Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Mudik, Sebuah Potret dan Seni Transportasi Publik

14 April 2022   01:17 Diperbarui: 14 April 2022   01:26 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah tahun ini kembali memperbolehkan secara resmi masyarakat untuk melakukan kegiatan mudik, tentunya dengan sejumlah syarat dan protokol kesehatan yang harus tetap dijaga. Pembolehan yang diumumkan langvsung oleh Presiden Joko Widodo ini pun tentunya disambut gembira oleh para perantau. Khususnya yang sudah 2 tahun menahan hasrat mudik Lebaran akibat pandemi.

Bahkan, ada rekan sekantor saya yang sudah lebih dulu mudik pada awal tahun 2022. Ketika saya tanya kenapa kok mudik Lebaran di tahun baru, dengan santai dia menjawab "Mudiklah sebelum mudik itu dilarang". Ya, mungkin dia saat itu pun berasumsi mudik Lebaran tahun ini akan dilarang (lagi)

Ya, mudik memang terlanjur menjadi sebuah fenomena. Tak hanya di Indonesia, fenomena mudik juga bisa ditemui di negara lain yang memiliki tradisi hari raya besar keagamaan ataupun budaya. Misalnya masyarakat perantau di China yang mudik menjelang Imlek

Nah, karena di Indonesia kebanyakan pemudik Lebaran mayoritas menggunakan kendaraan umum. Momen mudik Lebaran bisa dikatakan sebagai momen untuk memotret sistem dan kondisi pertransportasian publik yang sebenarnya, baik transportasi antar kota, antar provinsi, antar pulau, hingga antar negara.

Dari sisi kebijakan pemerintah terkait sarana transportasi dan infrastuktur misalnya. Kerap kita membaca berita sebuah sarana transportasi atau infrastruktur penunjang akan dioperasikan dalam masa arus mudik. Contohnya untuk musim mudik Lebaran tahun ini, pemerintah berencana mulai mengoperasikan jalur selatan Tol Jakarta-Cikampek, serta menjalankan kembali KA Pangrango relasi Bogor-Sukabumi.

Adapun dari sisi perusahaan transportasi, momen mudik Lebaran pun dijadikan ajang--yang kalau bisa dikatakan sebagai---aji mumpung, dengan menerapkan tuslah pada tarif angkutan, dengan harapan bisa menuai tambahan penghasilan yang maksimal dari para pemudik.

Kemudian dari sisi pemudik yang notabene pengguna transportasi publik, momen mudik Lebaran menjadi ajang uji kesabaran dalam menggunakan sarana angkutan publik. Dari mulai saat memesan tiket, hingga sampai ke kampung halaman.

Seperti saat masa dahulu, ketika tiket transportasi publik masih belum bisa dipesan secara daring. Kerap kita jumpai antrean calon pemudik masih banyak berjejer--bahkan hingga bermalam di depan loket-loket pemesanan tiket di stasiun-stasiun di Jakarta dan sekitarnya. Akan tetapi, ketika saat ini pemesanan sudah bisa melalui daring, masih ada pula yang begadang---tentunya begadang sambil terus memperhatikan gawai---demi mendapatkan tiket mudik.

Dengan perjuangan yang keras untuk bisa sampai ke kampung halaman, apakah pemudik itu kapok untuk mudik di Lebaran berikutnya? Mungkin saja ada yang iya. Tapi menurut saya, pengalaman pengalaman dalam perjalanan mudik itu justru malah membuat mayoritas pemudik itu tak keberatan untuk menghadapi kesulitan dan tantangan yang sama setiap hendak mudik Lebaran.

Bagi para pemudik, hal-hal yang dialami dari mulai sebelum hingga sepanjang perjalanan mudik itu, seolah menjadi pengalaman yang bisa diceritakan saat berkumpul bersama keluarga di kampun pada momen Idul Fitri nanti. Kesulitan dan rintangan serta tantangan di saat mudik, bagi mereka ya itulah seninya menggunakan bertransportasi publik di saat ultra peak season.

Akan tetapi, kedua orang tua saya yang notabene perantau dari Jawa Timur ke Jakarta, justru sangat jarang mudik saat Lebaran. Biasanya mereka memilih untuk mengunjungi keluarganya di Jawa Timur pada saat libur kenaikan kelas anak-anaknya, atau sesempatnya saja. Bagi mereka, Lebaran di tanah rantau pun tak mengurangi esensi dalam berlebaran. Bagi mereka, toh di Jabodetabek dan sekitarnya juga ada sanak famili dan kerabat serta rekan-rekan yang bisa dikunjungi untuk bersilaturahmi saat Lebaran. Begitulah kira-kira.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun