Sebelum Arema menang
Walau harus mati di tengah lapang
Arema, teruslah berjuang....!
Chant atau nyanyian singkat suporter di atas kerap dinyanyikan oleh Aremania saat mendukung tim kesayangannya bertanding. Chant ini pulalah yang kemudian menjadi sorotan publik---khususnya netizen-- usai tragedi berdarah di Stadion Kanjuruhan  1 Oktober 2022 lalu.
Sekedar informasi, chant di atas merupakan adaptasi dari chant Tinggalkan Ayah Tinggalkan Ibu, yang kerap dinyanyikan oleh anggota maupun calon anggota TNI saat sedang berkegiatan. Lirik sebenarnya yang diadaptasi adalah:
Tidak kembali pulang
Sebelum kita yang menang
Walau mayat terdampar di medan perang
Demi bangsa, kami 'kan berjuang....!
Saya memang bukan pakar sugesti melalui nyanyian lagu. Akan tetapi saya pernah membaca bahwa, sebuah lagu bisa menjadi salah satu metode penanaman sugesti kepada seseorang. Istilah kasarnya, lirik dalam lagu masuk ke dalam alam pikiran seseorang.
Mengapa demikian?
Karena lagu merupakan potret kehidupan manusia yang disajikan dengan bentuk yang berbeda. Karena itu, sebagian besar lagu tak lepas dari kejadian dan peristiwa yang benar-benar dialami oleh sang pencipta lagu, maupun orang lain yang menceritakan peristiwa pada pencipta lagu.
Sebagai contoh, sebuah kisah pernah dituturkan oleh Nia Daniati tentang lagu Gelas-gelas Kaca yang pernah dipopulerkannya di medio 80an.
Seperti dituturkan Nia kepada kanal Youtube REPShow dan dikutip Kompas.com, ide penciptaan lagu itu muncul ketika dirinya bersama mendiang Rinto Harahap mengunjungi anak-anak yatim piatu di Yayasan Sayap Ibu, Jakarta Selatan.
Rinto merasa pilu mendengar  tangisan anak-anak yatim piatu di sebuah ruangan kaca, seolah melukiskan rintihan hati mereka ingin bertemu dengan orang tuanya yang entah ada di mana. Peristiwa itu sangat membekas di hati Rinto, dan menginspirasinya untuk menuangkannya dalam bentuk bait-bait lagu:
Gelas-gelas kaca tunjukkan padaku siapa diriku iini
Ayah aku tak punya, ibu pun tak punya, siapapun aku tak punya
Hanya air mata yang selalu bercerita kepadaku
Mungkin Anda pernah melihat ada keluarga, teman, atau kolega handai taulan yang 'baper' atau malah menangis, atau malah menjadi gembira, atau justru bersemangat dan terpacu untuk mengerjakan sesuatu ketika mendengar musik karena mendengar sebuah lagu? Jangan menganggap aneh, karena memang ada penelitian ilmiah terkait hal ini.
Sebuah penelitian di Scientific Reports yang meneliti aspek respons emosional terhadap musik menyebut ketika musik diputar, saraf parasimpatik pendengarnya ikut bergerak.
Saat kita memutarkan musik kemudian merasakan rileks, saat itulah saraf parasimpatik diaktifkan dan hormon yang berpengaruh untuk menimbulkan rasa jatuh cinta, gembira, ataupun percaya pada suatu hal, sudah aktif pada tubuh sang pendengar.
Nah, dalam konteks lagu Tinggalkan Ayah Tinggalkan Ibu, tentu menjadi relevan jika lagu ini digunakan untuk mensugesti agar anggota maupun calon anggota TNI meresapi untuk kemudian melakukan apa yang tergambar dalam lirik lagu tersebut.
Dengan seringnya menyanyikan dan mendengarkan lagu tersebut, Â tentu diharapkan anggota TNI menjadi semangat untuk korps yang dimasukinya, dan tanpa ragu---dan dalam titik tertentu tak lagi terbebani oleh keluarga--untuk menyerahkan jiwa dan raganya demi tugas bangsa dan negara.
Metode menggunakan yel-yel ini pulalah yang juga dipakai oleh suporter untuk mensugesti suntikan semangat, baik kepada tim yang didukungnya maupun bagi kelompok suporter itu sendiri.
Di jagad persepakbolaan dunia, ada salah satu chant yang tersohor yakni You'll Never Walk Alone yang identik dengan klub Inggris, Liverpool.
Lagu You'll Never Walk Alone sendiri, sebenarnya diciptakan komposer asal Amerika Serikat Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein II. Lagu ini kemudian dinyanyikan dalam pertunjukkan drama musikal Carousel karya Rodgers dan Hammerstein pada 1945.
Liriknya yang dalam dan sarat makna membuat banyak musisi ternama mencoba mempopulerkan ulang. Tercatat, Frank Sinatra, Elvis Presley, dan Johnny Cash pernah merekam ulang lagu tersebut.
