"Harus diusut juga, siapa orang-orang yang menunjukkan gestur mengajak penonton untuk menyerbu lapangan, walau dengan dalih memberi semangat pada pemain Arema FC yang kalah. Mungkin mereka sekarang masih bisa tidur nyenyak, sementara teman-temannya telah tiada"
Kutipan di atas saya ambil dari komentar salah seorang netizen, yang mengomentari di postingan sebuah berita tentang kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, pada 1 Oktober 2022 lalu.
Saya pribadi memiliki sisi sepakat dengan komentar tersebut. Karena kerusuhan yang terjadi di dalam Stadion Kanjuruhan faktanya diwarnai dengan pitch invasion.
Di sisi lain, saya pun menghormati proses hukum terhadap kesalahan prosedur pengamanan dengan menembakkan gas air mata. TGIPF Tragedi Kanjuruhan pimpinan Menko Polhukkam Mahfud MD dalam rekomendasinya yang disampaikan pada 14 Oktober 2022 telah menyatakan menyimpulkan gas air mata memanglah sebagai pemicu utama kepanikan berujung tragedi itu.
"Yang mati dan cacat serta sekarang kritis dipastikan setelah terjadi desak-desakan setelah gas air mata yang disemprotkan," kata Mahfud dalam jumpa pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Sementara itu, hasil temuan TGIPF terakit aksi suporter dalam Tragedi Kanjuruhan adalah sebagai berikut:
- Suporter tidak mengetahui atau mengabaikan larangan dalam memasuki area lapangan pertandingan, termasuk larangan melempar flare ke dalam lapangan.
- Suporter melakukan tindakan dan mengeluarkan ucapan-ucapan bersifat provokatif dan melawan petugas.
- Suporter melakukan tindakan melawan petugas (melempar benda-benda keras dan melakukan pemukulan terhadap pemain cadangan Arema dan petugas).
Atas dua rekomendasi di atas, saya sampaikan terima kasih kepada TGIPF yang telah memberikan resume hasil pencarian fakta dari sejumlah sisi, termasuk resume yang merekomendasikan tanggung jawab federasi serta penyelenggara liga dalam Tragedi Kanjuruhan.
Jadi jelaslah sudah, bahwa tindakan penembakan gas air mata (meskipun langkah itu seyogianya tak dilakukan) tidak berdiri sendiri.
Tindakan peningkatan pengamanan dan penghalauan dilakukan salah satunya karena sejumlah suporter yang melakukan pitch invasion sudah melakukan tindakan yang berpotensi membahayakan keselamatan. Baik keselamatan pemain, ofisial, petugas keamanan, maupun terhadap sesama suporter sendiri.
Sementara di luar situasi tak kalah ricuh. Para suporter berusaha mengadang dan menyerang rombongan kendaraan rantis yang membawa pemain dan ofisial Persebaya menjauh dari Stadion Kanjuruhan.
Asisten Pelatih Persebaya Mustaqim, dalam sebuah video perbincangan dengan Wakil Wali Kota Surabaya Armuji mengatakan, ofisial dan pemain Persebaya sempat tertahan di dalam mobil Barracuda selama 2 jam pukul 22:00-24:00 tak bisa meninggalkan kawasan Stadion Kanjuruhan, akibat blokade yang dilakukan suporter tuan rumah.
Selain memblokade, Mustaqim mengisahkan suporter juga berusaha melempari Barracuda yang ditumpanginya dengan benda-benda apapun di sekitarnya.
Salah seorang petugas Polrestabes Surabaya yang ikut mengawal tim Persebaya ke Malang juga menceritakan, ia sempat dimintai tolong sekelompok Aremania agar membantu membukakan jalan untuk membawa rekan suporter yang dievakuasi dari dalam stadion menuju rumah sakit. Namun petugas ini pun tak bisa berbuat banyak karena parahnya blokade yang dilakukan Aremania lainnya.
Karena itulah TGIPF Tragedi Kanjuruhan dalam salah satu rekomendasinya meminta agar Polri segera menindak lanjuti hasil penyelidikan terhadap suporter yang melakukan provokasi. Seperti yang awal mula memasuki lapangan sehingga diikuti oleh suporter yang lain. Lalu suporter yang melakukan pelemparan flare, melakukan perusakan mobil di dalam stadion, dan melakukan pembakaran mobil di luar stadion.
Nah, poin ke-3 dalam temuan TGIPF Tragedi Kanjuruhan menjadi menarik untuk saya. Mengapa? Karena ini menyelisihi hasil temuan Komnas HAM, yang pernah disampaikan oleh Komisioner Bidang Penyelidikan dan Pemantauan Komnas HAM Choirul Anam.
Seperti dikutip Kompas.com pada 6 Oktober 2022, Anam mengatakan bahwa para suporter turun untuk memberikan semangat kepada pemain andalan mereka. Temuan ini diperoleh dari keterangan para pemain di lapangan.
Menurut Anam, pihaknya telah bertemu dengan para pemain Arema FC, dan para pemain mengaku tak mendapat tindak kekerasan dari para suporter.
Saya tidak berprasangka negatif terhadap temuan Komnas HAM tersebut. Namun saya pun mencoba memahami bahwa Komnas HAM membuat pernyataan temuan tersebut berdasarkan keterangan dari pemain Arema FC saja.
Mungkin hasil temuannya akan beda ketika Komnas HAM juga meminta keterangan dari pihak lain selain pemain Arema FC, seperti pemain Persebaya, penonton, bahkan mungkin dari petugas keamanan atau Aremania yang ikut melakukan pitch invasion.
Karena dari sejumlah video amatir yang beredar dan sempat saya saksikan, dan mungkin juga pernah anda saksikan, menunjukkan adanya tindakan intimidasi dan teror yang dilakukan oleh Aremania terhadap tim Persebaya.
Selain itu, ada pula kendaraan polisi yang dirusak dan dibakar. Pembakaran ini pulalah yang menjadi sorotan TGIPF Tragedi Kanjuruhan.
Adapun Aremania sendiri dalam kasus Tragedi Kanjuruhan cenderung defensif, dan sejauh ini hanya memfokuskan pandangan bahwa Tragedi Kanjuruhan adalah mutlak kesalahan dari aparat keamanan.
Setidaknya itu yang terungkap dari rilis investigasi Tim Pencari Fakta Aremania. Menurut Perwakilan KontraS yang menjadi pendamping TPF Aremania, Andi Irfan, investigasi mereka menemukan bahwa pihak keamanan sudah diperingatkan mengenai larangan penggunaan air mata jauh hari sebelum pertandingan.
Peringatan tersebut dikoordinasikan sebanyak empat kali dalam rakor sebelum pertandingan bersama Kepolisian, Panpel, Manajemen Arema FC, Aremania dan pihak-pihak terkait lainnya. Akan tetapi, pihak keamanan tetap membawa amunisi gas air mata pada hari H pertandingan.
Untuk itu, TPF Aremania dalam pernyataan sikapnya, meminta supaya ada pemeriksaan menyeluruh pada rantai komando Kepolisian yang bertanggung jawab atas masuknya gas air mata di dalam stadion meskipun sudah ada imbauan sebelumnya.
Pernyataan sikap tersebut pun sebenarnya sudah mendapat jawaban awal, dengan dicopotnya sejumlah personil kepolisian yang bertugas saat Tragedi Kanjuruhan, serta ditetapkannya tiga anggota Polri sebagai tersangka, dan diumumkan langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Adapun tiga anggota Korps Bhayangkara yang sudah menjadi tersangka yakni:
- Kepala Satuan Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi
- Komandan Kompi (Danki) Brimob Polda Jawa Timur, AKB Hasdarman
- Kepala Bagian Operasional (Kabag Ops) Polres Malang, Kompol Wahyu Setyo Pranoto
Selain itu, satu anggota TNI AD berinisial Serda TBW juga dijadikan tersangka, setelah sebelumnya viral akibat terekam menendang Aremania.
Dan soal tersangka dalam Tragedi Kanjuruhan ini, Mahfud MD mengatakan ada peluang ditetapkannya sejumlah tersangka baru dari kasus ini. Meski demikian, penetapan tersangka baru itu tak boleh dipaksakan dan harus sesuai hukum acara berlaku.
Dalam hal ini, polisi lebih tahu metode untuk mencari dan menetapkan tersangka, karena polisi punya senjata hukum acara.
Kembali ke soal serbuan Aremania ke dalam lapangan usai peluit panjang pertandingan Arema FC vs Persebaya dibunyikan, Ken Yeager, associate professor psikiatri di The Ohio State University dalam tulisan For Many Sports Fans, It's Not 'Just A Game' dapat menjadi permulaan yang bagus.
Menurut Yeager, penggemar olahraga memiliki respons psikologis dan fisiologis terhadap apa yang terjadi pada tim yang mereka dukung selama dan setelah pertandingan. Secara spesifik, Yeager menyebut apa yang terjadi di lapangan dapat mempengaruhi kadar kortisol dan testosteron. Keduanya adalah hormon yang membuat tubuh merasa berenergi dan bergairah.
Ketika melihat tim yang didukung menang, kadar kortisol dan testosteron akan meningkat. Ini membuat para suporter mengalami euforia karena merasa begitu senang dan bersemangat. Sebaliknya, jika tim yang didukung kalah, produksi dua hormon itu akan memicu stres, amarah, hingga perasaan putus asa.
Menurut Yeager, fenomena ini akan semakin kuat apabila berada di tengah massa yang begitu padat. Dalam crowd psychology, dijelaskan bahwa individu akan sulit untuk menahan godaan untuk tidak mengikuti perilaku massa di sekitarnya.
Setidaknya, penjelasan ini sementara bisa menjawab tindakan dua orang Aremania yang masuk ke lapangan dengan dalih hanya ingin memeluk dan memberi dukungan moril kepada pemain, lantas langsung ditiru oleh Aremania lainnya.
Nah, dengan adanya rekomendasi TGIPF untuk penyelidikan terhadap suporter yang diduga memprovokasi di Stadion Kanjuruhan, akankah kelak ada Aremania yang ditetapkan sebagai tersangka? Mari kita tunggu perkembangannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H