Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Tak Ada yang Ingin Gagal dalam Pernikahan

17 Agustus 2022   17:15 Diperbarui: 18 Agustus 2022   00:56 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku nikah (sumber: Kompas.com)

“Kalau kita gagal dalam merencanakan, maka itu sama saja merencanakan untuk gagal”

Kalimat itu, dulu sering saya dengar dari dai kondang KH Abdullah Gymnastiar dalam beberapa ceramah dan khutbahnya. Tapi tentu saja di sini saya tidak ingin membahas soal kegagalan rumah tangga beliau, ya. Itu  bukan urusan saya dan juga bukan urusan anda, kecuali anda bermental tukang gosip.

Jika bericara soal perjanjian pranikah, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 29 ayat 1 hingga 4 mengatur soal perjanjian ini. Namun Pasca Putusan MK 69/PUU-XIII/2015, peraturan pada Pasal 29 diubah maknanya menjadi:

  • Sebelum ada perubahan aturan yang berlaku adalah perjanjian perkawinan hanya bisa dilakukan sebelum perkawinan berlangsung berubah menjadi perjanjian perkawinan bisa dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan.
  • Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi ini perjanjian kawin hanya dapat diubah saja tetapi tidak dapat dicabut. Berubah menjadi perjanjian kawin dapat diubah atau dicabut berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, selama hal tersebut tidak merugikan pihak ketiga.
  • Mengenai masa berlaku dari semenjak perkawinan dilangsungkan, berubah menjadi semenjak perjanjian dilangsungkan dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris.

Selain itu, perjanjian pranikah juga diatur oleh Kompilasi Hukum Islam pasal 45 -52. Di mana perjanjian pranikah secara umim dalam KHI merupakan suatu kesepakatan bersama bagi calon suami dan calon istri yang harus dipenuhi apabila mereka sudah menikah. Tetapi jika salah satu tidak memenuhi ataupun melanggar perjanjian perkawinan tersebut maka salah satunya bisa menuntut meminta untuk membatalkan perkawinannya begitu juga sebaliknya, sebagai sanksi atas tidak dipenuhinya perjanjian perkawinan tersebut.

Jadi jelaslah, jika kita berbicara tentang perjanjian pranikah, tentu bukan sesuatu yang aneh, ataupun tabu dibicarakan antara sepasang sejoli yang hendak menyelenggarakan dan menjalani pernikahan. Karena dalam hukum positif  dan hukum agama pun ada bab yang mengatur soal itu.

Secara umum, fungsi dari perjanjian pranikah bertujuan untuk melindungi segala hak dan kewajiban antara pihak suami istri pasca menikah.

Dengan demikian, bagi calon suami istri yang hendak memasuki bahtera pernikahan, membuat perjanjian atau tidak sama sekali, sama-sama bisa dipilih. Bukan berarti calon pengantin yang membuat perjanjian pranikah lebih baik dari yang tidak membuat.

Akan tetapi, bagi calon suami istri maupun yang sudah sah menjadi suami istri, yang lebih penting dari sekedar perjanjian adalah perencanaan. Karena pada hakikatnya merancang kehidupan setelah pernikahan sama juga dengan merancang kehidupan itu sendiri. Tentunya dengan mengesampingkan dahulu bagaimana pernikahan itu akan berakhir apakah dengan perceraian atau kematian.

Supaya pernikahan tidak menjadi ikatan ‘bak kucing dalam karung’, sejumlah rencana perlu disusun dengan baik, tentunya agar fungsi suami istri bisa dilakukan dengan penuh tanggung jawab, dan bernilai ibadah di hadapan Tuhan.

Penyusunan rencana kehidupan rumah tangga, selain sebagai bukti keseriusan sang calon suami dan calon istri akan tugas dan tanggung jawabnya ke depan, juga melatih mereka untuk menyusun rencana alternatif dan antisipatif, atau mungkin biasa disebut Plan A dan Plan B.

