Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tragedi Kanjuruhan, PSSI Tak Bisa Dituntut Hukum

7 Oktober 2022   19:40 Diperbarui: 7 Oktober 2022   21:20 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Regulasi menyatakan PSSI bebas dari segala tuntutan atas terjadinya kesalahan dalam pelaksanaan pertandingan (Sumber: tangkapan layar)

Usai peristiwa Sabtu kelabu dan memilukan di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada akhir pekan lalu, saya langsung teringat peristiwa yang juga memilukan, yang terjadi di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Bandung, pada Jumat 17 Juni 2022 silam. Saat itu digelar pertandingan Piala Presiden 2022 yang mempertemukan Persib dan Persebaya.

Pada pertandingan yang juga digelar malam hari itu, dua orang Bobotoh, Sopiana Yusup serta Ahmad Solihin, tewas usai berdesak-desakan dan terinjak-injak penonton lainnya di pintu masuk Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA).

Atas kejadian tersebut, Komite Disiplin (Komdis) PSSI menjatuhkan sanksi denda Rp50 juta kepada Panpel Persib Bandung, serta larangan menghadirkan penonton sepanjang gelaran Piala Presiden. Komdis juga memberi advis kepada Panpel Persib untuk tak menggelar laga di Stadion GBLA, karena dinilai tak layak untuk menggelar pertandingan.

Ketua Komdis PSSI Erwin Tobing saat itu mengatakan, konstruksi GBLA tak mampu menjamin keamanan serta kenyamanan penonton. Karena banyak bagian tembok yang retak, lantai yang pecah, serta dinding yang mudah dipanjat oleh penonton. Meskipun dari luar GBLA terlihat megah.

Namun tragedi memilukan tersebut seolah berlalu begitu saja, karena pada kenyataannya ketika kompetisi Liga 1 2022-2023bergulir, panpel pertandingan Persib tetap menggunakan Stadion GBLA untuk pertandingan kandang Persib Bandung.

Demikian pula dengan desakan sejumlah pihak agar sepakbola Indonesia tak lagi menggelar pertandingan pada pukul 20:30, karena dinilai terlalu malam, ditanggapi bergeming oleh pelaksana kompetisi dan pemegang hak siar kompetisi.

Pertandingan malam hari tetap dilaksanakan sampai tibalah saatnya hari naas itu, 1 Oktober 2022. PT Liga Indonesia Baru (LIB) dan panpel pertandingan Arema seolah-olah "melupakan" penyebab tragedi memilukan yang terjadi di Bandung sebelumnya.

Saya tak mengerti dan tak habis pikir, mengapa LIB dan panpel pertandingan Arema keukeuh untuk melaksanakan pertandingan di malam hari, dan mengacuhkan saran dari kepolisian yang tentunya sudah memiliki sejumlah pertimbangan agar pertandingan dilaksanakan di sore hari.

Padahal sependek asumsi saya, kepolisian tentu memperhatikan banyak aspek dalam memberi saran pertandingan digelar sore hari. Tentunya yang utama adalah keselamatan dan potensi kericuhan, meski suporter lawan tidak hadir di Stadion Kanjuruhan.

Selain potensi kericuhan yang salah satunya akibat sistem penerangan dan pengamanan di banyak stadion di Indonesia yang belum memadai, masalah yang ditimbulkan oleh pertandingan yang dimulai terlalu malam adalah soal transportasi, mengingat di beberapa wilayah di Indonesia sistem transportasi (umum) cenderung kurang mendukung bagi suporter pengguna angkutan umum.

Di salah satu fanpage suporter Persija Jakarta beberapa waktu lalu sempat ada postingan suporter Jakmania terpaksa terburu-buru menuju Stasiun Bekasi dari Stadion Patriot Chandrabhaga sebelum laga usai, untuk mengejar jadwal pemberangkatan KRL terakhir dari Stasiun Bekasi menuju Jakarta.  

Wajar jika asumsi liar yang berkembang di kalangan penonton sepakbola Indonesia yakni panpel mengikuti keinginan dari pihak pemegang hak siar untuk menggelar pertandingan setelah pukul 20:00, agar tidak bentrok dengan jadwal tayang sinetron unggulan dari stasiun televisi yang menyiarkan Liga 1.

Dan akhirnya asumsi itu pun terjawab oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, saat mengumumkan nama 6 tersangka (sementara) tragedi Kanjuruhan:

"Dengan alasan (Panpel dan LIB) apabila waktunya digeser tentunya ada pertimbangan pertimbangan yang terkait dengan masalah penayangan langsung, ekonomi, dan sebagainya, yang mengakibatkan dampak yang bisa memunculkan pinalti, ataupun ganti rugi."

Jelas sudah, bahwa panpel dengan broadcaster, sponsor, serta pihak-pihak terkait tak mau belajar dari kasus di Gelora BLA, alias hanya mementingkan faktor bisnis semata. 

Namun saya tak ingin berharap banyak kepentingan bisnis yang abai faktor keamanan dan keselamatan ini bisa diselesaikan melalui hukum positif. Karena saya belum menemukan aturan hukum positif yang mengatur hal ini. Mungkin di sini ada pakar hukum yang lebih mumpuni dalam menganalisanya.

Lantas pertanyaan besar yang juga kemudian muncul, bisakah PSSI dituntut bertanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan?

Jawabannnya adalah tidak. Ini mengacu pada Regulasi Keselamatan dan Keamanan PSSI tahun 2021, pasal 3 ayat 1 huruf d, yang menyebutkan Panpel menjamin, membebaskan, dan melepaskan PSSI dari segala tuntutan akibat kesalahan dalam pelaksanaan prosedur keselamatan dan keamanan pertandingan.

Regulasi menyatakan PSSI bebas dari segala tuntutan atas terjadinya kesalahan dalam pelaksanaan pertandingan (Sumber: tangkapan layar)
Regulasi menyatakan PSSI bebas dari segala tuntutan atas terjadinya kesalahan dalam pelaksanaan pertandingan (Sumber: tangkapan layar)
Ya, saya menjadi paham mengapa Mochammad Iriawan sebagai pucuk pimpinan PSSI mengatakan peristiwa di Malang adalah murni tanggung jawab panpel lokal. Mungkin beda Indonesia beda pula Uruguay di tahun 2014, dimana saat itu pengurus Asosiasi Sepakbolanya mengundurkan diri, usai kericuhan antara pendukung klub Nacional dengan kepolisian setempat.

Menurut pria yang akrab disapa Iwan Bule ini, jika ia memilih mundur dari jabatannya, itu sama saja dengan lari dari tanggung jawab. Jadi, ia memastikan akan mengawal Tragedi Kanjuruhan hingga usai.

Memang, celah yang bisa melegitimasi tidak mundurnya Iwan Bule dari jabatannya adalah, karena selama ini tidak ada parameter tertentu yang bisa menunjukkan kegagalan seorang ketua umum PSSI dalam menjalankan tugasnya. Artinya, jika sekarang mantan kapolda Jabar ini dianggap gagal menjalankan amanah sebagai ketua umum PSSI, makan itu menjadi subjektif semata.

Pun demikian halnya ketika Azrul Ananda menyatakan mundur sebagai Presiden Persebaya pada 16 September 2022 lalu. Meski tidak ada patokan tertentu yang bisa dijadikan acuan pengunduran dirinya, namun nyatanya sosok yang menjadi presiden  Persebaya sejak 2017 itu tetap mengundurkan diri dari jabatannya itu, meski sejumlah kalangan, termasuk sebagian Bonek bersikeras menolak keputusannya.

Nah, jadi jika Iwan Bule memang harus mundur, maka pastikanlah pengunduran dirinya itu berasal dari desakan di dalam hatinya, karena desakan hati tak diatur oleh hukum positif apapun.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun