun depan), barulah hasil pengkaijan itu akan dilihat.
Meski tak menyebut langsung soal penghentian, namun dua kementerian yang saling berkoordinsi dalam hal transportasi publik di Indonesia itu, tak jelas membantah soal isu rencana penghentian layanan KA Argo Parahyangan. Opini common sense yang berkembang di masyarakat tentu mengaitkan rencana penghentian ini dengan pengarahan agar masyarakat pengguna Argo Parahyangan beralih ke kereta cepat Jakarta-Bandung.
Meski bertajuk Jakarta-Bandung, namun nyatanya kereta ini tidak terminus di wilayah pusat Kota Bandung. Dalam laman resmi PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), stasiun yang dibangun dalam proyek kereta cepat ini yakni Halim, Padalarang, Padalarang Tegalluar. Tentu berbeda dengan Argo Parahyangan yang mengawali perjalanan di ring 1 Jakarta (Stasiun Gambir) dan mengakhiri perjalanan di pusat kota (Stasiun Bandung).
Karena lokasinya yang jauh dari pusat kota, maka stasiun Halim akan diintegrasikan dengan layanan LRT Jabodebek. Sementara untuk menuju pusat Kota Bandung, penumpang kereta cepat bisa turun di Stasiun Padalarang untuk menggunakan kereta penghubung (feeder) ke wilayah Cimahi dan Bandung kota.
Isu penghentian layanan Kereta Api Argo Parahyangan, menjadi sentimen kesekian yang mengiringi proyek kereta cepat pertama di Indonesia ini. Sejak sebelum proyek berjalan, alias ketika masih dalam perencanaan saja, proyek ini sudah banjir kritik. Diantaranya penunjukan China sebagai negara anggota konsorsium menyisihkan Jepang.
Bahkan menteri perhubungan kala itu, Ignasius Jonan secara terang-terangan menolak pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Penolakan in pun diduga menjai salah satu penyebab pria yang dikenal ceplas-ceplos ini harus mengakhiri jabatannya sebagai Menhub lebih awal dari seharusnya.
Kritik publik semakin meluas, setelah Presiden Joko Widodo menggelontorkan duit APBN Rp 4,3 triliun untuk mendanai proyek kerja sama yang sebagian besar didanai utang dari China tersebut. Banyak masyarakat yang kecewa dengan janji Presiden Jokowi yang sebelumnya berulangkali berikrar tidak akan menggunakan uang rakyat sepeser pun. Proyek tersebut juga sebelumnya diklaim tidak akan dijamin pemerintah.
Selain pendanaan lewat APBN, kritik lainnya yakni terkait jarak Jakarta-Bandung yang relatif dekat, hanya sekitar 150 kilometer, sehingga dinilai akan membuat kecepatan kereta cepat kurang maksimal.
Dan dengan lokasi stasiun transit di Padalarang, banyak warganet yang memplesetkan nama proyek ini menjadi Kereta Cepat Halim-Padalarang, atau Kereta Cepat Jakarta-Bandung Barat.
Nah, ketika saya membuka diskusi soal wacana penghentian layanan Argo Parahyangan seiring akan mulai beroperasinya kereta cepat ini, di sebuah forum diskusi transportasi, ada yang berkomentar menyeletuk sarkastis "Nggak sekalian tutup saja itu Tol Cipularang?"
Sebagai salah satu dari sekian banyak orang Jabodetabek yang kerap berkunjung ke Bandung, sampai detik ini saya pribadi masih belum berencana menggunakan Kereta Cepat Jakarta-Bandung, jika nanti sudah beroperasi. Alasan utamanya adalah kepraktisan.
Dan bicara soal kepraktisan, moda transportasi mobil penumpang umum antar kota (travel) menjadi yang hampir selalu saya gunakan untuk saat ini. Karena moda transportasi ini menggunakan shuttle, dan titik naik dan turunnya pun tersebar di banyak titik di kota Bandung dan Jabodetabek.
Selain itu, jadwal keberangkatan yang hampir tiap jam juga menjadi alasan saya menggunakan travel untuk bepergian dari Jakarta ke Bandung ataupun sebaliknya. Dan dengan posisi titik berangkat dan titik tiba yang banyak, saya bisa menyesuaikan di mana saya bisa turun di lokasi yang terdekat dengan tujuan saya.
Dengan demikian, waktu perjalanan Jakarta-Bandung bisa diminimalkan apabila ditempuh menggunakan travel. BTW saya menulis ini bukan 'di-endorse' oleh perusahaan travel lho yaa. Cuma mau memberi perbandingan saja.
Sebagai contoh. Saya pernah berangkat dari titik awal keberangkatan sebuah travel dari kawasan Jalan Dipati Ukur, Kota Bandung, pada pukul 05:00 WIB, dan dengan kondisi jalanan lancar, saya tiba di Gedung Bursa Efek Indonesia, kawasan SCBD, Jakarta, pada pukul 07:20 WIB.
Ini sedikit lebih efektif daripada jika saya harus naik kereta Argo Parahyangan dari Stasiun Bandung dan tiba di Stasiun Gambir dalam tempo 3 jam, dan harus menyambung naik modal transportasi lain menuju kawasan SCBD.
Dalam kasus lain yang sama-sama di bidang transportasi rel versus jalan raya, kereta bandara Soekarno Hatta menjadi contoh kurang diminatinya transportasi berbasis rel ini. Salah satu penyebabnya ya karena kepraktisan juga. Jika dibandingkan dengan moda transportasi bus atau travel bandara, kereta bandara kalah jauh.
Apalagi sesampainya di Stasiun Bandara Soekarno Hatta, penumpang masih harus menggunakan skytrain untuk menuju terminal keberangkatan pesawat. Ini berbeda dengan Kereta Bandara Kualanamu yang terintegrasi stasiun kereta dengan bandara.
Kereta Bandara Soekarno Hatta pun sebagian relnya masih menjadi satu dengan rel yang digunakan KRL Commuter Line. Sehingga jika terjadi masalah dengan perjalanan KRL, otomatis perjalanan KA Bandara juga terhambat.
Tapi perbandingan antara Kereta Bandara Soekarno-Hatta dengan Kereta Cepat Jakarta-Bandung mungkin tidak terlalu apple to apple, karena Kereta Cepat Jakarta-Bandung sepenuhnya menggunakan rel sendiri.
Nah, kenapa kemudian Argo Parahyangan-lah yang harus rela diwacanakan untuk dimatikan saat Kereta Cepat Jakarta-Bandung beroperasi? Jawabannya, ya karena Argo Parahyangan merupakan layanan dari BUMN. Dan BUMN tentu harus tegak lurus ikut pada keputusan pemerintah.
Kalau operator bus dan travel Jakarta-Bandung disuruh juga mengurangi jadwal atau titik operasional agar kereta cepat banyak yang naik, jelas akan mendapat resistensi besar-besaran dari Organda.
Namun jika nanti benar-benar KA Argo Parahyangan 'disuntik mati', apakah pengguna setianya akan lantas menggunakan kereta cepat? Saya rasa tidak. Karena moda transportasi 'roda karet' akan menjadi pilihan utama jika berasumsi pada kepraktisan dalam perjalanan. Kecuali bagi yang mabuk perjalanan jalan raya, atau yang sudah terlanjur fanatik pada perjalanan menggunakan kereta api.
Dan kalaupun Argo Parahyangan berhenti beroperasi, bagi para pecinta setia moda kereta api masih ada KA Serayu trayek Jakarta-Purwokerto, yang berhenti di Stasiun Bandung dan Kiaracondong. Juga ada KA Cikuray trayek Jakarta-Garut, yang juga berhenti di Stasiun Bandung dan Kiaracondong.
Nah, apakah kereta ini nantinya juga akan dilarang berhenti di Stasiun Bandung dan Kiaracondong jika kereta cepat sudah beroperasi?
Ya ndak tau. Koq nanya saya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H