Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Siapa yang Masih Suka Membaca Koran?

29 September 2022   08:05 Diperbarui: 1 Oktober 2022   07:51 1354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Wah, Hadi. elu masih suka baca koran? 'Klasik' banget elu..."

Kurang lebih begitulah celetukan retorika seorang teman sekantor saya, ketika saya menunjukkan satu artikel dalam koran Superball yang mengulas hasil pertandingan UEFA Nations League antara Inggris vs Jerman, yang berakhir sama kuat 3-3.

Saya menunjukkan koran yang saya beli ke kolega saya itu, karena ingin membaca artikel soal hasil pertandingan Jerman vs Inggris bersama dengan rekan saya. 

Artikel yang menarik, karena membahas soal blunder pemain Manchester United Harry Maguire, yang berakibat gol pertama tim Jerman.

Namun bukan itu yang ingin saya bahas di sini. Tapi soal koran sebagai media yang masih kerap saya gunakan sebagai sumber informasi yang akurat sekaligus komprehensif dalam pemberitaan.

Ya, bisa saya katakan, di antara kolega sekantor saya saat ini, sayalah yang masih suka membeli koran untuk dibaca. Satu alasan kuat untuk saya tetap membeli koran saat ini, adalah selain memberi rezeki untuk sang penjual, juga berkontribusi terhadap orang-orang yang menjaga koran itu tetap terbit hingga bisa saya baca.

Di balik sebuah koran yang tetap terbit, ada kerja keras dari awak redaksi dan awak sirkulasi. Termasuk juga divisi marketing, sales, desain, serta divisi lainnya yang menopang agar penerbitan koran tetap berlangsung.

Selain penjual koran, mereka yang bekerja di perusahaan yang menerbitkan koran juga tentu sangat berharap pada orang-orang yang masih mau membeli koran. 

Harian Super Ball edisi 28 September 2022 (Foto dokpri)
Harian Super Ball edisi 28 September 2022 (Foto dokpri)

Karena dari tiap-tiap eksemplar yang laku itulah, ada harapan setetes rezeki bagi mereka, sekaligus harapan agar koran yang mereka produksi tak sampai berhenti terbit.

Flash back ke belakang. Sekitar 12-15 tahun lalu, media cetak khususnya koran, masih banyak digunakan sebagai sumber informasi oleh masyarakat. Namun makin masifnya era digital, yang ditandai dengan penetrasi internet serta gawai murah, perlahan tapi pasti menyingkirkan media cetak yang kala itu masih eksis.

Mundur lebih jauh lagi ke belakang, sejak kecil saya sudah akrab dengan media cetak, khususnya koran. Dimulai ketika almarhum ayah saya berlangganan harian Kompas, dan juga berlangganan Majalah Bobo yang terbit tiap hari Kamis. Dua media cetak itulah yang mengiringi perjalanan saya belajar membaca.

Beranjak remaja, ayah saya pun berlangganan tabloid Bola. Tentu bukan kebetulan jika ketiga media yang dibeli secara berlangganan oleh ayah saya itu, semuanya merupakan media Kelompok Kompas Gramedia, karena ketiga media ini mewakili pemimpin pasar di segmennya masing-masing pada saat itu. Tentu saja karena isinya yang menjadikan mereka pantas menyandang predikat tersebut.

Singkat cerita, kecintaan pada media koran akhirnya terbawa saat saya sering nongkrong di warung kopi saat kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya. Kebetulan di warkop dekat indeks saya, pemiliknya berlangganan koran Jawa Pos, koran terbesar di Jawa Timur.

Ada kenikmatan tersendiri ketika saya minum kopi, teh, atau apapun sambil ngemil, sembari membaca koran. Namun kadang kala saya kurang beruntung, ketika koran itu sudah dibaca sesama pengunjung warung kopi dalam waktu yang lama. Biasanya saya hanya berharap yang membaca cepat selesai supaya bisa gantian dengan saya.

Sampai pada akhirnya, perjalanan hidup pun membawa saya bekerja sebagai wartawan di media koran.

Memang belum kesampaian bekerja di media besar, seperti koran Kompas, Jawa Pos, Republika. Namun pengalaman saya bekerja di media koran, cukup memberi banyak hikmah dan pelajaran, terutama tentang disrupsi.

Ilustrasi media cetak vs media online (Foto dokpri)
Ilustrasi media cetak vs media online (Foto dokpri)
Ya, disrupsi teknologi digital pulalah yang pada akhirnya membawa dampak berhenti terbitnya sejumlah media cetak, termasuk media koran. 

Terakhir, pada awal 2021 lalu, tiga media cetak koran, yakni Suara Pembaruan, Koran Tempo, serta Indopos, terpaksa harus berhenti terbit, akibat kian masifnya digitalisasi dalam ranah media massa.

Mungkin karena itu pulalah, media cetak khususnya koran, saat ini dianggap sebagai sunset industry. Akibatnya, perusahaan media tak lagi berani menerbitkan koran baru karena tak akan mampu bersaing dengan media online yang ada saat ini.

Kebetulan, saya pun pernah bekerja di sebuah media koran yang saat ini sudah tidak terbit lagi. Karena hanya terbit dalam kurun waktu 2011-2015, akibat ketatnya persaingan dan sang bohir tak mau lagi menjalankan bisnis penerbitan korannya.

Adapun pemilik bisnis media koran yang masih terbit saat ini, tentu juga harus memutar otak agar korannya masih bisa terbit dan eksis dalam dunia media di Indonesia. Salah satunya dengan mengurangi jumlah halaman. Ataupun membuat versi koran digital.

Dan di era internet yang semakin masif saat ini, tentunya tak salah jika saya berharap pengusaha media koran yang masih tetap terbit, senantiasa berupaya maksimal agar koran produksinya tak akan hanya dikenang sebagai lembaran-lembaran sejarah.

Jadi, apakah anda termasuk yang masih suka membeli koran untuk membantu koran yang anda baca tetap eksis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun