Di awal Ramadhan ada yang gaduh di media sosial, edaran dari pemerintah yang berisikan larangan  pejabat pemerintah dan ASN mengadakan buka bersama. Mengapa bisa gaduh ?? Edaran yang tidak lengkap atau penjelasan dari pemerintah yang tidak mampu dicerna dengan baik oleh masarakat, atau bisa jadi masarakat kita yang memang suka gaduh untuk target-target politik, bisa jadi gaduh itu menjadi hoby sebagian masarakat, "ndak gaduh ndak seru".
Kondisi politik Indonesia memang serba gaduh, mudah gaduh, mudah menuduh dengan kata-kata yang keras, anti islam, islamophobia, anti NKRI, pemecah belah bangsa, tidak toleran, kopar-kapir, radikal-radikul, dan entah berapa kata sejenis lainnya, sampai caci maki selalu menghiasi media sosial kita. Tentu kata yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial "cebong dan kadrun", dua makhluk yang sering membuat gaduh di awal puasa yang seharusnya teduh.
Puasa adalah bulan teduh agar bisa bisa berubah menjadi pribadi yang jernih, bening, sebening sumber air abadi karena hidup di atas nilai-nilai ilahi. Bukankah kata para bijak, dengan lapar kita lebih bisa merasakan orang lain, memahami dan berkembang empati. Tetapi lapar kita membuat kita lebih mudah marah, emosional dan kehilangan daya rasionalitas kita. Puasa, mengajari kita merasakan lapar yang teduh, lapar yang mengajak kita bijak dengan sejuta empati di dalam hati.
Bisakah puasa membuat kita menahan diri tidak menyebut (bahkan memaki) saudara sebangsa dengan "cebong dan kadrun" !? Kemudian sampai Ramadhan selesai kita mempertahankannya. Tentu saja, anda boleh berbeda pendapat dengan orang lain, setajam apapun perbedaan, rasionalitas kita harus di garda depan. Dalam kehidupan, memang kadang harus ada dialektika berbagai pemikiran dan berbagai ide, agar kemudian bisa menjadi katarsis nilai yang kuat dalam diri kita. Â Dan puasa, mengajak kita menuju nilai inti yang kokoh dalam kerangka istiqomah, yang selalu ingin menjadi lebih baik dalam kerangka tajdid.
Puasa mengembangkan jiwa yang mampu mengasuh dalam berbagai riak kehidupan, bukan jiwa yang mudah gaduh. Kita berada dalam sebuah zaman, dimana langkah yang salah atau dianggap salah atau bahkan hanya dicurigai salah pun sudah bisa menjadi sebuah kegaduhan yang tidak berujung. Mengapa demikian ?? Karena hubungan kita dibangun di atas pola serba suudzdzon atau buruk sangka.Â
Prasangka buruk bisa dari rakyat ke pemerintah, dari pemerintah ke rakyat atau dari rakyat ke rakyat juga. Begitu ada edaran larangan berbuka, telunjuk langsung menuding, pemerintah anti islam atau sedang mengamalkan islamophobia, sebagian membalas itu suara para kadrun, anti NKRI, anti keragaman, bodoh, jahat, dan berbagai istilah yang semakna. Di manakah tradisi santun yang seharusnya dalam setiap kehidupan, wa bil khusus dalam puasa kita. Di mana tradisi tabayun, hidup ini membutuhkan tradisi berpikir yang hebat agar hidup lebih bermakna atau jika kita tidak bisa berpikir hebat, berpikirlah sederhana jangan terlalu banyak prasangka, nikmati puasa dan jadilah bijaksana.
Jika kita berpikir, apa hebatnya buka bersama, sekedar pamer kita (flexing) Â atau kita berpikir sangat muluk-muluk meningkat kebersamaan?? Tentu jawaban kita adalah seperti tujuan pada proposan kegiatan buka bersama, meningkatkan kebersamaan. Walau kita sering sadar semua itu hanya merah-merah lipstick saja atau dalama Bahasa Jawa disebut abang-abange lambe. Bisa jadi pikiran kita panas karena membayangkan para pejabat dan ASN itu sudah menyiapkan sekian milyar anggaran untuk buka bersama atau pikiran sedih kita ada banyak job catering yang bakan batal gara-gara larangan itu.
Jika kita belajar bersikap sebagai buah dari puasa kita.
      Pertama kita akan tabayun, meliputi membaca dengan jelas apa yang disampaikan dan pertimbangan rasionalnya.
      Kedua  kita akan mengedepankan sikap khusnudz-dzon baik sangka, bisa jadi edaran itu salah atau kurang tepat, tetapi bukan karena dibingkai niat jahat, bisa jadi beda presepsi kita dengan pemerintah yang tidak sama. Jika seorang tokoh apalagi tokoh agama, ambillah peran "mengasuh" agar tidak terjebak caci maki dan fitnah yang merendah diri yang menyampaikannya, atau setidak-tidaknya masuk pada wilayah ghibah yang juga diharamkan dalam agama Islam.
      Ketiga, jika kita kemudian tidak setuju dengan kebijakan, dalam ruang demokrasi ada hak bagi warga negara untuk memberi nasehat dan kewajiban pemerintah mendengarkan nasehat itu. Puasa mengajari kita menyampaikan sesuatu dengan santun, tanpa dibangun dari prasangka buruk yang melahirkan caci maki, tetapi dibangun dari sikap teduh agar saling asah dan asuh.
Puasa tahun itu, kita ingin menjadi yang serba gaduh atau yang ingin saling mengasuh?? Rasanya hanya sebuah pertanyaan retorik saja, karena toh dalam kebusukan diri kita yang busuk pun, kita mengharapkan kebaikan di bulan Ramadhan ini. Karena kalau kita mengharapkan Ramadhan tahun depan. Siapa yang bisa menjamin kita masih hidup atau jika kita hidup, apakah kita diberi kekuatan ?? Selebihnya, kita diikat oleh Allah sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Senyumlah, untuk semangat kita  ingn menjadikan Ramadhan yang teduh dan kita saling asih-asuh agar menjadi pribadi yang patuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H