Wajar jika asumsi liar yang berkembang di kalangan penonton sepakbola Indonesia yakni panpel mengikuti keinginan dari pihak pemegang hak siar untuk menggelar pertandingan setelah pukul 20:00, agar tidak bentrok dengan jadwal tayang sinetron unggulan dari stasiun televisi yang menyiarkan Liga 1.
Dan akhirnya asumsi itu pun terjawab oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, saat mengumumkan nama 6 tersangka (sementara) tragedi Kanjuruhan:
"Dengan alasan (Panpel dan LIB) apabila waktunya digeser tentunya ada pertimbangan pertimbangan yang terkait dengan masalah penayangan langsung, ekonomi, dan sebagainya, yang mengakibatkan dampak yang bisa memunculkan pinalti, ataupun ganti rugi."
Jelas sudah, bahwa panpel dengan broadcaster, sponsor, serta pihak-pihak terkait tak mau belajar dari kasus di Gelora BLA, alias hanya mementingkan faktor bisnis semata.Â
Namun saya tak ingin berharap banyak kepentingan bisnis yang abai faktor keamanan dan keselamatan ini bisa diselesaikan melalui hukum positif. Karena saya belum menemukan aturan hukum positif yang mengatur hal ini. Mungkin di sini ada pakar hukum yang lebih mumpuni dalam menganalisanya.
Lantas pertanyaan besar yang juga kemudian muncul, bisakah PSSI dituntut bertanggung jawab atas tragedi Kanjuruhan?
Jawabannnya adalah tidak. Ini mengacu pada Regulasi Keselamatan dan Keamanan PSSI tahun 2021, pasal 3 ayat 1 huruf d, yang menyebutkan Panpel menjamin, membebaskan, dan melepaskan PSSI dari segala tuntutan akibat kesalahan dalam pelaksanaan prosedur keselamatan dan keamanan pertandingan.
Ya, saya menjadi paham mengapa Mochammad Iriawan sebagai pucuk pimpinan PSSI mengatakan peristiwa di Malang adalah murni tanggung jawab panpel lokal. Mungkin beda Indonesia beda pula Uruguay di tahun 2014, dimana saat itu pengurus Asosiasi Sepakbolanya mengundurkan diri, usai kericuhan antara pendukung klub Nacional dengan kepolisian setempat.
Menurut pria yang akrab disapa Iwan Bule ini, jika ia memilih mundur dari jabatannya, itu sama saja dengan lari dari tanggung jawab. Jadi, ia memastikan akan mengawal Tragedi Kanjuruhan hingga usai.
Memang, celah yang bisa melegitimasi tidak mundurnya Iwan Bule dari jabatannya adalah, karena selama ini tidak ada parameter tertentu yang bisa menunjukkan kegagalan seorang ketua umum PSSI dalam menjalankan tugasnya. Artinya, jika sekarang mantan kapolda Jabar ini dianggap gagal menjalankan amanah sebagai ketua umum PSSI, makan itu menjadi subjektif semata.
Pun demikian halnya ketika Azrul Ananda menyatakan mundur sebagai Presiden Persebaya pada 16 September 2022 lalu. Meski tidak ada patokan tertentu yang bisa dijadikan acuan pengunduran dirinya, namun nyatanya sosok yang menjadi presiden  Persebaya sejak 2017 itu tetap mengundurkan diri dari jabatannya itu, meski sejumlah kalangan, termasuk sebagian Bonek bersikeras menolak keputusannya.