Penyusunan rencana alternatif ini juga sangat diperlukan, agar seandainya di kemudian hari-karena satu dan lain hal-rencana yang telah disusun lebih awal tidak terlaksana dengan baik saat menikah, atau malah gagal terlaksana pada saat sudah menikah.

Dan karena rumah tangga itu dijalankan secara bersama-sama oleh suami dan istri, maka perencanaan pun harus dilakukan secara—menurut istilah Ibu Khofifah Indar Parawangsa--Terstruktur, Sistematis, dan Masif.

Misalnya ketika suami merencanakan untuk bekerja di sebuah perusahaan setelah menikah (atau sejak sebelum menikah), maka harus dipikirkan pula bagaimana seandainya perusahaan itu berhenti beroperasi atau suami tersebut di-PHK/putus kontrak oleh perusahaan.

Dalam hal ini, istri pun harus membantu membuat rencana alternatif. Misalnya dalam hal bagaimana jika PHK itu benar-benar menimpa sang suami, apa yang akan dilakukan untuk menambal dana untuk kebutuhan keluarga, karena dana kebutuhan setelah menikah bukannya berkurang tapi akan terus bertambah.

Ada pemeo yang mengatakan, “Uang bukan segalanya, namun segalanya butuh uang”. Bukan berarti pernikahan itu materialis, namun dalam ranah pragmatis saat ini, tentu penghasilan (baca: uang menjadi) satu hal yang sangat vital krusial untuk direncanakan dalam berumah tangga.

Gambaran ini tentunya bukan untuk menakut-nakuti saudara-saudaraku yang berencana menikah. Namun hanya ilustrasi bagaimana seharusnya rumah tangga itu dijalankan dengan (banyak sekali) perencanaan, termasuk pembagian rencana utama dan rencana alternatif. Bahkan bisa dikatakan perencanaan harus terus menerus dilakukan, karena menikah adalah ikatan dan ibadah seumur pernikahan itu sendiri.

Dan bagi saudaraku yang sudah menikah. Tetaplah membuat rencana bagaimana rumah tangga dijalankan dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Jangan sampai ketika sudah berumah tangga namun gagal menjalankan rencana yang dibuat sebelum menikah, lalu membenci dan mengutuk pernikahan itu sendiri akibat kesengsaraan yang diderita.

Upayakanlah yang terbaik dan maksimal dalam perencanaan berumah tangga, baik sebelum maupun sesudah akad nikah dilakukan. Jangan sampai keinginan-keinginan indah dan nilai-nilai ibadah saat berumah tangga gagal terwujud akibat perencanaan komprehensif yang kurang baik.

Meski demikian, jangan kemudian perencanaan maupun perjanjian pranikah lantas menjadi beban baik pada saat hendak menikah maupun sesudah menikah.

Bagi yang belum menikah, coba bicara panjang lebar soal perencanaan dan perjanjian ini dengan kekasih. Karena bisa jadi, pembicaraan ini pulalah yang menetukan apakah masih memungkinkan untuk kelak menjalani biduk rumah tangga bersama-sama. Silakan berkonsultasi dengan orangtua, guru, pemuka agama, sahabat, saudara, atau siapapun yang pas untuk berkonsultasi.

Menikahlah jika sudah merasa diri sudah benar-benar siap. Siap ilmunya, siap pola fikirnya, dan siap perencanaannya, dan siap juga calon pasangannya dengan itu semua, agar bisa satu ‘frekuensi’ dalam menjalankan rumah tangga dengan peran yang seimbang.

Kalaupun ternyata gagal untuk menikah dengan pujaan hati karena ternyata sama-sama, atau salah satunya merasa gagal dalam merencanakan, tak perlu berkecil hati. Berarti memang jodonya bukan dengan kekasih yang sekarang.

Percayalah, gagal sebelum menikah itu tidak lebih berat daripada gagal ketika sudah menikah.

Salam   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun