militer selama 32 tahun lebih, dimana dominasi militer begitu nyata dalam pemerintahan, yang notabene dipimpin oleh seorang berlatar belakang militer.
Bulan ini bulan Mei. Bulan Reformasi, yang tahun ini berusia 24 tahun. Sebagian orang memaknai Reformasi 1998 sebagai akhir dari supremasiNamun dalam bulan 'ulang tahun' ke-24 Reformasi ini, ada peristiwa yang (kembali) mencuatkan pejabat berlatarbelakang militer sebagai pucuk pimpinan dari urusan yang sebenarnya bukan ranah tugas militer secara khusus.
Yakni ditunjuknya Kepala BIN Sulawesi Tengah Brigjen Andi Chandra As'aduddin menjadi penjabat Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat. Chandra menggantikan Bupati Yustinus Akerina yang massa jabatannya berakhir pada 22 Mei 2022.
Pro dan kontra pun sontak menyeruak. Menko Bidang Polhukam Mahfud MD menilai putusan Mahkamah Konstitusi sudah memperkenankan anggota TNI/Polri aktif dapat menjadi penjabat kepala daerah. Dengan catatan, yang bersangkutan tidak aktif secara fungsional di institusi induknya, tetapi ditugaskan di institusi atau birokrasi lain.
Aturan yang dimaksud yakni Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021. Namun dalam hal penunjukan penjabat kepala daerah ini, kita pun memiliki beleid Undang-Undang (UU) Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 yang telah mengatur bahwa Pj. bupati dan wali kota hanya dapat berasal dari jabatan pimpinan tinggi (JPT) pratama. Dan dalam hal ini, jabatan Andi sebagai Kabinda bukan JPT pratama
Kapuspen Kemendagri Benny Irwan dalam keterangannya menuturkan penunjukan Brigjen Andi Chandra sudah sesuai aturan yang berlaku, karena mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2014, UU Nomor 10 Tahun 2016, UU Nomor 5 Tahun 2014, PP Nomor 6 Tahun 2005, dan PP Nomor 49 Tahun 2008.
Secara teknis, Benny menjelaskan bahwa proses usulan seluruh nama calon Pj. kepala daerah harus melalui pembahasan dalam sidang Tim Penilai Akhir (TPA) yang dipimpin langsung oleh presiden. Sidang itu juga dihadiri oleh sejumlah pimpinan kementerian dan lembaga, yakni Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Sekretaris Kabinet (Seskab), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kapolri sebagai referensi Presiden Jokowi terhadap calon-calon yang ada.
Jadi jelaslah, bahwa penunjukan Brigjen Andi sebagai penjabat bupati-dan penjabat-penjabat kepala daerah lainnya yang berlatar belakang anggota TNI/Polri aktif-merupakan keputusan mutlak atau penunjukan dari pemerintah (pusat).
Hal ini tentu sejalan dengan pemikiran filusuf Italia Machiavelli, Â bahwa seorang pemimpin harus mampu menggunakan seluruh kewenangannya untuk mempertahankan posisi kekuasaannya. Dalam hal ini, penguasa menempatkan orang-orang kepercayaannya agar dapat melakukan kontrol ataupun intervensi kebijakan.
Berkaitan dengan latar belakangnya dalam dunia militer dan intelejen, posisi Brigjen Andi sebagai penjabat bupati bisa jadi sebagai cek ombak untuk bisa menempatkan pejabat yang sejenis dalam posisi kepala daerah. Apalagi, aparatur negara dalam hal ini tentu sudah jelas harus netral setiap saat, tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis, serta harus senantiasa patuh pada instruksi pimpinan, termasuk panglima tertinggi dalam hal ini presiden.
Brigjen Andi pun telah dilantik oleh Gubernur Maluku Murad Ismail 24 Mei lalu. Dan pasca dilantik, cek ombak inipun tentu akan dilanjutkan dengan kemampuan Brigjen Andi untuk megendalikan potensi konflik dengan kemampuan dan pengalaman yang dimilikinya.
Meski pada akhirnya kita secara kasat mata menilai, penunjukan dan pelantikan Brigjen Andi mengesampingkan kekhawatiran sejumlah pihak terutama soal masih adanya supremasi militer, meski Reformasi telah berusia 24 tahun.
Kekhawatiran semacam ini diistilahkan oleh Sosiolog Maurice Halbwach sebagai ingatan kolektif, yang berasal dari masa lalu. Menurut Halbwach, ingatan kolektif didefinisikan sebagai model framing sosial yang mengintegrasikan pemahaman individu terhadap suatu persoalan, tidak terkecuali karakteristik politik dan pemerintahan di masa lalu.
Dan ini bukan pertama kalinya pemerintahan Presiden Jokowi dinilai abai terhadap ingatan kolektif soal supremasi militer. Mantan Gubernur DKI ini pun pernah menyetujui masuknya mantan anggota Tim Mawar-tim yang dikait-kaitkan dengan penculikan aktivis tahun 1998-menjadi pejabat di Kementerian Pertahanan.
Kembali ke soal cek ombak, jikalau di kemudian hari reaksi publik dan kontroversi masih terus berlanjut atas keputusan pemerintah pusat menunjuk pejabat militer sebagai penjabat di jabatan sipil, tentu Presiden Jokowi akan lebih mudah memegang 'tongkat komando' pengendalian reaksi publik tersebut.
Saya sebagai masyarakat biasa tentu berharap dengan semakin dekatnya tahun Pemilu 2024, kondusifitas kegiatan masyarakat bisa terus terjaga, dan seluruh tahapan pemilihan bisa berjalan lancar. Sesederhana itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H