Namun, lagu yang kerap juga disebut 'YNWA' justru meledak ketika dirilis ulang versi pop oleh band asal Liverpool, Gerry and the Pacemakers pada tahun 1963. Lagu ini kemudian menguasai puncak tangga lagu Inggris di masa itu.
Karena popularitasnya, pendukung Liverpool mulai menyanyikan lagu ini untuk menyemangati klub kesayangannya saat bertanding. Sejak saat itu lagu YNWA menjadi identik dengan klub pemegang 20 kali gelar juara Premier League ini, meski beberapa sumber menyebutkan pendukung Liverpool bahkan sudah mulai menyanyikan lagu ini sebelum dipopulerkan Gerry and the Pacemakers.
Di Indonesia, salah satu chant klub yang populer dan kerap diputar untuk dinyanyikan bersama, adalah Song For Pride, yang identik dengan Persebaya Surabaya.
Lagu ini menjadi anthem yang 'wajib' dinyanyikan sesaat sebelum Persebaya bertanding, sejak klub asal Surabaya ini kembali eksis di kancah persepakbolaan nasional usai vakum beberapa waktu lalu.
Kembali ke soal lagu Tinggalkan Ayah Tinggalkan Ibu yang diadaptasi oleh Aremania dengan lirik 'Walau harus mati di tengah lapang'. Wajar jika lirik lagu ini menjadi sorotan netizen usai tragedi terkelam dalam sejarah sepakbola Indonesia pada Sabtu 1 Oktober 2022 lalu.
Kalau menggunakan analisa di Scientific Reports seperti saya kutip di atas, tentu lirik ini kurang tepat untuk menggambarkan dukungan untuk tim kesayangan.
Meski pada kenyataannya, untuk dapat hadir langsung di stadion mendukung tim kesayangan sangat membutuhkan pengorbanan, jiwa raga dan materi.
Namun kita tentu semua sepakat, tidak ada sepakbola seharga nyawa manusia.
Dan jika kita semua mengakui itu, tentunya terminologi 'Mati di tengah lapang' sebaiknya tak lagi digunakan. Mungkin pihak-pihak terkait bisa mengganti lirik ini dengan lirik lain yang juga tak kalah melukiskan semangat Aremania dalam mendukung Arema.
Tak hanya di lagu ini, di chant-chant suporter Indonesia lainnya, ada sejumlah kata-kata yang seyogianya juga dihilangkan, agar tidak menimbulkan kebencian terhadap kelompok suporter ataupun klub lainnya.
Saya ambil contoh, lirik "Dibunuh saja" menjadi salah satu kata yang populer di sepakbola Indonesia dalam chant yang dinyanyikan oleh beberapa kelompok suporter klub. Bahkan kata-kata itu dinyanyikan meski klub yang sedang bertanding bukanlah klub rival mereka.
Lirik "Dibunuh saja" ini pun tersebar melalui frekuensi televisi terestrial, meski saya perhatikan belakangan ketika suporter sudah mulai menyanyikan lirik ini, pihak stasiun televisi mengecilkan input volume dari stadion. Â
Akan tetapi, di media sosial yang cenderung minim kontrol, pengecilan suara chant tak bisa dilakukan. Dan akibatnya ujaran kebencian dan ajakan kekerasan semakin tersebar. Mirisnya, anak-anak kecil pun pada akhirnya ikut menyanyikan lirik "Dibunuh saja" itu.
Akhirnya, sejumlah suporter pun pada akhirnya benar-benar terbunuh di kandang rival. Yang paling saya ingat saat ini adalah tewasnya salah seorang suporter Persija, Haringga Sirla, usai disiksa secara brutal di sekitar Stadion Gelora Bandung Lautan Api, pada September 2018 silam.
Tentu tak sulit bagi kita untuk menyimpulkan mengapa para penyiksa Haringga saat itu bertindak begitu brutal dan tanpa ampun. Semua berawal dari nyanyian yang dianggap tak berimplikasi apa-apa, namun dinyanyikan berulang-ulang dan diejawantahkan dalam bentuk tindakan.
Dengan kata lain, ajakan menghilangkan nyawa dalam kata-kata "Dibunuh saja!" yang dinyanyikan secara terus-menerus, membuat hantu kematian pun terus bergerak, bergentayangan mengincar suporter yang sedang mendukung tim kesayangannya.
Dalam hal ini, pendulum kejahatan suporter atas nama fanatisme memang harus dihentikan, meski menurut saya sudah terlambat karena sudah jatuh korban atas nama fanatisme buta tersebut, seperti Haringga Sirla.
Namun tentu tak ada kata terlambat untuk terus menyebarkan virus kebaikan. Salah satunya dengan menghentikan lagu "Dibunuh saja" tersebut. Dirijen suporter harus menghentikan lagu berlirik tersebut jika mulai terdengar suporter menyanyikannya.
Pun demikian para pentolan suporter harus bisa memerintahkan kelompok suporter agar tak lagi menyanyikan chant-chant bernada negatif.
Jika tidak, panggung sepakbola nasional bukan tak mungkin akan terus menerus dipayungi awan gelap, dan juga hantu kematian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H